Sabtu, 21 Oktober 2017

Menjadi Lilin

Dulu saat sedang membicarakan perihal menyelesaikan kuliah di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Unsyiah, dosen wali saya mengatakan, "kamu seperti lilin yang menerangi orang lain, tapi kamu habis." 

Saat itu saya tidak membalas kata itu karena saya tahu diri lalai kuliah karena sibuk belajar jadi wartawan, meski dalam hati sangat ingin sekali menjawab, "Bapak seperti senter cas, yang terang tergantung energi masuk". Niat itu saya urungkan untuk menghormatinya. 

Saya paham saya salah, tapi saya tidak paham sebagai guru dia sangat pandai menghina muridnya. 

Terakhir kali berjumpa dengannya di akhir masa studi, saya menangih janjinya untuk membuka satu mata kuliah di semester pendek (SP), tapi dia menyuruh saya menanyakan sendiri ke Pembantu Dekan II (PR II). Saya naik ke ruanganya dan menemui beliau menjelaskan skripsi saya sudah selesai, minggu depan saya naik seminar hasil, dan pembimbing saya menyatakan akan membantu saya untuk bisa langsung sidang tidak lama setelah itu. 

Namun, pengajaran mengatakan untuk menghubungi kepala jurusan yang dia juga menjadi dosen wali saya menelponnya untuk mengambil keputusan terkait permasalahan saya, karena menurut PD II tahun ini tidak boleh buka SP berdasarkan keputusan rektor. Keputusan itu saya rasa ganjil, karena biasanya SP selalu dibuka asal cukup kuota mahasiswanya. Saya bolak-balik keluar masuk gedung satu dan lainnya membawa berita dari satu mulut ke telinga lain. 

Saya hilang semangat, dan kemudian menelpon rektor yang kebetulan sering mewawancaranya beberapa waktu lalu untuk meminta konfirmasi terkait dana pengetesan urine mahasiswa oleh tim kesehatan kepolisian yang dipungut 100 ribu rupiah dari mahasiwa yang total mahasiwa baru mencampai sampai 3000 orang, sedangkan BNN tidak dilibatkan. Berita terkait ke mana dana itu dan proses di lapangan asal masukin data itu sempat saya kejar hingga pemred saya menyetopnya. Sebagai wartawan pemula saya hanya nurut saja tanpa menanyakan alasannya. 

Siang hari saya menelpon rektor mengadukan permasalahan saya. Rektor tidak masalah dan menyerahkan urusan itu ke fakultas, "Bagi saya tidak masalah, urusan kecil begitu kembali ke fakultas kamu saja." Saya senang bukan kepalang mendengarnya. 

Saya kembali ke pengajaran menyampaikan ke PD II tanggapan rektor tadi. PD II menyerahkan ke kepala jurusan. Nah, di situ saya mentok karena sepertinya kepala jurusan tidak mau membantu banyak urusan saya. Di meja panjang ruang tengah jurusan saya menemuinya, setelah menunggu berjam-jam mahasiswa lain konsultasi dengannya. Saya sudah merasa lelah. Saat menemuinya saya langsung membahas bagaimana keputusan untuk saya? Apakah saya bisa lulus di sini? 

Saya melihat raut wajah bosan. Dia tidak menjawab, hanya mencibirkan mulut sambil mengeleng kecil. Saya memohon untuk bisa melihat solusi lain dengan menghapus beberapa mata kuliah yang untuk anak baru yang kadung saya ambil agar IPK bisa terdongkrak, dan mungkin saya bisa minta tolong dosen mata kuliah bersangkutan untuk ikut ujian mengubah nilai saya setidaknya menjadi C. Saya tertunduk lesu di ruang itu mendengar dia menceramahi saya tentang filosofi lilin tanpa ada kata memberi solusi. Saya cemburu pada kawan saya di Jurusan Agronomi yang dosennya tahan badan habis-habisan untuk meluluskan dirinya yang ketinggalan 12 SKS. 

Sesudah dia terdiam, saya kembali bertanya, apa saya bisa lulus di sini? Dia kembali menjawabnya dengan gelengan kepala yang berat dan mengatakan kamu kok ruwet kali jadi orang, sembari menutupinya dengan menghina saya dengan kata, "mungkin kamu pekok nggak?" Di situ amarah saya memuncah. Dia memperlakukan saya seperti anak SMA. Rasanya ingin sekali saya hantam kepalanya yang tampak menjaga jarak hantam tangan saya yang tergengam kuat. Tapi niat itu lagi-lagi saya urungkan karena nasehat dosen pembimbing saya yang sempat mengatakan, "kamu harus mengontrol emosi, mereka (dosen-dosen itu) memang banyak menjadi pegawai yang patuh, tapi bukan pendidik yang baik". 

Kemudian saya mohon diri sambil mengatakan terima kasih. Saya turun dari ruangan itu dan meniatkan diri tidak akan pernah sekalipun mau masuk lagi. Terhitung ada 2 kawan lainnya yang se-dosen wali dengan saya harus merengggang semangat lulus di bawah panji fakultas itu. 

Harapan saya pupus saat menemui pembimbing skripsi saya dan menceritakan pertemuan itu. Saya selalu salut dan menghormati pembimbing satu ini, dia selalu mendengarkan saya sebagai teman dengan memanggil saya dengan sebutan "Gon" (kawan). 

Dia menyemangati saya dengan mengatakan, "kamu tidak boleh menyerah karena mereka. Masa depan kamu itu bukan di ijazah, tapi di otak kamu." Mata saya basah mendengarnya. 

"Kamu pindah ke Abulyatama, biar nanti saya yang telpon kawan saya di sana untuk membimbing kamu." Saya mengiayakan. Semua orang bisa menjadi guru, tapi tidak semua bisa jadi pendidik. Dan pembimbing saya adalah guru yang luar biasa baik hatinya. Terima kasih, pak Romano. 

Dan akhirnya, awal tahun lalu saya sudah menyelesaikan tanggung jawab kuliah saya sebagai anak pada mamak. Untuk menyelesaikan S1 saya sudah masuk tiga universitas, 2 jurusan, dan 10 tahun lamanya. Saya tidak pernah menyesal telah melewati semua itu. Saya tidak menyesal menjadi sebatang lilin menerangi orang lain sedangkan saya mati habis pelan-pelan. Semoga tetesan lilin itu berguna bagi orang lain. 

Setidaknya dengan menjadi lilin, banyak hal yang mengubah cara pandang saya pada banyak hal. Seperti pohon, hidup harus bermafaat bagi orang lain. Dan, jangan pernah menyerah, Kita harus menyelesaikan apa yang sudah kita mulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar