Senin, 23 Juli 2018

Dunia Kita Sayang

Dunia ini, sayang..
kita harus sering-sering ke pasar 
Di sana wajah muda dan renta tidak mau mengeluh
Tidak mau mengemis

Dunia ini, sayang..
kita harus sering-sering ke pasar
Membeli keprihatinan serta membawa pulang rasa syukur
Dunia ini adalah pasar berkasih, sayang..

Tanah Harapan

TANAH HARAPAN

"Cut Adek, kita tidak boleh jumpa lama-lama, berbicara sekedar, lalu melangkah lagi semampunya." Jamilah hanya termanggu mendengar kata-kata Maimun yang sedang sibuk melepaskan tali tambatan perahu di tiang pancang. 

Wajah Perempuan belia itu telihat tegar, tapi tangannya bergetar erat mencengram tali perahu kekasihnya itu. Tiada suara yang dia keluarkan kecuali  nafas yang tersenggal-senggal menahan tangis.

"Lepaskan tali itu, Cut Adek. Tiada waktu lagi untuk banyak bicara di musim Sure ini." 

"Cut Bang. Aku akan menikah hari ini." Tangisan Jamilah pecah.

"Ia, aku tau Cut Adek. Ini ucapan ke seratus yang kau ulang padaku sejak seminggu lalu. Seperti kamu, aku juga tidak punya waktu lagi untuk tidak melaut. Apa kata orang jika Pawang Laot muda tidak melaut di hari melimpah ikan ini," Ucap maimun tenang  mencoba lari dari setiap pertanyaan kekasihnya itu. Padahal ada gemuruh di dada yang kian hebat dia tahan.

Sore semakin tua, maimun masih terduduk lemas di dekat kemudi. Suasana Pantai kuala Bak U tanpa dermaga itu hening dari suara mereka berdua. Hanya ombak yang terdengar berdebur riang menjilati pantai..

"Cut Bang, bapak yang memaksaku dengan Toke Lah, padahal aku mencintaimu. bawa aku melaut bersamamu Cut Bang." Jamilah menarik perahu sembari memaksa naik. Kedua insan ini dirasuki dilema yang segera butuh tindakan dan pengorbanan yang begitu besar. Dimana harus mempertahankan cinta atau malah menanggung malu karena pasti toke Lah akan mengusir orang tuanya dari rumah sebagai tembusan utang.

"Cut Adek, aku lebih berani mati di laut dari pada tiada kau lagi di darat. Jika benar engkau seberani aku juga, berpegangganlah yang erat. Karena hari ini tiada sure yang lebih melimpah daripada air mataku. Biarkan aku jadi pawang kemanapun kau mau." 

"Bawa saja aku ke tanah harapanmu Cut Bang, ke tanah Perahu yang selalu dapat ku temani melaju atau menunggu."  merekapun pergi menunganggi ombak.

Senin, 16 Juli 2018

MATAHARI

MATAHARI. Bahwasanya kita telah sepakat berkelana jauh sampai lupa jalan pulang, Dik. Melupakan tanah yang pura-pura damai. Melupakan segala kerakusan penghuninya. Melupakan sakit hati pada listrik dan dendam pada air bersih. Bahkan mengubur harapan. 

Malam ini kita berhasil tersesat dengan sempurna. Berhasil asing di tempat yang memiliki segala buah, ikan, beras, dan bunga untuk kuselipkan di selah telingamu tiap bangun pagi tanpa susah payah. Lalu bersama memandang samudra sambil mendengar kicauan burung di dahan-dahan yang berdaun agak kekuningan ditusuk cahaya pagi. Seperti ujung rambutmu yang kuning padi. Inikah tanah impian, Dik? Di mana anak-anak kita bebas bermain air dan bersekolah pada alam. 

Dik, kita telah sepakat  tanah impian tidak asal bilang madani, tidak asal beriman, tidak asal berkerudung putih. Apalagi lupa pada asal. Tanah impian itu persis ketika aku menemukanmu, aku seperti dihidangkan banyak kasih sayang dan cinta tanpa kepalsuan. Tanpa dikafirkan. Tanpa dilecehkan kemiskinanku dengan pecutan. 

Aku akan selalu bertanya: ini kah tanah impianmu, Dik? Bila tidak, aku akan membawamu lebih tersesat untuk menemukan tanah yang tidak pernah orang lain temukan. Namun, aku tidak akan  pernah bisa menemukan bulan atau matahari yang lain daripada ini untukmu. 

Tersenyumlah terus untukku, Dik. Matahari pun akan dingin bila melihat wajahmu yang tidak pernah ingin mengelabuhi Tuhan.