Minggu, 11 Juni 2017

Sebuah Resah Yang Dibalut Biru

SURIAH. Aku melihatmu berjalan tanpa alas kaki, dari Burj Khalifa yang musiknya tidak berhenti berdentum, dari sela-sela surban yang menepuk-nepuk penari perut berambut pirang. "Huna, huna," kata berjanggut panjang sambil bergumul dalam tarian. Tubuhnya sempoyongan. Di tangan kanannya ada segelas air terselip sepotong lemon. 

Kain sutra berwarna biru yang melilit tubuh hingga kepalamu bergerak lembut dihembus angin. Warnanya memudar dihinggapi debu. Di bulan April yang gersang ini, angin sangat gampang menerbangkan debu sisa bombardir semalam, sedangkan kakimu dengan terukur melangkahi bongkahan dinding-dinding yang berserakan di jalan kota Raqqa yang terus kau ingat dulu terjajal penjual moussaka dengan aroma daging kambing yang menggugah selera. "Huna, Huna!," ingatmu teriakan para pedagang menawari setiap pejalan. Masih lekat di ingatanmu jalan ini berlimpah kemakmuran. Kini kedai-kedai kecil menjual moussaka itu ikut tiarap. Aspal jalannya mengelupas dikerat rantai Tank yang senang meludah. Raqqa adalah hal lain sekarang. 

Dari Burj Khalifah, kulihat Mata birumu terus merambati lubang-lubang peluru yang membuat celah cahaya di mana saja. Ada yang sedang kau cari dari puing-puing sebuah pustaka yang banggunannya runtuh setengah. Buku-buku teori hukum/politik berdebu yang berserakan diterjang peluru itu terus kau lempar ke samping, tanganmu terus mencari sesuatu. Iya sebuah peta dunia. Peta untuk memastikan apakah Suriah (Syiria) masih ada di dalamnya? 

Aku melihatmu berjalan tanpa alas kaki, dari Burj Khalifa yang musiknya tidak berhenti berdentum, dari sela-sela surban yang menepuk-nepuk penari perut berambut pirang. "Huna, huna," kata berjanggut panjang sambil bergumul dengan penari perut. Suriah adalah hal lain di sini.

(13 April 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar