Senin, 31 Juli 2017

Perempuan Berwajah Kenyang



Angin menghembus kabut ke dahan-dahan pinus yang mengigil di lembah Seribu Bukit. Lagu-lagu kasih turut mendayung malam dari mulut perempuan-perempuan berwajah kenyang seiring bantal yang digebuk-gebuk. Malam ini pesta akan panjang. Gelak tawa tidak akan berkesudahan. Tapi di atas bongkahan batu yang basah, yang sama basahnya dengan bola mata si wajah garang, ada impian yang akan runtuh di tangan penghulu besok pagi. Lelaki bersarung tidak rapi itu seperti sedang meratap pada malam agar matahari enggan datang, namun dingin semakin menjadi-jadi. 

Tubuhnya berguncang. Peci hitam sepak di kepalanya dihantam ke batu dengan tangan kanan sambil berteriak ke asal suara perempuan-perempuan berwajah kenyang seiring bantal yang digebuk-gebuk, "Kau boleh mengambil hatiku, tapi jangan jantungku.!!! Aku masih butuh itu..Onah!!"

Suaranya yang mengema digebuk suara bantal perempuan-perempuan berwajah kenyang. Di ambilnya sebilah parang di samping, dia melompat ke jalan setapak menuju belantara dengan lekas. Di belakangnya seekor anjing sigap ikut meluncur menuruni lembah. Lidahnya leler menetes liur. Anjing itu berwarna hitam arang dengan satu matanya buta yang dipanggil Dajjal. 

Dajjal mengonggong-ngonggong sesampai di sepetak kebun tanpa pagar. Sambil memaki "bajingan toke-toke laknat tidak datang-datang" lelaki itu menebas batang-batang ganja yang bunganya seharum buah kuini dengan membabi buta. 

Semua pohon telah rebah dalam satu jam. Nafas lelaki itu ngos-ngosan sambil duduk di rangkang kecil di ujung kebun. Matanya nanar menerawang ke seisi kebun yang menjanjikan emas untuk meminang Onah. 

Kebun sudah lapang. Dilihatnya ke atas Dajjal yang meringkuk dekat kakinya. Diambilnya korek api dan minyak tanah sambil berkata dengan nafas tersenggal-senggal, "Besok kita akan kembali ke kampung Dajjal, tanpa perlu takut dikejar pistol bang Maun. tapi malam ini kita akan merayakannya dengan meriah." Anjing itu mengongong ke arahnya sekali. 

Kayu bakar dikumpulkannya di tengah kebun menjulurkan lidah api yang terus membesar, tanaman ganja yang dilemparnya ke dalam api mengepulkan asap putih. Dajjal mengonggong mengikuti lelaki itu menari-nari mengintari api dalam kumpulan asap sambil menepuk-nepuk-nepuk dada. 

Sementara itu, lagu-lagu kasih terus mendayung malam di mulut perempuan-perempuan berwajah kenyang seiring bantal yang digebuk-gebuk dengan meriah di depan jantung yang hilang.

Sabtu, 15 Juli 2017

Mawar

MAWAR

Seribu malam telah punah diterkam waktu
Seribu mawar telah tumbang sendirinya
Seribu mawar yang lain gelisah tumbuh di tanah yang tidak dikenali
Adakah waktu kejam? 
Ataukah mawar ketiban sial?
Indahnya diperkosa sebisa mungkin
Wanginya di raba sepuas mungkin
Adalah suatu kesalahan terlalu indah pikirnya
Adalah suatu percuma durinya kalah pesona dengan kuntumnya
Menjadi mawar adalah berkah, sekaligus petaka merah mengoda
Mawar hanyalah sebangsa bunga 
Bunga yang pasrah di tangan siapa saja.

(22 Februari 2017)

Minggu, 09 Juli 2017

Kapal Malam Ke Sabang

SABANG. Saya tidak ingat lagi berapa puluh kali sudah ke Sabang. Tapi kali ini benar beda, baru kali ini saya naik kapal berangkatnya malam. Sejak siang tadi ngantri, dan rupanya kapal penuh, akhirnya kapten kapal pun ngumumin kalau akan kembali ke pelabuhan Ulee Lheu pukul 20.00 WIB untuk mengatarkan kami ke ujung rambut ibu pertiwi. Setia kali kan kaptennya?😄

Bila tidak ada alang melintang, saya akan menginjakkan ban sepeda motor saya pada pukul 10 malam.  

***

Bulan cipit mengintip di barat 
Cahaya lampu mengampung di dermaga Ulee Lheu. 
Kapal BRR telah  mengaung kenyang
Saatnya mengarungi gelap dengan berbagai alasan masing-masing. 
Tanpa darat
Hanya langit
Hanya gelap
Hanya air, angin dan bunga petasan selamat jalan.

(Pelabuhan Ulee Lheu, 8/7/2016)

BUNGA KARANG


Biarkan gelombang mengayunmu tanpa lelah
Biarkan ombak menepukmu sebagai ibu
Biarkan ikan membelaimu
Biarkan angin bernyanyian di dedaunan 
Tidurlah, Ini sudah malam
Darahmu bening
Mereka berdatangan
Besok engkau akan dicumbu bersama-sama lagi
Mekarlah dengan indah
Mekarlah dengan tabah

(Pantai Iboih, Sabang, 10/7/2016)

Antara Hati dan Jantung.

Di langit, bulan malas bercahaya
Di Sabang Fair, ombak dan angin berdeburan meyerbu pantai 
Tujuh meriam tidak kuasa menghadang
Hanya lampu kapal sebagai pedamai
Hanya warna-warni pohon lampu sebagai penghibur
Nyiur dan cemara adalah saksi
Di sini, tiada dusta yang dibagi kecuali dingin yang menusuk hingga ke hati
Tiada tempat yang begitu gelap selain ingin berkasih
Sabang Fair adalah jantung
Iboih menjadi hati
Sedang kekasih adalah keresahan yang tidak jauh dari sini
Tidak jauh dari hati dan jantung
Atau bersembunyi antaranya. 

(Sabang Fair, 10/7/2016)

Tupai dan Secawan Tuak

 Pada suatu sore yang kering di bulan Juni, lelaki berambut panjang yang telah melewati 10 kali lebaran seorang diri di kebun tanpa  sayuran itu mulai gusar pada semua pohon di sekitarnya. Tidak ada pohon yang ditanam benar-benar ingin berbuah untuknya. Hari-hari terasa semakin nyeri mendorongnya menjadi bisu, matahari membuatnya tertidur, dan malam sebagai teman menertawai terang. 

Sekarangan Anggrek yang paling setia mengucap selamat pagi padanya mulai menemukanya di sore hari dengan mata sembab, yang terus sembab mengalahkan rembulan yang merah. 

Sekarang, tidak ada yang paling dia cintai selain sebatang pohon aren yang tumbuh dengan sendirinya di tepi Alur, tepat di seberang pagar belakang rumahnya. Aren itu menjadi teman yang disapa saban waktu, dan setiap sore menjelang magrib dia selalu memanjat bambu berupa tangga yang disandarkan ke pohon Aren hanya untuk menyalami tandannya yang telah ditebas buahnya. Sebelum turun, dia mengayun setandan buah muda lainya dengan rapalan mantra kasih yang melantun lirih "Yon ayoen utom jok ube raya..Yon ayoen tijoh ie jok lage saka" agar tandan itu mencurahkan seluruh air seperti tandan di atasnya. 

Dua kelapa pohon kelapa yang masih remaja melihat iri ke arah Aren yang 1 bulan belakangan ini sering disentuh oleh Tuannya. Sama dengan Anggrek yang ditempel di pohon kuda-kuda, berbunga sendu merindukan sentuhan Tuannya. Tuan telah diguna-guna Aren, kata mereka mengabari pohon di sepenjuru bukit. 

Air Aren yang telah diracik menjadi tuak dengan akar rumput liar dan kulit pinang muda itu, telah menghanyutkan ambisi lelaki yang sempat mengemparkan hutan yang pohon-pohonnya kesepian: akan menyulam bukit tandus ini dengan pohon seperti hutan Amazon. 

Kini ambisi itu telah redup tanpa alasan. Mungkin waktu telah memakannya sampai habis. 

"Aren..! Hanya kamu yang mengerti aku," kata lelaki berbadan ceking itu. 

"Teguklah lagi tuak ini, Tuan. Aku akan terus memenuhi jiregen yang engkau gantung. Bila habis, maka tebaslah tanganku lainnya, niscaya aku akan mencurahkan seluruh kasih sayangku pada Tuan."

Lelaki itu mengangkat batok kelapa, lalu meneguknya dengan haus. Sebagian tuak menjelumer membasahi dadanya yang telanjang. 

Tidak hanya Jati, kelapa, dan Anggrek yang cemburu pada Aren yang telah merenggut tangan yang selalu menyiram dan memupuk mereka di pekarangan rumah kebun ini, tapi Tupai dan burung perkutut merasa marah jatah makan mereka tidak lagi terletak di atas Para oleh Tuannya di sepanjang pagi. 

Tupai mulai berfikir licik. Dia mondar-mandir ke seluruh pohon mengabarkan kemarahan pada Aren dan mencari cara agar tidak terguna-terguna dengan tuak. Karena bagi Aren sendiri, mudah mengalahkan Tupai walau hanya dengan aroma Tuaknya. 

"Perkutut, Jati, kelapa, Anggrek..Besok siang saat Tuan tidur, aku akan membunuh Aren. Kalau tuan bertanya, katakan dia mati karena meminum tuaknya sendiri."

"Bagaimana kau akan membunuhnya," tanya Anggrek penasaran. 

"Aku akan menusukan duri pari yang pernah di pakai endatuku untuk membunuh pohon beringin yang jadi sarang ular di sudut alur itu, " jawabnya sambil menunjuk ke pohon lapuk di seberang alur yang mengering. 

Kabar Endatu Tupai menghancurkan sarang ular yang telah memangsa keluarga mereka memang megah terdengar sampai ke telinga Putri Malu sekalipun. Cerita itu melegenda bahwa duri pari yang dipakai untuk membunuh Beringin timbul dengan sendirinya dari kawah bawah laut Gunung Semergoh setelah endatu tupai melarungkan sebiji lada hitam yang hanya tumbuh Lima tahun sekali di Glee Raja. 

Dengan sebiji lada hitam itu, akhirnya Tupai membawa pulang duri berbisa yang mampu melayukan pohon dalam sekali tancap. 

"Baik kalau begitu, kami akan tutup mulut walaupun Tuan bertanya dengan murka. Lagi pula, Aren pantas untuk mati. Dia tidak ditanam oleh Tuan seperti kita, lalu seenaknya merebut perhatian dari kita," sahut Jati seraya disambut riuh yang lainya. 

"Tapi aroma tuak bisa membuatmu sepoyongan. Sebaiknya kau menangkalnya dengan bunga taik ayam yang harus kau usap di hidungmu." Kata burung perkutut dengan wajah serius. 

"Ah, kau bercandaiku, Tut!? Bisa-bisa aroma bangke itu yang duluan buatku mampus sebelum sempat membunuh si Aren," jawab si Tupai sedikit kesal sambil mengenang aroma busuk bunga taik ayam yang tidak hilang berminggu-minggu. 

"Aku cuma menyarankan penangkal. Yasudah kalau kau lebih suka jadi bangke daripada cuma sekedar aroma bangke."

"Kau cuma tidak tau saja aroma bunga taik ayam bisa buat kau memohon tak punya hidung." Mereka tertawa terkekeh mendengar Tupai gelisah akan bunga taik ayam yang aromanya memang aduhai busuknya. Tapi begitulah obat sesungguhnya. 

Setelah lelah tertawa Tupai kembali menyambung rapat di pekarangan rumah berkontruksi kayu itu. "Baiklah. Fokus! Begini rencananya. Perkutut bertugas bernyanyi lebih indah dari pagi-pagi sebelumnya dan mengabari bila nanti sekonyong-konyong Tuan bangun saat aku sedang melancarkan misiku. Jati, bertugas memanggil angin agar Tuan terus terlelap dengan nyenyaknya. Anggrek, bertugas menarik perhatian Tuan dengan bunga yang indah bila hal tidak terduga terjadi. Sedangkan Kelapa ikut membantu Jati mengajak angin menari di sini. Paham?" Semua mengangguk. 

Persekongkolan itu telah sempurna. Besok mereka akan membunuh Aren yang dianggap tak suci dengan penuh dengki. 
 
Di pagi yang mataharinya masih bersinar keemasan seperti kemarin, lelaki tinggi berwajah tirus itu masih pulas tertidur dalam rencana Tupai kemarin hari. Dari belakang pagar yang kawatnya berkarat, Tupai merangkak pelan ke arah Aren. Di giginya terlihat mencengkram duri pari, sekuntum bunga warna kuning tua juga terkalung di lehernya. Dengan wajah memerah sampai mengeryitkan hidung, sang Tupai menghindari tetesan Tuak yang membasahi kawat berduri dengan dengan langkah terukur. Sedikit saja terkena, Tupai pasti akan terlena seperti Tuannya. 

Dari jauh, Aren telah melihat adanya ancaman setelah melihat duri berbisa yang di bawa Tupai, duri yang goresannya akan menjadi luka seumur hidup, dan tusukannya akan mengeringkan batangnya hanya dalam seminggu. 

"Apa salahku, Tupai? Bukanya kau senang melompat-lompat di pelepah dan membiarkanmu mencicipi sari bungaku?" 

"Iya, itu dulu, sebelum Tuan kau buat mabuk saban hari."

"Tuan sedang butuh teman, aku hanya menghiburnya dengan air tubuhku."

"Ah, omong kosong. Jati dan kelapa menangis tidak pernah dibersihkan lagi tempatnya berdiri, lalu Anggrek merasa berbunga dengan sia-sia karena tidak mampu lagi membuat Tuan bahagia. Sedangkan aku dan perkutut, kurus kering tidak ada lagi dapat jatah biskuit untuk kami makan."

"Aku hanya pohon di luar pagar yang Tuanmu sukai. Apa aku membuat kesalahan, jika akhirnya Tuanmu dimabuk asmara dengan Tuak yang dia racik sendiri?"

"Kau bukan hanya salah, tapi juga keterlaluan. Kau telah membuat satu-satunya anak manusia yang dikasihin seluruh pohon di sini hidup dalam mimpi. Dalam kefanaan yang nyata. Ah, jangan lagi banyak bicara kau Aren. Hari ini kau harus mati!"

Aren bergeming mencoba berlari walau ternyata tidak bisa. 

"Tunggu! Apakah kalian pernah mencicipi Tuakku hingga menyimpulkan aku telah membuat Tuan menderita?"

Tupai berfikir, benar juga apa yang dikatakannya. Bukannya Tuan selalu mendatangi Aren dengan tidak terpaksa dan meneguknya jadi pemabuk riang gembira.

Melihat Tupai berfikir, Aren merasa dia bisa membalik keadaan dan membuat semua yang membencinya berubah memohon setetes tuak. Menyadari itu, Aren cepat-cepat menimpali, "Bawalah secawan tuak ini untuk kau bagikan kesiapa saja yang tidak suka padaku, agar kalian bisa merasakan apa yang Tuan rasakan saat jatuh ke tanganku." Tupai masih berfikir sebelum kemudian dengan sigap merampas cawan dari tandan. 

"Baiklah, aku juga harus adil sebelum memutuskan kau bersalah atau tidak. Jika di kemudian hari aku merasa tuakmu ini membuatku merasakan yang buruk, aku tidak akan segan-segan menghabisimu sampai ke akar-akar," kata Tupai mengancam sambil menganjungkan duri pari. 

Aren hanya tersenyum senang. Besok hari dia akan menang, dan saat semua meminum tuak itu, maka kebun ini adalah miliknya. Semua akan datang pagi-siang-malam mengharap belas kasih dari sebuah pohon di luar pagar. Pohon yang tidak pernah dianggap tapi selalu diharap. 

Sebuah kejahatan yang dicicipi untuk memutuskan bahwa itu memang tidak baik telah menjadikan sepekarangan kebun menjadi candu. Dan tidak ada satu halpun yang mampu memagar keburukan selain diri sendiri. Kebaikan tidak perlu di sangkal, keburukan tidak perlu dibela.

***
Pernah di muat di Media Cetak Serambi Indonesia, Halaman Budaya, (9/07/2017)


Kamis, 06 Juli 2017

Tempat Yang Benar di Waktu Yang Berbeda

Tempat yang sama di waktu yang sama, aku mencair
Tempat yang sama di waktu berbeda, aku membeku
Tidak ada lagi angan-angan yang masih tertambat di besi jembatan tua itu 
Tidak ada lagi terdengar bisikan kecil di tepi sungai yang melarungkan kehidupan itu
Waktu yang mendekatkan kita di jalan yang sering basah, waktu juga yang menjauhkan kita dari bukit yang selalu jatuh 
Namun bila malam ini gerimis tidak juga lain dan dingin semakin menjadi-jadi, berdiamlah sejenak memberi hangat padaku yang tidak ingin kembali beku. 

(Tangse, 2 Juli 2017)

Untuk Seraut Wajah Yang Teduh

Angin bermain riang dengan pucuk Angsana
Menganggu dedaun yang membelakangi malam
Di malam lalu aku bisa mengerti kenapa dingin
Tapi di malam ini aku tidak paham kenapa rindu?
Semakin malam dingin semakin menjadi-jadi
Aku tau ada sesuatu yang indah di balik rindu
Mungkin kamu
Bila rindu tidak usai malam ini
mungkin tidak akan usai dengan baik lagi 
Hingga hati kembali beku.

(Banda Aceh, 6/7/2017)