Minggu, 11 Juni 2017

Percakapan Di Sebuah Malam

"Rumah kita kecil, munggil, terbuat dari kayu. Pagarnya kita serahkan pada pohon teh, bukan beton. Di belakang rumah ada sepetak sawah yang padinya kita tumpangsari kan dengan ikan gurami. Ya, bebek! Bebek juga ada, Bang. Di pojok belakang sebelah kanan, ada dua pohon mangga,  lengkeng, delima, dan kelapa. Jadi masakanku tidak akan kekurangan santan. Sewaktu-waktu kita juga petik kelapa muda. Di kiri ada beberapa bedengan untuk kita sulam benih bayam, sawi, kangkung dan beberapa hotikultura lain agar semuanya terjamin sehat," hayalmu di bangku teras rumah yang cat putihnya mengelupas-lupas. 

Mendengarmu mengarang dunia menjadi surga, aku juga menghayalkannya. Sangat hijau. Sangat indah. Aku menoleh ke arahmu, sembari kulihat matamu terus merambati dinding rumah tetangga yang mengepung rumah bapakmu. Ada mendung di wajahmu. Kita sadar hanyalah sepasang 'kera' yang muak hidup di belantara kota. Yang dihimpit keras oleh gedung, dibudidaya dalam kandang yang semua harus dibayar dengan uang. Ya, kita sama sepakat: kesenangan dan ketenangan yang disungguhkan sedemikian rupa dalam kandang megah itu hanyalah omong kosong. Hanya fantasi belaka. 

Tahukah kau, Dik? Impianmu tentang rumah tadi hanya satu dari jutaan 'kera' lainnya yang telah diterbangkan ke langit. 

Tetiba aku ingin mengatakan padamu sebuah berita yang kubaca kemarin hari, bahwasanya ada sebangsa manusia di Gunung Kendeng yang memperjuangkan pegunungan karst mereka dari 'yajut-majut' yang akan mengeruk penompang kehidupan mereka untuk membangun kotanya. Satu dari mereka gugur. Sementara yang lainnya masih berjuang meski "Tuan Tanah" pura-pura bisu dan tuli. 

Harapan mereka sesederhana kita, Dik. Masih bisa melihat kabut, menanam padi, memanjat pohon, memetik buah, mandi di sungai yang airnya sejuk dan bersih. Sesekali bisa melihat anak-anak ketawa riang melompat-lompat ke sungai sambil pulang dari sawah. Asri sekali. Ya, kisah mereka seperti film Avatar yang pernah kita tonton. Mereka hanya membela alam yang mereka punya. Membela cara mereka hidup. 

Sudah, jangan melamun lagi, doakan saja masih ada alam yang indah tersisa untukmu. Kulihat kau masih saja melamun, diam-diam kucuri setakai bougenvile ibumu yang berbunga tiga warna di sebelah kanan dekat jendela. Kuambil yang putih. Ini untukmu, Dik. Bunga ini dari pohon kerdil yang tumbuh pada timba yang disulap jadi pot. Bougenvile ini adalah bunga yang tabah. Bunga yang sulit kalah pada keterbatasan. Kau seperti bunga ini, tetap berbunga dengan kondisi seadanya. 

Tidurlah lebih awal malam ini. Bermimpilah dengan mudah. Semakin cepat kau tidur, semakin dekat kau dengan rumah di antara lembah. Sedangkan aku akan  berjalan melewati puluhan kabut untuk menemukan sebuah hutan tersembunyi untuk kita tinggali.

(Terinspirasi dari perlawanan masyarakat Pengunungan Kendeng menolak pabrik semen)
Foto: kabut di Gunung Singgahmata, Betong Ateuh, Nagan Raya-Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar