Rabu, 14 Februari 2018

Bante

BANTE. Pukul 01.30 Si Amin sudah berdengkur keras di atas kasur kapuk tanpa seprai, beranjang dari panteu dari bambu. Di luar, hujan menguyur deras. Gemuruh mengelegar hebat. Kilat menyambar-nyambar rintik hujan.

Gubuk 4x5 yang berdiri di tepi sungai Desa Betong Ateuh ini gelap gulita tanpa penerang. Pemuda 15 tahun ini menepati istananya sendirian sejak ibu-bapaknya menjadi korban penembakan menjelang shalat Juma'at di halaman masjid, yang kata warga dilakukan oleh setan yang menjelma jadi manusia "Siluman" pada 1999, silam. 

Saat kejadian tragedi berdarah itu, Amin yang menangis di kulah kanan masjid berhasil diselamatkan warga dari peluru yang terbang membabi-buta. Hingga akhirnya, Amin tinggal sebatang kara di gubuk kecil itu. 

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, pemuda berwajah tirus itu bekerja memetik kopi, pinang dan apapun yang diupahi warga untuk dikerjakannya.  Namun selama tiga bulan ini, Amin mulai menebang pohon pesanan orang kota.

Udara semakin dingin di desa berlembah ini, di dalam gubuk sama dinginnya. Selembar kain batik panjang berwarna coklat membalut tubuh Amin yang semakin meringkuk menahan hawa yang tidak mau tau derita Amin.

Engsel jendela dari batang bambu yang di tutupi ayaman kulit pelepah pohon sagu yang berada dinding atas kepala Amin terbuka. Sepasang cahaya seperti kilatan mata kucing melongoh ke arah Amin yang masih tertidur. 

Dbraakk..Jendela dibating. Amin terperanjak. Matanya langsung melihat ke jendela. Wajahnya tersirat ketakutan dan kebingungan tapi seperti mengetahui sesuatu.. Dalam rasa terkejut itu, di rasanya ada sesuatu yang tersengol kakinya. Di rabanya, perlahan. Di hidupkannya serungkeng.  Rupanya itu adalah butiran buah pinang  yang tergeletak di pelepah pinang dalam kondisi basah.

Amin nampak kebingungan menemukan pinang-pinang kuning yang  dia sadari bukan miliknya. Pemuda yang hanya memakai celana kain ponggol warna kream penuh bekas getah itu menuju pintu. Di bukanya kancing pintu dari kayu di paku di kusennya. Ciprakan hujan merengsek masuk saking derasnya. Amin hanya melongohkan kepalanya melihat kiri-kanan luar rumah untuk menemukan siapa yang menaruk pinang  sudah 5 kaki malam jumaat ini. 

Pemuda itu menutup pintu, dia tidak menemukan apa-apa selain penasarannya seperti biasa. Kejadian itu sudah berlangsung hampir tiap malam jumaat. Tapi Amin tidak pernah berhasil mengetahui bagaimana pinang itu selalu di tergeletak begitu saja, kadang di depan pintu. Berserak di lantai sumur belakang gubuk.

Pernah Amin pura-pura tidur semalam untuk mengetahui dari mana asal pinang-pinang yang seperti baru di petik dari pohon itu.
Tapi setiap usahanya tidak pernah menemukan apa-apa. Hingga Amin memilih tidak mau lagi mengetahui asal pinang yang bisa ditukarnya dengan sebambu beras.

Paginya ini Amin merasa beruntung, dia menemukan sebuah jejak, tapi hanya sebuah jejak yang berada di gundukan tanah liat yang tidak tergenang bekas hujan semalam. Jejak itu berupa bekas pijakan kaki anak bayi yang masih tercetak dalam. Jejak itu mengarak ke  jendela. Di lihat lurus ke arah jejak, sepertinya berasal dari jejeran  batu-batuan besar, hampir seukuran gubuknya yang tersebar sampai ke pingir hutan yang berjarak seratus meter dari gubuknya.

Amin  teringat, hutan dinamakan warga "Hutan Bante" , tidak berani satupun warga masuki. Hutan lebat yang akar pohon-pohonnya menjalar menutupi batu-batu besar yang berlumut.

Masyarakat mengangap Bante adalah penghuni hutan yang berbentuk manusia berbadan kecil seukuran bayi. Tapi kakinya mengarah ke belakang, tidak seperti manusia. Amin tau cerita warga, bila ada yang berani masuk hutan Bante, maka dia tidak.akan pernah kembali. 

Karena penasarannya semakin besar, Amin meresek masuk ke hutan sambil memangil "Bante..! Bante..!" Semakin jauh dia  masuk tetap saja tidak menemukan apa-apa selain bunyi seranga yang memekikkan telingga. Agar tidak sesat di tebasnya kulit pohon setiap dia temukan untuk menunjuk jalan pulang. 

Tiba-tiba sebuah suara "uuukkkk..uuukkk..uukkk!" menyahut-yahut di kanan. Amin berlari mengejar suara itu. Semakin dekat Amin semakin gembira. Tiba-tiba kabut mengenangi Amin.

Amin ketakutan mencari arah keluar. Disaat begitu, didengar suara menyebut namanya. " pulanglah, Min, jangan hancurkan rumah kami, tanamlah pinang itu agar kau tidak menebang pohon-pohon kami lagi."

Selasa, 13 Februari 2018

Nyalaku

Nyalaku sedikit di balik bukit. Bahagianku terbang kemana mau, ke atas batu-batu, ke mercu paling barat, ke pohon tumbang di pinggir pantai yang mengkilap. Bahagia.

Nyalaku merah membara di balik bukit. Bahagianku membakar apa mau, kertas-kertas usang, pohon-pohon tumbang, tidak juga peduli pada batu tidak habis ku panggang. Amarah.

Nyalakan aku sekedar saja, Dik.