Senin, 12 Juni 2017

Parfum

Dik, malam ini aku pulang ke rumah ibuku, lalu berhenti sejenak di warung yang berada di ujung jalan rumah untuk membeli sebungkus rokok untukku hisap malam ini. 

"Sudah lama tidak nampak? Apa kabar?" Bang Lem menyapaku. 

"Baik bang," kujawab. 

"Parfum masih ada ini," katanya menawariku sebotol parfum yang sering ku beli padanya tempo dulu. Aku tertegun, Dik, mengenang lagi masa lalu. 

Merek parfum itu Casablanca Aqua. Parfum berwarna biru yang dulu sangat kau suka dan  sering kau paksa aku terus memakainya. Entah kenapa tiba-tiba menyebalkan rasanya berada di warung ini, di ingatkan tentangmu, tentang wangi yang sangat kita kenal. 

"Tidak, bang. Aku sudah ganti farfum. Bulgari," kataku. Dia menyeringai, seakan tahu kita telah berganti citarasa. Aku menarik korek api yang diikat tali rafia di dekatnya, lalu membakar sebatang rokok bergambar huruf A di putingnya dengan lekas, bersama hisapan dalam hingga mengumpal asap yang pernah kau takutkan membunuhku. Aku tidak percaya asap ini akan membunuhku, Dik. Seringnya aku pernah hampir mati bukan karena ini. Kau tahu persis itu. 

Di luar hujan rintik-rintik. Di jalan pulang, aku mencoba merasa-rasa bagaimana wangimu? Sejujurnya kau tidak pernah tahu merek parfummu, Dik. Yang wangi seperti permen karet, kataku. Tapi aku tahu persis bagaimana aromamu. Aroma yang sering membuatku melirik sekitar mencarimu ketika hinggap di hidungku. Seperti aroma bayi. 

Parfumku sudah berbeda, Dik. Mungkin parfummu juga. Kita hanyalah aroma, Dik, yang tidak lama lagi juga hilang dengan sendirinya.

(Lambaro Kafe, 24 Desember 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar