Minggu, 17 September 2017

Sepotong kisah Gua Ramulah dan PKI di Lhokseumawe

"Saya sangat terkejut melihat sesosok tubuh tanpa kepala, posisinya telungkup tepat di depan pintu masuk bungker," kata Cut Usman di tengah ceritanya. 


Lelaki yang menceritakan itu bernama Usman, berumut 73 tahun. Dia duduk menyilang kaki di salah satu kursi di antara empat kursi berbahan plastik yang juga terisi empat orang lainnya berposisi saling berhadapan di bawah tenda berhias pita kertas warna-warni untuk persiapan acara pernikahan esok hari. 


Seperti yang lainnya, saya di sini datang membantu persiapan pesta pernikahan. Di kampung ini warga saling datang  membantu dengan tenaga membenahi keperluan pesta, walaupun hanya datang untuk sekedar meramaikannya saja. 


Seperti Usman misalnya dan dua warga seumurannya yang juga tinggal di Desa Panggoi, kecamatan Muara Dua, kota lhoksemawe yang duduk sambil sekedar berbincang-bincang mengenai segala hal.

Dari pembicangan itu, tersebutlah misteri Gua Ramlah yang namanya sudah tidak asing di telinga seluruh warga asli Lhoksemawe saat ini.


Sejatinya, Gua tersebut adalah bangunan berupa "kurok-kurok" atau disebut juga Bungker Jepang. Namun setelah penemuan sosok mayat wanita tanpa kepala yang diketahui bernama Ramulah  pada tahun 1965 era pembataian PKI di Indonesia.



“Saat kejadian pembunuhan terkait PKI itu, saya masih berumur sekitar 14 tahun dan saat itu sedang membantu orang tua mengembala Lembu di daerah Gua Jepang itu,” ujarnya (22/8/2014).



Pada masa itu di Aceh, pembantaian terhadap pengikut PKI gencar terjadi, siapa pun yang dicurigai PKI tidak akan aman hidupnya. Namun Usman mengaku tidak pernah peduli akan hal itu.


”Saat itu umur saya masih bandel- bandelnya, mana peduli yang gituan " katanya sembari menebar tawa hingga giginya telihat tidak lagi berbaris rapat.


Rasa kalang kabut akibat penemuan mayat tersebut sempat membuat Usman ingin secepatnya beranjak pergi meninggalkan mayat berpakaian daster yang terlihat tercabik-cabik dan berlumuran darah masih melekat di tubuhnya.



“Melihat kondisi pakaian yang sobek-robek sepertinya sebelum dibunuh, dia sudah diperkosa duluan. Ujarnya menganalisa.



Belum melambat rasanya detak jantung dan nafas yang di buru rasa kaget bertemu mayat Ramlah, akhirnya dia kembali dikejutkan dengan  seongok kepala manusia tanpa badan yang tergeletak di sela- sela hamparan rumput m di bukit yang berjarak 100 meter jauhnya dari mayat Ramulah.



 "Hanya ada kepala dengan rambut pendek dan berlumuran darah, saya kembali kaget dan tidak tidak tahu harus berbuat apa saat itu," jelasnya. 


Dia berdiri tidak bergeming kala menemukan mayat itu. Rasa takut bernasip sama dengan mayat yang dia temukan menyelumuti pikiranya. Dalam rasa takut yang berlebihan, kepala manusia tersebut dipungut dan diletakan dalam semak-semak. 


"Ntah bagaimana caranya menghadapi perasaan kemanusiaan pada saat itu, rasanya pingin saya kubur dengan layak, tapi keadaan masa itu sangat buruk, semua orang bisa mati jika disangka terlibat," kenang usman dengan mimik wajah gelisah mengingat peristiwa tersebut. 



Dari referensi catatan sejarah yang ada, PKI masuk ke Aceh pada tahun 1965, namun kata orang tua Usman padanya. Masyarakat tidak mengetahui arti Gerakan PKI yang sebenarnya, masyarakat banyak dibagikan simbol PKI seperti parang berbentuk sabit dengan gagang bewarna merah, dan cangkul yang gagangnya juga berwarna merah. Pekakas untuk bertani dan berkebun yang dibagikan itu di ambil oleh masyarakat tanpa menyadari dengan memiliki alat semacam itu mereka di anggap terlibat dalam gerakan PKI.



Namun menurut usman lagi, Ramulah sendiri memang termasuk dalam gerakan tersebut.  Dia menceritakan pada masa Ramulah masih hidup, dia mengenal sosok wanita yang terbujur kaku itu banyak di gila-gilai kaum laki-laki. 


 "Dia wanita berwajah cantik. Hidung mancung. Rambutnya lurus panjang selutut. kulitnya kuning langsat. pantaslah dianggap primadona laki-laki saat itu," katanya di sambut tawa.



Menurutnya, pembunuhan serta pembantaian masa PKI saat itu kerap terjadi di kota yang pernah mendapatkan julukan 'Petro Dollar' tersebut dilakukan oleh orang-orang yang dikenal dengan sebutan  sebagai Algojo (orang yang bertugas mengeksekusi mati orang yang terlibat PKI).


Meski tidak tau persis bagaimana sepak terjang PKI sehingga mengakibatkan pembataian yang ditandai dengan seringnya ditemukan mayat-mayat yang kerap terggeletak baik di semak-semak, di tepi jalan, maupun rumah tidak berpenghuni. 


Usman juga mengaku pernah ditunjuki oleh kawannya salah satu Algojo yang hidup sampai masa PKI berlalu. 


 “Saya tidak mengenal namanya, warna kulitnya hitam, badannya tinggi besar dan tegap, kata kawan saya, dia tinggal di daerah kampung Mon Gedong dan menjadi preman di sana. Setelah dia mati  Kota Lhoksemawe baru aman, karena kalau dulu antara kampung sering serang kalau ada sedikit masalah aja,”ujarnya mengakhiri cerita terkait PKI yang di akuinya tidak tau pasti  kapan pertama PKI masuk ke Aceh.



Sampai saat ini, masyarakat Lhoksemawe sangap akrap dengan nama sosok wanita cantik di Gua Jepang tersebut. Nama Ramulah dianggap sangat menakutkan, hingga namanya kerap disebutkan untuk menakuti anak kecil yang suka bermain di luar rumah pada malam hari. 


"Dan lucunya, sampai saat ini anak-anak langsung lari masuk ke rumah mendengar nama itu. " tuturnya diiringi tawa semua orang yang dari tadi duduk khidmat mendengar ceritanya.



Selain itu, kata Usman, wilayah bukit Pangoi, Cot Kuala,  hingga barisan bukit Blang Panyang, Lhoksemawe tersimpan banyak misteri yang belum terkuak. Di sana banyak terdapat bungker-bungker peningalan jaman masa penjajahan.  


Tempat tersebut dikenal masyarakat setempat dipenuhi hal Mistis, seperti halnya sumur yang tidak pernah kering berada di atas bukit, dan ada juga tempat tiga orang Tentara Jepang yang gantung diri di sebatang pohon mane setelah tahu Hiroshima dan Nagasaki pora-poranda di lumat Bom Atom oleh tentara Amerika, hingga masa Konflik bersenjata antara RI dan GAM tempat itu menjadi lokasi pembuangan mayat tidak berindentitas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar