Selasa, 13 Juni 2017

"Ayah, Udara Segar Itu Apa?"

UDARA. Kemarin sore, saat sedang asik bercumbu mesra dengan bibit tanaman kol Bunga (Kubis), yang sengaja saya susun rapi di rak depan toko, tiba-tiba saja tetangga menyapa dengan tanya.

"Ini kabut, apa asap, Rahmat?"

"Dua-duanya." Jawab saya. Dia tertawa.

Lalu ibu satu anak itu, lanjut bertanya. "Kok bisa tebal kali, Emang ada apa?"

"Lagi ada kenduri di Riau," jawab saya cetus. sambil terus sibuk mengemburkan tanah dalam polipack . Dia semakin tertawa. Lalu kembali bertanya.

"Kok kenduri?, bukannya kebakaran hutan ya?"

"Ia, kenduri hutan." 

"Kamu ini lucu Rahmat, kebakaran hutan kok dibilang kenduri?"

"Ia lah, kan Perusahaan perkebunan di Riau sedang merayakan kebaikan hati Pemerintah Indonesia atas izin pembukaan lahan gambut untuk nanam sawit. Mungkin eksport CPO lagi surplus-surplusnya karena dolar naik, jadi perusahaan-perusahaan yang di cintai negara itu bikin  perayaan bakar-bakaran hutan biar lahan sawit semakin luas," kata saya sambil lempar senyum, sembari tangan terus mencubit Rumput-rumput kecil yang mulai tumbuh cepat di bawah tajuk tanaman Seledri. 

Mendengar jawaban saya, Perempuan berjilbab ala ustazah itu, diam. Lalu berjalan menuju tepi jalan sambil kedua telapak tangannya di kaitkan ke belakang punggung. Matanya lapar melahap  hamparan sawah sebrang jalan Lambaro kafe, Aceh Besar yang kini mulai rabun tertutup kabut asap.

"Biasanya, gunung Samahani itu itu napak jelas dari sini. Hari ini, nampak pun ngk." Celetuknya mengenai gunung  dalam gugus bukit barisan itu.

Mendengar nada risaunya, saya menyudahi melalaikan diri dengan hobi itu.  lalu ikut bebaur membuang padang ke sekitar.

"Beginilah kak, kalau manusia serakah sama uang, sampe lupa sama makanan hidungnya sendiri. Padahal udara adalah prioritas utama untuk kehidupan."

Dia menoleh ke saya, dan kembali membetulkan pandangannya. Lalu suami dan anak laki berumur 2 tahunya datang ikut memandang dipelukan Babaknya. Di ujung senja yang di balut cuaca redup, kami menghirup berat 'ole-oleh' dari Riau yang semakin pekat tidak bisa di tolak.

Kabut asap akibat pembakaran lahan gambut ini sudah lama jadi ke kwatiran saya sejak tempo dulu pernah mengikuti beberapa kali proses persidangan di Pengadilan Tingi (PN) Melaboh, terkait gugatan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) terhadap PT. Kalista Alam (KA) atas pembukaan lahan dengan cara membakar pohon yang sudah di tebang untuk menghemat biaya pembersihan lahan (Pembakaran Lahan).

Parahnya lagi, lahan yang diperkarakan itu, menurut para ahli dalam sidang, merupakan kawasan lahan gambut sedalam lebih dari 4 meter yang izinnya sudah di cabut penggunaan lahannya dari KA oleh Gebernur Zaini Abdullah melalui sidang PTUN pada tahun 2013. Maka patutlah gambut itu harus tetap dilestarikan, tidak boleh di keringkan airnya. Karena akan merusak ekositem komples rawa dan juga akan rentan kebakaran yang pasti mustahil padam tanpa diguyur hujan.

Sebelum ditugaskan mengikuti perkara sidang tersebut ke PN Meulaboh, saya sedikit tau tentang lahan gambut karena latar belakang pendidikan yang saya geluti adalah pertanian.
Defenisi sederhana saya: Lahan Gambut merupakan danau yang berisi tumpukan sendiment organik secara alami. Sanga potensial untuk tanaman rakus air seperti sawit. Namun celakanya, Bila di keringkan maka akan mudah terbakar.

Kemenangan KLH melalui keputusan Hakim Ketua Rachmawati SH pada awal tahun 2014 silam, mendapat apresiasi tepuk tangan yang sangat meriah dari berbagai pihak, baik di media lokal dan nasional, bisa jadi juga dunia. Di karenakan, sidang itu juga merupakan sidang kasus Pembakaran lahan pertama di Indonesia yang berhasil menyeret dan memutuskan perusahaan bersalah, sampai KA harus menganti rugi dana Reboisasi kepada pemerintah dengan denda sebesar 366 Miliar rupiah. Dan juga harus melepas lahan yang ternyata hasil inspeksi PN di lapangan di wilayah kecamatan suka makmur, kabupaten Nagan Raya. Mereka menemukan, fakta bahwa PT. KA telah mencaplok kawasan hutan lindung KAWASAN EKOSITEM LOUSER (KEL) seluas 5. 769 Hektar.

Walaupun itu kemenangan yang cukup besar bagi wajah hukum di Indonesia, tapi, menurut prediksi sebahagian kawan-kawan perngiat lingkungan: Masalah yang akan datang di kemudian hari akan lebih besar. Yaitu: Ketidakmampuan pemerintah mereboisasi dan menjaga lahan dari pencaplokan oleh masyarakat yang mengira tanah itu tak lagi bertuan. Jika tidak di atur dengan sekian rupa peruntukannya, maka akan menjadi konflik yang lebih sulit diselesaikan tidak seperti saat ini.

Kembali berbicara pada fenomena kabut asap yang sampai saat ini masih merendam wilayah Sumatera bagian Utara, Barat dan Selatan. Tak terkecuali  Aceh.

Anda tidak mungkin tidak sepakat seperti yang akan saya jelaskan. Udara adalah sumber penopang hidup nomor satu. Kedua Air, kemudian makanan. Betulkan?kalau ada yang bertanya Kenapa begitu? Coba tahan nafas anda selama 1 menit saja? Anda pasti akan tau rasanya di jemput malaikat maut bila 5 detik lagi tidak menghirup udara? Sedangkan ketiadaan Air, tubuh anda mampu bertahan selama seminggu. Dan makanan selama sebulan.

Udara kebutuhan yang harus kita suplai ke tubuh per-sekian detik. Lalu kenapa pemerintah tidak berfikir? Mengatasi perusahaan yang mau irit biaya bersih-bersih dengan cara membakar lahan yang akhirnya mengakibatkan tercemarnya udara. Ini merupakan hal serius. malah sangat serius untuk di tangapi sebagai darurat nasional kalau permerintah jujur sayang rakyatnya.

Ribuan masyarakat Hiroshima dan Nagasaki musna di hantam ledakan Bom Atom serta radiasinya. Meski tidak serupa.coba Banyangkan jika udara dirambati asap pekat? Tentu Daerah pemungkiman yang di lewati asap juga bergelimpangan mayat yang kehabisan Oksigen.

Oksigen (O2) adalah salah satu muatan gas yang bercampur dengan Kumpulan  gas lain dalam udara. Dari pencarian saya di Wikipedia, Presentase muatan.masing-masing gas tersebut adalah 70% Nitrogen, 20% oksigen. Dan 10% gas lainnya.

Jika asap mendominasi campuran udara tersebut lebih tingi dari oksigen, Maka dipastikan manusia akan berlahan mati karena menghirup zat racun Co2 (karbon dioksida).

Luasan lahan gambut  di Indoneaia mencapai 20.6 Juta hektar. Dan 35% luasan hamparan tersebut berada di Sumatera sekitar 7,2 hektar. Seakan masalah asap adalah Bom waktu yang fatal jika tidak sesegera mungkin di antispasi oleh pemerintah pusat dan Daerah.

Melihat misi pemerintah periode sekarang, yang kian luas membuka gerbang Investasi bagi negara luar. Tidak mustahil Kita juga akan jadi Babu di negara sendiri. Maka bayangkan tahun-tahun ke depan jika pohon rata di tebang. produksi asap pembakaran lahan dari Riau dan Acehpun terus berlanjut. Lalu berkah tuhanpun enggan lagi  turun dari langit karena bosan akan keserakahan manusia terhadap uang semata. 

Saat negeri yang di sebut-sebut sebagai Paru-paru dunia ini 'SESAK NAFAS', dimana lagi oksigen kita dapatkan?

BAYANGKAN..? 

Bagaimana kita harus menjawab pertanyaan sederhana generasi nanti bila tidak menjaga Alam baik-baik? saat bocah-bocah mungil masa depan hanya bisa menikmati keindahan alam lewat membaca buku. Lalu bertanya.

"Ayah, udara segar itu apa?"

Mungkin mudah menjawabnya hari ini, bisa jadi tidak besok hari. Saat Pohon-pohon telah menjadi arang.

Untuk Tangse

Orang yang terlihat sabar selalu  menakutkan saat marah. Begitu juga alam ini, saat penompang  kehidupan (Hutan) dirusak, maka surgapun akan menjadi neraka.

Sudah Tiga tahun berlalu sejak banjir bandang terakhir di penghujung 2012 menyapu beberapa rumah di perkampungan Tangse, Pidie. Luasan hutan yang merosok akibat penambangan, pembukaan lahan perkebunan, dan penebangan pohon di hulu, menjadi satu alasan yang pasti atas kejadian yang pernah merengut nyawa.

Kondisi Topografi gunung yang berlembah-lembah  Menjadikannya rentan terhadap longsor dan banjir bila pengungunan di atanya telah di gunduli.

Banjir yang paling terdahsyat juga pernah terjadi pada penghujung tahun 2011. Air bah itu juga di sebut sebagai "Banjir Bandang Pertama di Tangse".

Potongan bulatan pohon bekas Sengso (Gergaji Mesin) bertebaran di perkampungan yang terkena terjangan air bah. Kayu-kayu menumpuk bermeter-meter kubik di pingiran sungai usai air bandang meluncur bebas.

Tidak hanya mengakibatkan kerugian materi, sebanyak 12 orang korban jiwa juga ditemukan Tim Sar yang ikut dibantu oleh relawan dari  Mahasiswa Pencinta Alam Aceh.

Pada tahun 2013 dan 2014 banjir juga datang, tapi dengan sedikit ramah.

Langit tangse, memang sering menangis. Banjir, mulai menjadi tamu  yang selalu datang tiap tahunnya.

Seperti tadi, "kembang desa" Aceh itu, menangis tersedu-sedu memberi kabar.

Banjir datang lagi, bang.
Rumahku hanyut.
Ternakku me-liar.
Tanahku remuk.
Pohonku tumbang.

Abang..
Petaka dari mana ini?
Sungaiku tidak bersalah bang
Hutanku tak berdaya bang

Abang..
Tidak mungkin kusalahkan Hujan
Tidak mungkin kusalah Tuhan.
Kita khalifah di bumi
Alam ini diberikan dalam kondisi baru kan bang?

Abang..
Malam ini aku ketakutan
Aku kedinginan
Tetangga di tunong juga ketakutan. 
Jalan Geumpang putus.
Tiada tempat paling aman bila bencana tiba, kata mereka.

Bala seperti apa ini?
Penampung rezeki ku (Hutan) rusak bang.
Aku merasa miskin dalam rezeki yang melimpah
surga tergadai untuk neraka

Bang, aku pasrah
Air bah tiba dari mana saja
Uangku tidak berguna.

Datanglah bang.. 
Rawat lagi Hutan Aceh 
Pupuk lagi harapanku yang layu.
Akan ku jaga warisan hutan ini kelak pada anak-anak kita baik-baik.

Agar menjadi contoh yang baik.
Agar tumbuh
Agar teduh
Agar damai
Agar mengalir doanya pada kita.
Bukan maki serapah atas serakahnya kita.

Datanglah, bang.
bantu aku bangkit kembali.


(Untuk Tangse.)

Matahari Yang Dingin di Matamu

MATAHARI. Bahwasanya kita telah sepakat berkelana jauh sampai lupa jalan pulang, Dik. Melupakan tanah yang pura-pura damai. Melupakan segala kerakusan penghuninya. Melupakan sakit hati pada listrik dan dendam pada air bersih. Bahkan mengubur harapan. 

Malam ini kita berhasil tersesat dengan sempurna. Berhasil asing di tempat yang memiliki segala buah, ikan, beras, dan bunga untuk ku selipkan di sela telingamu tiap bangun pagi tanpa susah payah. Lalu bersama memandang samudra sambil mendengar kicauan burung di dahan-dahan yang berdaun agak kekuningan ditusuk cahaya pagi. Seperti ujung rambutmu yang kuning padi. Inikah tanah impian, Dik? Di mana anak-anak kita bebas bermain air dan bersekolah pada alam. 

Dik, kita telah sepakat  tanah impian tidak asal bilang madani, tidak asal beriman, tidak asal berkerudung putih. Apalagi lupa pada asal. Tanah impian itu persis ketika aku menemukanmu, aku seperti dihidangkan banyak kasih sayang dan cinta tanpa kepalsuan. Tanpa dikafirkan. Tanpa dilecehkan kemiskinanku dengan pecutan. 

Aku akan selalu bertanya: ini kah tanah impianmu, Dik? Bila tidak, aku akan membawamu lebih tersesat untuk menemukan tanah yang tidak pernah orang lain temukan. Namun, aku tidak akan  pernah bisa menemukan bulan atau matahari yang lain dari pada ini untukmu. 

Tersenyumlah terus untukku, Dik. Matahari pun akan dingin bila melihat serah wajahmu yang tidak pernah ingin mengelabuhi Tuhan.

Menyambut Rindu

PULANG. Sekian tahun jejak kakimu berserakan di lintas kota. Menelan kesibukan mentah-mentah demi mengumpul jerih untuk kembali besok hari. 

Rinduku, entah rindumu, telah lama dibakar matahari, dibilas hujan, ditidurkan malam. Kamu tetap bilang sangat ingin pulang besok hari.

Lebaran menyamar menjadi kesempatan yang dinanti untuk menancapkan kehausan mata ke wajahmu. Wajahku. 

Apakah semua pulang, seperti cinta yang ikut pergi melamar mimpimu? Atau hanya sebentuk tubuh yang sangat ku kenal itu yang kembali?

Besok mungkin hujan akan menyambutmu pulang, sama seperti kala itu ku lepas gengam dari pucuk tanganmu di ruang tunggu Bandara Iskandar Muda. Sama seperti kamu pergi, tidak akan ku tanya apa yang kamu bawa. Sebab telah ku bisik ke daun telingamu yang berhijab kala kita berteduh dari deras tangis awan waktu itu: kembalilah seperti kamu pergi.

Besok akan tiba dimana rindu menagih janji yang tidak mampu ku ingkari sangat ingin ku tatap sisa badai tempo hari di matamu. Mungkin tidak bersisa rumah kontruksi baja yang kita bangun melawan waktu yang mewabah karat. Tapi ku tetap lega kamu injak kembali tanah tercinta yang sering kita tanam harapan kala sulit masa itu.

Bibit-bibit padi telah tertanam menyambutmu pulang, seperti waktu itu senang kamu sisir gemulai pucuk-pucuknya di sawah sebelah selatan desa gerimis itu sebelum pergi. Dari sana kamu pergi, di sini aku menunggumu pulang dengan sejahtera.

Gagasan Si Agus

GAGASAN. Masa kecil Thomas Alfa Edison sempat divonis gurunya sebagai siswa yang idiot, sehingga setelah 3 bulan sekolah ia di-drop out (DO) alias dikeluarkan dari sekolahnya. Beruntung, ibundanya melatih membaca dan berhitung, sehingga kecerdasan Edison kecil berkembang, bahkan menjadi pemikir terbesar sepanjang masa karena dapat menemukan 3000 jenis penemuan salah satunya ‘lampu listrik’.

Dalam salah satu biografinya disebutkan bahwa Edison berhasil menemukan lampu pijar setelah mengalami kegagalan 999 kali, artinya baru penelitian yang ke 1000 kali Edison menemukan lampu listrik. Sungguh ke-idiotan yang membawa berkah. Kalau saja Edison frustasi dan memberhentikan percobaan penelitiannya ketika mengalami kegagalan yang ke 999 kali, mungkin pokemon juga tidak akan ada. 

Penemu "teori relativitas” Albert Eisntein dipublikasikan (1905) juga diakui sebagai orang cerdas, bahkan tercerdas di Planet Bumi di abad 19 dan abad 20. Archimedes juga begitu.  Teori tekanan “gaya apung yang bekerja pada suatu benda di dalam suatu fluida sama dengan berat fluida yang dipindahkan oleh benda itu” sebagian orang disekelilingnya menganggap dia “gila” apalagi ketika dia asli girang ketika menemukan kesimpulan dari teorinya.

Archimides menemukan kesimpulan dari penelitiannya ketika mandi di bak seperti biasa orang yang mau mandi: tanpa baju, tanpa celana, tanpa sehelai benangpun alias telanjang atau bugil. Archimedes menyadari kalau air dalam bak mandi yang tadinya tidak penuh kemudian meluber tumpah ketika dia masuk kedalamnya. Saking girangnya Archimedes langsung lari sambil berteriak ”eureka…. eureka… eureka…” (saya menemukan… saya menemukan …), dia baru sadar setelah lama dia berlari bahwa dia telanjang atau bugil, lingkungan sekitarnya jadi semakin yakin Archimedes gila. Anggapan itu ternyata keliru! karena hampir semua sekolah si dunia sekarang mempelajarai teorinya. Ya..seperti kata orang "gila dan cerdas itu beda tipis". 

Kemarin malam, saat K, P dan saya sendiri sedang membicarakan bagaimana hancurnya ekosistem Gunung Seulawah yang menyebabkan banyak monyet yang meminta-minta di tepi jalan, tiba-tiba saja yang namanya Agus sekonyong-konyong berlari memotong pembicaraan kami. Mata kami sigap mengarah ke arah lelaki 'kekar', bercelana pongol coklat tanpa baju itu. Dengan sekejap badan tambun itu mengguncang dengan kekuatan 8,7 skala ricter bangku panjang yang kami duduki. Kami terkejut. Tanpa berdosa dia malah santai bertanya pertanyaan yang sulit kami jawab dengan kondisi pembicaraan monyet di Selawah belum kami beri makan. 

"Bang di Lhoksemawe banyak mobil bekas kan!?" Kami saling menatap satu sama lain sebelum terkekeh-kekeh dengan pertanyaan Si Agus ini apa lagi..!!! Dasar Agus! 

Rupanya dia sedang merecanakan sebuah bisnis sejak tadi di sebuah ruang dengan seorang temannya. Jadilah dia hampiri kami yang sedang menikmati bubur kacang hijau di luar untuk meluluskan ide brilian hasil betapa dalam kamar penuh nyamuk itu. Sebagai orang tertua, K berusaha mencari tau maksudnya dengan bijak. 

Mobil bekas tadi dimaksudkannya untuk membuat "rumpon" atau bisa dibilang rumah ikan. O..maklum lah dia nanya gitu, dia kan memang penyelam. Kecuali itu, saya masih saja tertawa mengiang-giang dia begitu bersemangat berlari ke kami cuma untuk nanya: Bang di Lhoksemawe banyak mobil bekaskan? Hahahaha. Sampai mau pulang pun saya masih tertawa. Hahaha. 

Kata Agus, dengan memafaatkan mobil bekas (rongsokan) menjadi rumah ikan di laut dia dapat meraup untung 20 juta per sekali panen per satu lokasi (entah kek mana hitungnya). Pikirnya, selain ngak bersusah payah ngarung ampe ke ujung lautan, dengan cara ini lebih banyak keuntungan yang bisa didapat (saya cuma mangut-mangut dengar dia bicara panjang lebar kayak gaya orang-orang suksess itu). 

"Bayangkan kita bisa menumbuhkan terumbu karang, ikannya beranak pinak dan dengan mudah kita tangkap." Kata Agus menjanjikan. 

K dan P, menambah pengetauan soal mobil bekas sana-sini untuk menyambut baik gagasan Agus yang benar brilian di tengah hujan malam kemarin. Kecuali saya. Tiap kali mereka bilang kita kumpulkan mobil rongsokan lalu kita ikat seperti karangan bunga, kemudian kita ceburkan ke laut dengan tali, saya ketawa lagi habis-habisan. Entahlah, saya merasa jahat, pasti orang kayak saya yang ketawain Si Thomas pas gagal hidupin lampu dulunya. Tapi akhirnya dia berhasil. Kalau si Agus tidak berani saya katakan sekelas atau mendekati Einstein, tapi mantaplah idenya. Saya doakan saja dia berhasil  bangun pagi. 

Sebelum pamit pulang saya berfikir, gagasan seperti ini terkadang terdengar konyol..malah jadi ejekan kayak para penemu itu. Nah, kalau si Agus berhasil ngumpulin mobil bekas berkat sakit hati netizen saya ketawain Si Agus, lumayan juga si Agus kan? Jadi Agus Edison dia. 

Sejak sering guling-guling di kempus, ide gila dari orang semacam Agus ini sering berseleweran tiap pagi-siang-petang-malam. Malah subuh juga sering. Kampus memang tempatnya superman sembunyiin celana dalam biar kayak orang-orang. Tempat batman ngeronda (nilap) jagung dosen tanam. Luar biasalah pokoknya kampus itu bisa jadi apa aja. 

Nah..kembali ke Si Agus. Sambil beranjak menuju mobil saya pangil Si Agus lewat jendela untuk memberinya ide. 

"Cek Gus, kredit mobil udah murah!"

"Maksudnya?"

"Lah iya..kalau gagasanmu benar adanya, mulailah mengkredit mobil murah untuk kau jadikan rumah ikan. Ikan mana yang dapat menolak mobil baru!?" Eh malah dia yang ketawa terkekeh-kekeh. 

Abang Sya Fril dan Adami Us mau ikut usaha ini gak?wkwkwk

Untuk Keponakanku Putroe Meurah Intan.

WAKTU. Nak, kau tau? Saat mengangkatmu ke pundak, aku merasa tubuhku akan semakin melemah seiring waktu, dan kau akan semakin tumbuh kuat. Kuharap kau tau maksud kehidupan. Jangan sombong. 

Nak, kau harus ingat? Tanjakan kecil ini suatu-waktu akan sukar ku lalui, kuharap kau paham, waktu akan mengambil semuanya darimu. Yah Cut, Ayahmu, Ibumu, semua akan fana nantinya. Tebarlah kebaikan di setiap langkah hidupmu. 

Banyak hal yang harus kau pelajari dan mengajarimu nantinya. Tentang hidup yang sama sekali bukan hanya pekara uang. Jikapun kau mendambakan kemewahan, maka akan kau dapati kegelisahan. Hatimu akan terus haus pujian. Jika kau hanya mencita-citakan ilmu yang tinggi tanpa kelembutan hati, maka kau akan mendapati kesombongan. Hatimu akan sukar menghargai orang lain. Jangan biarkan hatimu kering seperti rambutan di musim kemarau ini, berbuah, namun tidak dapat menikmati hasil. 

Perhatikan sekitarmu. Ambillah makna dari sehelai daun yang jatuh sekalipun. Sesungguhnya akan sampai saat kau diuji berjalan sendiri di tanjakan kecil ini, dengan lincinnya, dengan teriknya, dengan durinya, dengan lubang dan batunnya. Mungkin juga dalam gelap. Tegar dan tabahlah untuk segala ketidakmungkinan sekalipun dalam kehidupan. Bergembiralah, Nak, dengan segala kebaikan Tuhan.

Sa

HUJAN. Sa, mudah membalut lukamu, tapi tidak menyembuhkannya. Dari mana air matamu yang tak habis-habis ini, Sa? Berliburlah malam ini, biarkan hujan mengantikan. Aku juga laki-laki, Sa, yang kau bilang mahluk paling kejam sedunia. Senang menodai lalu pergi begitu saja menodai lainnya lagi. Bagaimana caranya aku menghiburmu, Sa..!? Bahwa Lelaki itu hanya soal jenis kelamin. Sedangkan baik-jahat adalah pekara sifat. 

Sa, akupun pernah sepertimu kini. Bermuram durja dan hampa. Kau pikir mahluk seperti apa yang membuat temanmu ini sadar; lelaki juga punya air mata berlebih? Sudahlah, Sa, semua ada masanya. 

Diamlah, Sa. Jangan bersedih. Biar hujan saja. 

(Untuk temanku, Sa)

Fana

FANA

Oh..Tuhan
Ku jejak beberapa langkah sambil bekerja rupanya sudah siang
Ku jekaki beberapa langkah lagi sambil tertawa rupanya sudah sore
Ku berhenti sejenak untuk menangis rupanya sudah larut malam
Semakin ku jejaki, jejak ku semakin lumpuh
Tubuh semakin rubuh
Tapi ambisi semakin tumbuh

(Lambaro, 3 September 2016)

Senin, 12 Juni 2017

Ke Pasar Malam


"Mau ke mana, Acut," tanya Putroe berulang kali sejak keluar dari rumah. Tidak jenuh juga saya menjawab, "ke pasar malam..kita kan."

"Pasar mayam ya...ya? Beli pesawat ya..ya..?" Sahut keponakan saya mengemaskan bak lakon karton "Masha end the Bear", sedangkan saya hanya terus mengiyakan sambil berhati-hati mengendarai sepeda motor. 

Kali ini dia keliahatan senang sekali berpergian dengan saya, biasanya, belum beberapa puluh meter sudah ngeng-ngeng panggil mamanya. Mungkin karena sebelum pergi tadi saya sudah buat kesepakatan "janji jangan nangis ya". Ah, anak sekecil itu, mana mau tau. Atau dia memang sedang senang akhirnya akan memiliki balon pesawat terbang seperti punya saudara seumurannya terpenuhi? Anak kecil mana kita tau pikirannya. Paling kalau dia ketawa berakti dunia sedang senang, kalau dia nangis berakti masa depan bumi sedang dipertaruhkan. 

Contohnya seperti sepanjang jalan tadi dia bertanya-tanya "Tu apa, Cut..Tu apa?" Oh..Tuhan..dia sangat berbakat jadi Jurnalis. Dengan sabar saya harus menjawabnya selembut mungkin, agar masa depan bumi terselamatkan. 

"Itu, Ian." 
"Ian rambut kepang ya?" Dia menunjuk ke arah seorang pejalan kaki dengan pakaian lusuh dan rambut panjang kusut, gimbal. Ian pria paruh baya mengalami ganguan jiwa yang selalu lalu-lalang di sekitar kampung. 

"Takut, Acut?"
"Nggak..Putroe takut?" 
"Takut putroe.."
"Jangan takut, dia kan baik.." Saya menoleh ke wajahnya. Entah kenapa si Putroe diam saja. 

"Haa..kita sampai.." Kata saya mengejutkannya. 

"Bola-bola." 
"Kita parkir dulu ya."

Belum sepeda motor terparkir dengan baik, dia tidak sabaran mau turun saja. Sepertinya permainan pancing ikan di depan kiri kami menarik perhatiannya. Ia, kolam berisi air dengan ikan dan bola dari plastik.

Saya menggendongnya  sambil mencuci otak ala ospek mahasiswa, "Ngapain mancing ikan bohongan. Kita cari pesawat aja yoek?" Dia malah bengong mandang dua orang ibu megang kail, sedangkan anaknya menonton ibunya memancing ikan tanpa suara, tanpa ekspresi. Sungguh kebahagian yang dipaksakan.

Karena pengunjung tidak terlalu ramai, batita berjaket kelinci ini saya biarkan berjalan sendiri mencari kebahagiannya. Saya mengekornya dari belakang. Dia berlari menuju kereta listrik yang berputar-putar di rel yang berbentuk angka Nol sambil sekali-kali melihat ke arah saya. Dia tertawa melihat dua anak Laki-laki duduk di dua gerbong, tapi lagi-lagi anak Laki-laki itu tidak tertawa, bahkan ekspresi wajahnya tegang seperti sedang diculik. Gila, eh, orang tuanya malah menyorak memberi semangat sambil dada-dada kayak rombongan antar haji. Padahal kalau diperhatikan dari raut wajahnya si anak rasanya pingin lompat dari kereta api jungkir-balik kayak film anak
muda India, lalu dengan gagah menghampiri plosotan plastik raksasa berisi angin yang sejak tadi saya perhatikan arah matanya sangat ingin berloncat-loncat tinggi sampai ke angkasa sana. Lagi-lagi kebahagian ada harganya. 

Beda lagi sama si kecil saya yang ketawa-ketiwi kegelian sambil sekali-kali tepuk tangan melihat "kereta odong-odong" itu berputar-putar. Sekali kepala gerbong melewatinya berkali-kali dia ketawa geli. Kecuali itu, dia tidak mau naik walau saya maksa mengangkatnya. Tidak selamanya pemain lebih meyenangkan dari penonton. Bahagia itu sederhana ya, Nak. 

Pasar malam seberang istana wali nanggroe ini berada dalam seperempat lapangan bola. Jadi tidak banyak terdapat lapak-lapak yang menyajikan, maupun menjual pernak-pernik. Ada 3 lapak menjual baju murah, permainan lempar gelang dapat rumah sekalian istri (hehehe...nggak deng), ada juga lapak alat pecah belah yang dipenuhi ibu-ibu sedang pilah-milih sendok dan baskom, dan, itu dia lapak penjual balon pesawat yang kami cari. Saya menarik tangan Putroe menuju penjual balon. Sesudah beberapa langkah, dia kembali tertawa sambil berlari menunjuk balon yang terdorong-dorong tertiup angin. Malam ini angin memang sedikit kencang. 

"Acut..Acut..pesawat." Dia tertawa riang sekali. Lagi-lagi seperti habis digelitik badannya seraya menyentak-nyentak kaki ke tanah. Ketawa saya lihat tingkahnya. 

"Iya..iya..pesawat," sambil saya angkat dia untuk mengapai seikat balon itu. Ada love, kepala power ranger, ikan, dan tentunya bentuk pesawat berwarna pink yang dia coba tarik-tarik. 

"Tunggu ya..biar bapak ini ambil." Saya menyodorkan balon pesawat. Penjual itu mengikatnya dengan tali plus batu pemberat di bawahnya. Ini anak kecil riang bukan kepalang, ditarik-tariknya itu pesawat dan kemudian di lepas talinya. Tinggalah saya yang sibuk mengejar-ngejar itu pesawat yang ngak punya bandara. Eleh...ni bocah malah bengong lihat saya kejar itu balon nyangkut di atap lapak orang. 

"Ini pegang yang baik ya..kalau terbang lagi, Acut nggak mau kejat lagi." Mana mau tahu,  balonnya di tarik-tarik lalu dilepas lagi...heeehh..Di balik sebuah Kebahagian yang tahan lama, selalu ada orang yang bersusah payah menjaganya buat kita. 

Kini waktunya pulang, biarkan pasar ini menegakkan namanya. Sembari berjalan ke parkiran, ada satu lagi yang ingin saya berikan padanya, sepaket mainan masak-masak-an. Ya, walau dia sama sekali tidak berkata apa-apa saat saya memilih mainan untuknya, tapi setidaknya anak Fachrul Razi dan Wiwox Wiwik ini harus tahu cara memasak bermacam-macam perasaan menjadi kebahagian untuk sekelilingnya. 

Ayuk, Nak, kita pulang. La..lala..lala..lala😄👧

Perempuan

PEREMPUAN. Malam ini, dekap aku kuat-kuat. Tiga ratus gelas air mata sudah ku tengak selama sembilan ratus lima puluh hari. Tidak, jangan kasihani, berusaha saja gelas itu tidak lagi terisi.

Bulan tidak ada malam ini. Kemayu wajahmu telah menumpahkan sekuali benci yang telah lama ku racik untuk meracuni kaummu, bagimana bisa kau hadir secara sukarela untukku patahkan sepatah-patahnya? Apa yang terjadi? Kedua matamu terasa sejuk mengelus wajahku yang sedang marah.

Memang kau tidak pernah ku hiraukan, sejak delapan penjuru mata angin ku telusuri pun , selalu kau bilang: pulanglah setelah kau temui apa yang kau cari, walaupun dalam keadaan compang-camping, pulanglah, aku menunggumu, biarkan aku merawatmu baik-baik. Kata-katamu ku biarkan bersayap. Rupanya kau menunggu. Kau perempuan padi yang tabah.

Kau tau, aku selalu pulang dalam gelap gulita, dalam kumpulan asap yang mencemarimu, tetap saja kau bilang lebih rela dari air sungai yang berakhir di selokan, tetap saja kesahajaanmu memekarkan Teratai-teratai yang menari malas diselingkaran kubangan kerbau rumahmu. 

Angin terus berdatangan mengelus jilbab merah mudamu yang  dilingkari renda bunga Melati. Bagiku, wajahmu menjadi bulan bercahaya biru malam ini, Kau dekap aku dengan baik, ku dekap engkau dengan erat. 

(Untukmu, Perempuan Padi)

Sobat


Tidak semua orang bernasib baik. Bahkan keburukan dirasa adalah sahabat karip yang tidak kunjung lekang. Saya melihat orang itu kelimpungan walau dalam tawa. Senyum sekedar senyum. Baginya, pagi hari hanya harapan yang menyakitkan, meskipun selalu bersikeras membawa pulang senja yang kemerah-merahan kepada buah hati sampai memenuhi goni yang di pikulnya sedari pagi. 

Harapan dengan kenyataan memang sering mencoba membunuhnya. Dia kerap menangis sampai hampir mati. Tapi bangun pagi dan menanam keringat tetap dilakukan meski tahu tidak akan berbuah lebat. Dia tahu harapan tidak boleh mati. Dan malampun tiba dengan cambuk di tangan kanan, dan mimpi buruk di tangan kiri. Semua pilihan memang menjadi semakin mempersulit bernafas. Bahkan tidur tidak dapat menolongnya lagi. 

Tegar, diam, dan bekerjalah lagi besok hari. Harapan tidak boleh putus, Sobat. Kasih sayang Tuhan selalu padamu. Tidurlah.

(Untuk seorang sahabat yang resah)

Darah Pekat

Jika kau bilang darahmu merah
Aku pekat
Jika kau bilang semangatmu ombak
Aku penakluknya
Jika kau berjalan menyerang
Aku berlari
Jika kau bergeming
Aku meloncat 
Biar kau tahu, betapa gagahnya kematian bila datang. 

(Efek dengar lagu Prang Sabi', 18 April 2017)

Hamba

HAMBA. Banyak yang mengaku paling tahu Tuhan melebihi mengetahui dirinya sendiri. Mencercar, memaksa, memvonis dia masuk surga, dia campakkan ke neraka, betapa sering seorang hamba merampas hak Tuhannya.

Lagi-lagi beragama tidak menjadikan kita waras dalam menempatkan diri menjadi hamba sajalah. Ibarat majikan yang mempercayakan rumah padannya,  pembantupun lupa diri berubah rupa jadi raja. 

Patutnya agama adalah makananan jiwa yang diketahui dari laku, bukan sebatas sebentuk tubuh yang dibungkus sedemikan rupa. Patutnya menjadi suci itu melalui perenungan dan kepekaan yang mencerminkan kesahajaan menjadi hamba yang sama rata, sama Tuhan, sama dosa, sama takut...

Berangkat dari tahun manapun, Tuhan tidak untuk dikasihani. Maha Kuasa atas segalanya adalah Ia. Kita hidup dengan belas kasihan-Nya. Jadi sajalah hamba sebaik-baiknya hamba.

(15 Desember 2015)

Harga Diri

HARGA DIRI. Dia sudah tua, terlihat dari keriput wajah, rambut, dan janggutnya yang kian memutih. Saban hari dia selalu mondar-mandir di wilayah pertokoan Lambaro, Aceh Besar, sambil membopong buntalan karung yang berisi botol plastik, kardus, dan segala benda yang dapat dijual ke pembeli rongsokan. Kadang karung itu penuh, kadang hanya setengah. Tapi dia selalu tersenyum saat diajak bicara. 

(15 Desember 2916)

Saya kerap memperhatikannya dari jauh, bertopi coklat lusuh, berbaju kemeja coklat kotak garis-garis yang dua kancing bawahnya putus, bercelana kain yang terlihat sobek hingga ke betis dengan kaki beralas sadal jepit yang nampaknya tidak lama lagi 'merengang nyawa'. Matanya selalu sigap menyisir setiap halaman toko berharap banyak rezeki yang terbuang hari ini. 

Setiap melewati toko kala sore, dia selalu mengintip saya dari tepian jalan raya untuk sekedar menyapa apakah ada karton bekas atau hal semacamnya yang bisa dijual. Kalau sedang tidak ada pembeli, Lelaki berewokan itu sering saya ajak duduk melepas lelah dengan menyunguhkannya sebotol minuman sambil mengobrol tentang sejauh mana hari ini dia berjalan, atau berapa rezeki yang dia dapatkan hari ini? Kecuali tentang keluarganya, saya tidak mau membuatnya bersedih hati atau merasa diremehkan dengan kondisinya yang mungkin nampak memprihatinkan. 

Saya pernah diberi tahu penghasilannya perhari mencapai 20 sampai 70 ribu, tapi dia mengatakan itu dengan wajah sangat bahagia. Jawaban di akhir kalimatnya selalu membuat saya kagum pada sosok tabah ini. "Cukuplah untuk makan hari ini."

Lelaki itu penuh rasa syukur. Darinya saya belajar bagaimana harus bersikap jujur, baik hati, dan bekerja dengan giat walau terkadang sore hari sering menyakitkan. Tempo hari dia mengajarkan kejujuran saat kami sedang mengobrol di selembar sore yang merah. Dia bercerita pernah menemukan dompet di jalan pasar Lambaro berisi uang 3 juta rupiah milik seorang polisi. Saya sempat menebak dalam hati dia akan berkata uang sudah dihabiskannya. Pasti saya akan jengkel mendengarnya. Tapi tidak demikian, Lelaki itu malah mengatakan langsung menyerahkan dompet tersebut ke Polsek setempat. Akhirnya sebagai imbalan, empunya dompet memaksanya  menerima uang 100 ribu sebagai tanda terima kasih yang padahal telah ditolaknya berkali-kali. 

"Saya bukan pengemis, tidak juga mau jadi pencuri," katanya saat itu. 

Sungguh, saya belajar banyak dari kerja kerasnya, dari kejujurannya, ketabahannya, ketuannya, dari rasa syukur yang tak habis dimakan pedih. Dia Lelaki yang punya harga diri pantang jadi pengemis. Tanpa harga diri, manusia tidak lebih berguna daripada sampah. Sejahtera selalu padanya.

Parfum

Dik, malam ini aku pulang ke rumah ibuku, lalu berhenti sejenak di warung yang berada di ujung jalan rumah untuk membeli sebungkus rokok untukku hisap malam ini. 

"Sudah lama tidak nampak? Apa kabar?" Bang Lem menyapaku. 

"Baik bang," kujawab. 

"Parfum masih ada ini," katanya menawariku sebotol parfum yang sering ku beli padanya tempo dulu. Aku tertegun, Dik, mengenang lagi masa lalu. 

Merek parfum itu Casablanca Aqua. Parfum berwarna biru yang dulu sangat kau suka dan  sering kau paksa aku terus memakainya. Entah kenapa tiba-tiba menyebalkan rasanya berada di warung ini, di ingatkan tentangmu, tentang wangi yang sangat kita kenal. 

"Tidak, bang. Aku sudah ganti farfum. Bulgari," kataku. Dia menyeringai, seakan tahu kita telah berganti citarasa. Aku menarik korek api yang diikat tali rafia di dekatnya, lalu membakar sebatang rokok bergambar huruf A di putingnya dengan lekas, bersama hisapan dalam hingga mengumpal asap yang pernah kau takutkan membunuhku. Aku tidak percaya asap ini akan membunuhku, Dik. Seringnya aku pernah hampir mati bukan karena ini. Kau tahu persis itu. 

Di luar hujan rintik-rintik. Di jalan pulang, aku mencoba merasa-rasa bagaimana wangimu? Sejujurnya kau tidak pernah tahu merek parfummu, Dik. Yang wangi seperti permen karet, kataku. Tapi aku tahu persis bagaimana aromamu. Aroma yang sering membuatku melirik sekitar mencarimu ketika hinggap di hidungku. Seperti aroma bayi. 

Parfumku sudah berbeda, Dik. Mungkin parfummu juga. Kita hanyalah aroma, Dik, yang tidak lama lagi juga hilang dengan sendirinya.

(Lambaro Kafe, 24 Desember 2016)

Senja di Pantai Lhoknga.


Di sini kita sepakat, keindahan itu tergantung waktu, bahkan tergantung kita berdiri di sisi mana. Di ujung Kuala berpasir pirang ini, aku cukup nyaman melihat cahaya melingkar di bola matamu yang tak berkedip mengutip serpihan cahaya kuning itu sampai habis untuk kau letakan di langit kamarmu di kala mendung. Semburat kuning telur itu milikmu sore ini, walaupun tak mampu ku selamatkan matahari yang tenggelam dalam tatapanmu. Tatapan mata yang juga menenggelamkan aku.

(Kuala Lhoknga, 8 Januari 2017)

Nyaman

Saat memutuskan hal besar dalam hidup, saya sering menyerahkannya pada katahati. Mungkin tidak semua keputusan tersebut berakhir dengan tepat, tapi setidaknya setiap kekeliruan itu tidak membuat semangat saya patah mati. Karena saya yakin itu sudah baik, hanya saja belum tepat. Saya juga pernah mencoba menyerahkannya pada logika pikir, lagi-lagi keputusan itu benar, namun terbeban menjalankannya. Kadang soal rasa tidak bisa dikali, kurang, tambah seenak waktu. Yang lebih buruknya, jika keputusan tersebut juga menyangkut orang lain, saya sering menghindar dengan diam. Kadang akhirnya saya kalah dengan bisingnya suara di telinga, lalu memutuskan dengan menipu hati begana-begini, dan gagal. 

Saya merasa cukup terlatih oleh berbagai sakit dan lelah, tapi ketika itu lagi-lagi menyangkut orang karena saya, maka saya tidak akan bisa memaafkan diri saya sendiri. Lebih mudah saya sakit dan menerima-memberi maaf pada yang meyakiti dari pada pada diri saya memaafkan diri sendiri. 

Kini saya berada di suatu perjalanan yang melelahkan karena perjalan yang saya paksakan sendiri. Perjalanan ini berawal dari menipu diri dan mengsiasati keadaan. Rupanya saya tidak bisa berjalan dengan berpura-pura dan ancaman dari waktu. Bila saja saya melawan kebisingan itu, saya lebih senang mati dalam kesendirian daripada jadi seperti orang-orang. 

Sulit rasanya tertawa dengan kepura-puraan, setiap setik rasanya seperti di tikam. Rasanya seperti berada di ruang sebelah yang di sekat dinding kaca namun hanya dapat melihat kebahagian saya di sisi lain, tapi tidak dapat menyentuhnya. 

Kali ini hari-hari semakin sialan. Semakin biadab. Saya terjebak. Mudah bagi saya bangkit, namun yang saya jebak pasti akan mati. Jika saya tarik, maka saya akan kembali terjebak. Keputusan buta apa ini? Atau mungkin saya adalah binatang yang benci keramaian? Benci kebisingan. . .

Bagi saya, dengan melihat tetesan air di atas daun sudah cukup merasa bahagia, dapat menghirup aroma rumput saja sudah cukup senang, apalagi dapat melihat hamparan hutan, saya merasa menemukan diri saya sendiri di situ. Kenyamanan. Iya..nyaman.

Tidak masalah dengan apa kita memutuskan sesuatu hal, tapi putuskanlah hal itu dengan penuh kenyamanan. Berjalanlah.

Purnamaku padamu

 Dik, kutulis ini di atas Samudra Hindia, di atas laut yang tak mau tenang saat bulan sedang merona-ronanya, saat daya handphoneku tinggal secuil lagi. Maka lihatlah ke langit, tidak ada malam yang selalu suram meski di tengah laut yang tidak penah terpetakan sekalipun. Aku melihatmu pada bulan, perempuan dengan senyuman yang merona-rona.

Sementara bulan terus mengambang di lautan, bersabarlah, Dik. Sebentar lagi aku akan pulang dengan banyak ikan dan kerinduan yang terus pasang padamu, bulanku.

Minggu, 11 Juni 2017

Senyap

Saya suka kesenyapan, di mana suara-suara semakin banyak terdengar. Saya suka gelap, di mana semakin jelas saya melihat cahaya. Gelap dan senyap mengajari banyak hal pada saya. Sebahagiannya tentang cinta, tentang makna oksigen yang persekian detik selalu saya hirup untuk apa? Dan alam adalah hamparan ilmu yang hanya dapat dipetik dalam keadaan senyap. Setiap perbedaan yang ada hanyalah kesempurnaan yang lainnya. Kesombongan hayalan ketidaktahuan. 

Selesai dengan diri sendiri itu sungguh sulit, karena harus sangat 'buta' untuk melihat yang tidak terlihat dan harus benar-benar 'tuli' untuk mendengar apa yang tidak bersuara. Sangat sulit. Semua keriuhan akan hening pada waktunya, yang tinggal hanyalah kebaikan apa yang sudah kita lakukan dengan senyap.

Beku

Aku melihatmu dari jauh
dari sela-sela pukul 12 malam yang hening
dari cahaya malam yang kelabu
Aku mendengarmu dari jauh
dari dinding yang lapuk
dari bunyi yang melenting
Berapa lama lagi pagi? Sedangkan tidak mampu kutarik pita kusut ini seorang diri
Bagaimana cara dingin ini hilang? Sedangkan beku mendesak ke hatiku
Lekaslah bangun, agar aku tidak haus menahan rindu
Agar tidak retak menahan rindu.

(20 April)

Fajar Terindah Yang Pernah Ku Kenal

Bangun tidur
Di tanah yang tandus
Di ujung tebing yang curam
Di sebatang Jemblang yang kerdil
Di luasnya Selat Malaka
Di situ pertama kali ditemukan fajar yang merah keungu-unguan 
Fajar terindah yang pernah kukenal 

Di sana ada jiwa yang bermimpi
Ada tubuh yang berani
Ada hati yang baik
Ada langkah yang tegar 
Ada semangat yang menderu-deru
Ada nyaman yang mendekap
Fajar terindah yang pernah kukenal

Kemudian tidur
Jiwa itu sepi
Mimpi itu misteri
Tubuh itu mati
Hati itu kacau 
Langkah itu terhenti
Lelaki itu habis ditelan sunyi

Suara pemimpi itu pernah kudengar
Fajar terindah yang pernah kukenal

Untukmu Biru

Kutulis ini dengan rindu yang meluap-luap padamu 
Pada sekabut dingin yang pernah mendekap kita bersama
Pada jembatan gantung yang papannya lapuk
Aku rindu tatapan lembut itu
Betapa abadi cantikmu di hatiku meski waktu terus menua
Kau tidak perlu tahu bagaimana aku bisa bernafas selama ini
Kau hanya perlu tahu tanganku masih sama seperti saat kau genggam begitu erat di langkah pulangku
Kakiku masih sama seperti saat kau minta aku kembali secepatnya

Kutulis ini dengan rindu yang meluap-luap
Di rasa yang sama
Di waktu yang berbeda
Sudah berhasilkah impianmu?
Kau wanita keras kepala yang aku kenal
Wanita yang kerapku doakan sejahtera
Wanita yang ku ikhlaskan bahagia dengan pilihanmu sendiri
Jangan menangis
Tetaplah biru


Percakapan Di Sebuah Malam

"Rumah kita kecil, munggil, terbuat dari kayu. Pagarnya kita serahkan pada pohon teh, bukan beton. Di belakang rumah ada sepetak sawah yang padinya kita tumpangsari kan dengan ikan gurami. Ya, bebek! Bebek juga ada, Bang. Di pojok belakang sebelah kanan, ada dua pohon mangga,  lengkeng, delima, dan kelapa. Jadi masakanku tidak akan kekurangan santan. Sewaktu-waktu kita juga petik kelapa muda. Di kiri ada beberapa bedengan untuk kita sulam benih bayam, sawi, kangkung dan beberapa hotikultura lain agar semuanya terjamin sehat," hayalmu di bangku teras rumah yang cat putihnya mengelupas-lupas. 

Mendengarmu mengarang dunia menjadi surga, aku juga menghayalkannya. Sangat hijau. Sangat indah. Aku menoleh ke arahmu, sembari kulihat matamu terus merambati dinding rumah tetangga yang mengepung rumah bapakmu. Ada mendung di wajahmu. Kita sadar hanyalah sepasang 'kera' yang muak hidup di belantara kota. Yang dihimpit keras oleh gedung, dibudidaya dalam kandang yang semua harus dibayar dengan uang. Ya, kita sama sepakat: kesenangan dan ketenangan yang disungguhkan sedemikian rupa dalam kandang megah itu hanyalah omong kosong. Hanya fantasi belaka. 

Tahukah kau, Dik? Impianmu tentang rumah tadi hanya satu dari jutaan 'kera' lainnya yang telah diterbangkan ke langit. 

Tetiba aku ingin mengatakan padamu sebuah berita yang kubaca kemarin hari, bahwasanya ada sebangsa manusia di Gunung Kendeng yang memperjuangkan pegunungan karst mereka dari 'yajut-majut' yang akan mengeruk penompang kehidupan mereka untuk membangun kotanya. Satu dari mereka gugur. Sementara yang lainnya masih berjuang meski "Tuan Tanah" pura-pura bisu dan tuli. 

Harapan mereka sesederhana kita, Dik. Masih bisa melihat kabut, menanam padi, memanjat pohon, memetik buah, mandi di sungai yang airnya sejuk dan bersih. Sesekali bisa melihat anak-anak ketawa riang melompat-lompat ke sungai sambil pulang dari sawah. Asri sekali. Ya, kisah mereka seperti film Avatar yang pernah kita tonton. Mereka hanya membela alam yang mereka punya. Membela cara mereka hidup. 

Sudah, jangan melamun lagi, doakan saja masih ada alam yang indah tersisa untukmu. Kulihat kau masih saja melamun, diam-diam kucuri setakai bougenvile ibumu yang berbunga tiga warna di sebelah kanan dekat jendela. Kuambil yang putih. Ini untukmu, Dik. Bunga ini dari pohon kerdil yang tumbuh pada timba yang disulap jadi pot. Bougenvile ini adalah bunga yang tabah. Bunga yang sulit kalah pada keterbatasan. Kau seperti bunga ini, tetap berbunga dengan kondisi seadanya. 

Tidurlah lebih awal malam ini. Bermimpilah dengan mudah. Semakin cepat kau tidur, semakin dekat kau dengan rumah di antara lembah. Sedangkan aku akan  berjalan melewati puluhan kabut untuk menemukan sebuah hutan tersembunyi untuk kita tinggali.

(Terinspirasi dari perlawanan masyarakat Pengunungan Kendeng menolak pabrik semen)
Foto: kabut di Gunung Singgahmata, Betong Ateuh, Nagan Raya-Aceh.

Resah Yang Tidak Mau Musnah

TIDUR. Di luar hujan rintik-rintik. Sedangkan kita masih duduk di teras rumah yang langsung memandang persawahan seperti kemarin. Kulihat airmatamu masih jatuh, Dik. Apakah tidak lagi ada waktu matamu istrirahat sejenak saja? Kulihat gelisah mengerogoti tubuhmu, tapi kau tidak ingin diselamatkan. Bahkan olehku. Setiap hujan semakin deras, semakin keras kau menangis. Ada yang kau tahan sendiri tak ingin kau bagi. Sepertinya hujan akan lama menyiksamu malam ini. 

Aku hanya teman untukmu malam ini, bukan kekasih. Janjiku adalah tidak akan banyak bertanya jika tiba-tiba kau menangis atau kala kisah usang tiba-tiba terbaca saat kau melamun cukup panjang. Masing-masing kita memiliki kisah yang kita tulis tanpa tinta agar tidak terbaca. Dan aku tahu dari airmatamu, kau telah menulis banyak lembaran bukan untuk kubaca, tapi untuk kau nikmati sesuka hati di saat begini. 

Yang kulakukan di sampingmu ini bukan diam, Dik. Tapi mengerti situasi. Memahami bahwa hatimu bukan smartphone yang bisa mendownload aplikasi sesuai keinginanku. Hati itu liar, dan hanya cinta yang bisa mengikatnya. Maka ikutilah. Menangislah seperlu mungkin. 

Kisah usangmu tetaplah rahasiamu. Jangan bebankan padaku. Aku akan menemanimu sambil menceritakan kisah tujuh pemuda  Ashabul Kahfi dan seekor anjing, memilih untuk mengasingkan diri serta bersembunyi dalam sebuah gua. Mereka bersembunyi untuk menyelamatkan apa yang mereka percaya dari Raja Diqyanus yang mengancam nyawa mereka. 

Lalu Allah menidurkan pemuda-pemuda yang penuh rasa gelisah itu selama 309 tahun. Maka tidurlah, itu akan menolongmu dari keadaan yang tidak mampu kau lawan. Tutup telingamu jika perlu. Aku akan duduk di sini sambil
membaca kisah baru agar hujan tidak berani masuk ke dalam mimpimu malam ini. 

(11 April 2017)

Sebuah Resah Yang Dibalut Biru

SURIAH. Aku melihatmu berjalan tanpa alas kaki, dari Burj Khalifa yang musiknya tidak berhenti berdentum, dari sela-sela surban yang menepuk-nepuk penari perut berambut pirang. "Huna, huna," kata berjanggut panjang sambil bergumul dalam tarian. Tubuhnya sempoyongan. Di tangan kanannya ada segelas air terselip sepotong lemon. 

Kain sutra berwarna biru yang melilit tubuh hingga kepalamu bergerak lembut dihembus angin. Warnanya memudar dihinggapi debu. Di bulan April yang gersang ini, angin sangat gampang menerbangkan debu sisa bombardir semalam, sedangkan kakimu dengan terukur melangkahi bongkahan dinding-dinding yang berserakan di jalan kota Raqqa yang terus kau ingat dulu terjajal penjual moussaka dengan aroma daging kambing yang menggugah selera. "Huna, Huna!," ingatmu teriakan para pedagang menawari setiap pejalan. Masih lekat di ingatanmu jalan ini berlimpah kemakmuran. Kini kedai-kedai kecil menjual moussaka itu ikut tiarap. Aspal jalannya mengelupas dikerat rantai Tank yang senang meludah. Raqqa adalah hal lain sekarang. 

Dari Burj Khalifah, kulihat Mata birumu terus merambati lubang-lubang peluru yang membuat celah cahaya di mana saja. Ada yang sedang kau cari dari puing-puing sebuah pustaka yang banggunannya runtuh setengah. Buku-buku teori hukum/politik berdebu yang berserakan diterjang peluru itu terus kau lempar ke samping, tanganmu terus mencari sesuatu. Iya sebuah peta dunia. Peta untuk memastikan apakah Suriah (Syiria) masih ada di dalamnya? 

Aku melihatmu berjalan tanpa alas kaki, dari Burj Khalifa yang musiknya tidak berhenti berdentum, dari sela-sela surban yang menepuk-nepuk penari perut berambut pirang. "Huna, huna," kata berjanggut panjang sambil bergumul dengan penari perut. Suriah adalah hal lain di sini.

(13 April 2017)

Hati Sebuah Hutan

Di sebuah desa pinggiran hutan yang udaranya sejuk, berjalanlah seorang ibu bersama anak perempuan kecilnya menuju hutan untuk mencari rotan. Di bahu kirinya tersangkut tas dari goni beras yang talinya terbuat dari kulit pohon. Saat ingin memasuki hutan, sebuah mobil doubelcabin yang berisi penuh orang berkacamata hitam melewati mereka dengan gagah.  

Anak: Siapa mereka, Ibu?
Ibu: Mereka orang kota yang menjaga dan melindungi hutan kita, Nak. 

Anak: Untuk apa hutan kita mereka jaga, Ibu?
Ibu: Agar tidak ada yang menebang pohon dan menghancurkan sumber air. 

Anak: Apa kita akan ditangkap karena menebang rotan, Ibu?
Ibu: Tidak, Nak. Kita hanya mengambil seperlunya saja. 

Anak: Apa hutan di kota lebih subur dari hutan kita, Ibu?
Ibu: Tidak, Nak. Kota itu tidak ada hutan seperti kita. Di sana tidak banyak pohon. Mereka mengantinya dengan menanam bangunan yang megah-megah. Karena itu mereka bersikeras menjaga hutan kita agar dapat hidup nyaman dari oksigen dan air hutan ini. 

Dengan raut wajah penuh tanya, anak perempuan itu pun menatap lekat pantat mobil bertuliskan "Lestarikan Hutan untuk anak cucu kita" yang hampir hilang di tikungan sembari tangan mungilnya mengengam kuat kain sarung ibunya yang lusuh.

Keduanya adalah potret kampung yang sering kota sepelekan, yang padahal kota hidup dari kasih sayangnya. 

(14 April 2017)

Yang Membara di Dalam Dada

Jika kau bilang darahmu merah
Aku pekat
Jika kau bilang semangatmu ombak
Aku penakluknya
Jika kau berjalan menyerang
Aku berlari
Jika kau bergeming
Aku meloncat 
Biar kau tahu, betapa gagahnya kematian bila datang. 

Rahmat Hidayat
(19 April 2017)

Galata Bridge

Kita masih di Istanbul melewati April dengan warna-warni tulip yang bersemi. Tidak ada amarah yang berlalu lalang di sini kecuali asmara yang mengenangi kota Sultan Ahmed yang mempesona, termasuk kita yang berjalan malam ini dengan saling berdekapan menuju Galata Bridge dari Arah Blue Mosque dan Hagia Shopia yang menawan. 

Di jembatan yang melintangi teluk Golden Horn ini, sekali lagi kamu mendekap dadaku begitu erat saat sebuah lagu padang pasir mendayu-dayu dihembus angin mengenai rambutmu yang hitam terurai. Kulihat matamu terpejam diraba dingin, sedangkan bibirmu menyeringai meresapi belaian lembut angin dari benua eropa yang sedikit nakal ini malam . Diam-diam kuselipkan setakai tulip bewarna kuning di tanganmu. Kau semakin erat mendekap. 

Berada di Istanbul, kita tidak perlu banyak bicara, semua benda di kota para sultan seakan tersusun dengan artistik untuk menenggelam kita dalam lautan yang penuh cinta. Kota para sultan yang gemilang. Berada di tingkat bawah Gablata Bridge, dunia seakan bergerak semakin lambat, indah, lembut, dan sayup. Kita terbuai hingga terdiam, sementara tidak bergerak memandang bias warna-warni lampu yang mengambang-abang di riak Sungai Alibeykoy dan Kagithane  yang senang berdansa. Kita tidak perlu berkata-kata, hanya perlu merasakannya. Mungkin novelis Orpan Pamuk juga telah terdiam di sini dipikat suasana seperti kita sebelum dia menuliskannya. 

Kita datang dengan asmara yang meluap-luap ke konstatinovel, dengan se-samudra cinta yang tidak perlu banyak bicara. Istanbul selalu berhasil membukam kita dengan keindahannya. Seperti kamu padaku.

Gerbong

Kau menungguku hari sabtu di Stasiun Paris Pukul 16.41 seperti janji kita semalam. Aku berjalan ke arahmu yang memakai jaket berwarna coklat, celana jeans abu-abu dengan sepatu cats bewarna cream. Di lehermu yang ditutupi jilbab cream melingkar sorban bergaris hitam putih. Tangamu memegang sebuah buku "Cantik Itu Luka" milik Eka Kurniawan yang sedang serius kau baca. 

"Apa kau terluka?" Pertanyaanku mengejutkanmu. Kau tersenyum sembari menutup buku dan menarikku untuk duduk di sampingmu. "Tidak, aku tidak sedang mau cantik," katamu menatapku. 

"Apa kau tahu? luka itu tidak perlu kecantikan, dia hanya perlu kau biarkan menusukkan pisaunya dengan sepengetahuanmu." 

Wajahmu memerah. Ada masa lalu yang pahit di matamu. Aku berhenti membahas luka, karena kita di sini bukan untuk merayakannya, tapi merasakan perjalanan yang indah ke Spanyol di gerbong Kereta Talgo yang nyaman. Aku memesan tempat duduk di gerbong 13, agar kita tidak melewati pemandangan musim gugur ini dengan terburu-buru. Aku tahu kau suka melihat daun-daun menguning, karena setelahnya akan bertumbuhan tunas-tunas baru dengan sangat hijau, sangat bergairah melawan badai. 

Kita sudah berada di gerbong 13. Kau duduk di dekat jendela. Gerbong ini tidak ramai hanya ada 4 pasangan yang rambutnya terlihat semakin mengering. Sepertinya mereka sedang mengenang masa lalu. Sedangkan kita sedang membuat kenangan untuk kita nikmati seperti mereka saat ini. 

Sebelum aku mengiyakan untuk menemanimmu melakukan perjalan berkereta ke Spanyol, aku tahu kamu sedang ingin melewati sebuah malam di gerbong kereta. Perjalanan ini bukan untuk tujuan keretanya, tapi untuk menghabiskan waktu di gerbong ini. Bagimu Spanyol-Madrid adalah kemegahan yang tidak pernah kemana-mana. Sangat membosankan. Sedangkan kamu adalah pejalan yang senang melihat keindahan-keidahan yang terlewatkan oleh mereka yang mencari sebuah tujuan. Kau wanita yang unik yang pernah kukenal, suka menyampaikan pesan dengan matamu. Melihat dunia yang indah dari apa yang orang lain tidak sadari. 

Kereta mulai melaju. Buku bersampul wanita berkebaya putih yang kau baca tadi, kau letakan di meja, tanganmu kau silangkan atasnya sambil meletakan kepalamu. Matamu mengarah keluar jendela kaca yang terdapat pepepohonan yang daunnya mulai menguning. Kereta yang melaju terus membuka pemandangan indah di luar sana. Kita seperti sedang melihat ribuan lukisan alam yang terus bergerak semakin indah. Aku tidak ingin menganggumu merekam kedamaian untuk memecahkan penat yang telah mengendapimu. Aku hanya menemanimu duduk di gerbong ini saja. Walaupun ingin sekali aku bertanya, apa yang gerbong kereta pernah lakukan padamu? 

Hari mulai gelap, lampu gerbong yang berwarna kuning baru dihidupkan membias ke wajahmu yang sedang terlelap setelah melahap keheningan. Aku memeluk pundakmu sambil mencoba tidur di sampingmu, karena besok pagi kita akan sampai di Andalusia-Spanyol pukul 6 untuk menabung mimpimu di gerbong kereta Talgo malam ini. 

Kereta Talgo masih melaju dengan pasti membelah malam, aku baru ingin memejamkan mata, tiba-tiba kau membalikan wajahmu ke arahku tanpa menggangu tanganku, kamu memandangku yang sudah mulai terkantuk-kantuk. Aku tau kau tidak bisa tidur, ada gelisah menyelimutimu. 

"Apa kau akan melukaiku?" 
"Tidak. Tidak. Apa aku terlihat jahat?" Kataku sambil membenarkan letak rambutmu yang keluar dari jilbabnya. 

"Aku sudah merasa banyak hal, bahkan  yang tidak mampu terpikirkan terjadi telah menimpaku. Aku takut terluka lebih dalam lagi."

"Seperti kamu, semua orang juga punya luka, punya kepahitan yang dia coba tawarkan dengan segala rasa nyaman yang tidak mungkin menyakiti. Seperti guguran daun yang terus kau pandangi tadi, nyaman bukan?"

Melihatmu, aku seperti melihat sebuah tempat yang menumbuhkan semua pohon. Tanah yang bagus dengan cuaca yang tidak suka marah-marah. Melihat ke dalam matamu yang bersemburat kekuningan aku merasa tidak perlu memandang ke luar jendela kereta lagi untuk melihat bintang di langit Perancis. Aku melihat diriku ada di matamu, tapi aku tidak berani mengambilnya. 

Aku masih termenung memandang matamu sebelum kau bergeming dan bertanya, "Kenapa kau mau menemaniku hanya untuk sekedar melewati malam di gerbong ini?"

"Apa harus aku menjawab pertanyaan yang kau sudah tau jawabannya?" 

"Iya, harus!"
"Untuk apa?"
"Agar aku yakin malam ini aku tidak membuat kenangan dengan orang yang salah."

"Aku berada di sini karena kamu. Karena hanya kegantengan atau kecantikan yang bisa melukai, maka aku merasa cukup jelek untuk melukaimu." Mendengar itu, kau mencubit pipiku seraya mengatakan hal sama untuk membalas kata-kataku di Stasiun Paris tadi sore: Luka tidak peduli pada rupa. 

Aku tertawa kecil mendengarmu membalasku. Wajah kita sejajar di meja depan tempat duduk gerbong ini. Hidung kita hanya terpisah jarak sejengkalan tangan, begitu dekat untuk melihat garis-garis wajahmu dan merasakan nafasmu. Bibir merah jambu yang bergaris halus itu mengecup keningku. Aku pasrah jikapun harus purnama malam ini. 

Seandainya kau tau berada di gerbong ini menemanimu adalah keinginan yang  tidak akan kuacuhkan, dan mengiyakan pintamu kemarin hari berada di sini adalah mimpi indah yang nyata. Aku menyimpan rasa yang tak gampang kuutarakan. Seperti gerbong-gerbong Talgo yang bergerak di rel ini, aku pasrah ditarik lokomotif ke stasiun manapun kau inginkan. Sebab seperti katamu tempo hari saat kutemani berkeliling Saint-Valentin "desa cinta" di Paris, hanya untuk mencari tau apa ada yang terluka di desa itu? Bahwa saat cinta hadir, maka hati akan merasakan hati lainnya walaupun mulut tidak berkata apa-apa. 

Di luar malam semakin tua, tapi kita masih saling memandang satu sama lain dengan semakin muda. Hati kita sedang mengutarakan isinya masing-masing tanpa berisik, sementara kita terus bergerak menikmati sunyi dalam gerbong kereta yang sinar lampunya berguguran ke wajahmu ke wajah ku dan melompat-lompat ke luar jendela yang gelap. Semakin malam, semakin hening, semakin gugur rasa takut kita akan luka dalam gerbong Kereta Talgo penuh cinta. 

Kau harus yakin di perjalanan ini tidak ada luka, karena luka tidak pernah kuizinkan masuk ke hatimu padaku.

Pukul 9 malam, Kereta Talgo terasa meliuk-liuk di tikungan, suara roda besinya mengerit-gerit menikunggi rel yang tidak lurus. Tubuh kita ikut bergoyang. Aku menegadah keluar jendela gerbong. Kita sedang berada di hutan pinus yang pohonnya besar-besar. 

"Adakah yang aneh?" 
"Ah, tidak. Aku hanya merasa sedikit kedinginan, rupanya kita sedang berada di hutan yang sedikit berkabut."

"Apa kau benci, kabut?"
"Tidak, aku hanya benci apa yang ada di baliknya."

"Aku suka kabut."
"Oh ya? Apa yang membuatmu suka?"

"Aku merasa didekap dengan kasih sayang yang sangat dingin."
"Hati-hati dengan kabut. Dia pendekap yang baik, tapi senang menyusup hingga membuat tulangmu retak."

"Aku merasa bahagia jikapun harus retak oleh apa yang kusenangi."
"Jangan, jangan, bagaimana denganku jika itu terjadi?" Aku menggodamu, kau balas dengan senyuman yang mengalahkan dingin tubuhku. Kita terus melaju melewati malam di gerbong 13 ini.

Tidak terkecuali kau, semua kita punya kisah yang sengaja kita tulis tanpa tinta agar tidak terbaca. Dan aku berusaha membaca tulisan itu di matamu dengan pelan-pelan.

Di ujung gerbong, ada Pramusaji berbadan tinggi, berambut cepak, bercelana hitam dan berkemeja putih. Ada dasi kupu-kupu hitam menempel di kerah bajunya. 

"Kau mau kopi?"
"Iya, No Sugar!"
"Iya, aku tau kau sudah cukup manis." Kau menyeringai sambil menolak tubuhku yang sedang beranjak. 

Aku memesan segelas kopi Esspreso. Saat aku menunggu di meja yang tingginya se-dada, aku melihatmu sedang mengambar-gambar sesuatu di meja kayu berwarna kuning itu. Sejauh 2 kursi di belakangmu ada perempuan memakai blues merah sedang tertidur di pundak lelaki berkacamata yang masih terjaga membaca buku. Lelaki itu terlihat tidak muda lagi, tapi wajah perempuan itu jauh muda di bawahnya.  Walaupun begitu, mereka terlihat sangat serasi. 

Aku melirikmu sekali lagi, sedangkan Esspreso disodorkan ke arahku. Aku membayarnya. Aku teringat saat kita berada di Galata Brigde, Turki. Kamu merangkul tanganku saat duduk di meja yang langsung menghadap Hagia Sophia berhiaskan lampu berwarna biru. Kamu menumpahkan segenggam gula ke meja bundar itu. Tangan kananmu dengan mencuri-curi sela dari lenganku melukis sesuatu dengan gula. Sebuah bunga matahari. Dan kali ini, di meja kereta tanpa gula ini mungkin kau juga  mengambar bunga matahari. Aku tahu kau menyukai bunga matahari, bunga yang tidak jemuh mengelana hari. Dan kamu juga Sang Pegelana seperti bunga matahari itu. 

Sambil mengatakan terima kasih pada pramusaji, tangan kiriku mengenggam sebotol air mineral yang memang disediakan untuk penumpang. Aku kembali padamu yang kulihat masih sibuk mengambar sesuatu, tapi kini di kaca kereta yang berembun. 

"Apa yang kau gambar?" Sambil letakan Esspreso di atas meja. Aku melirik ke meja berserat kayu ini ada garis-garis yang tidak begitu jelas membentuk sesuatu. 

"Hanya sepasang sayap"
"Apa sekarang kau ingin terbang?"
"Tidak, aku tidak ingin terbang. Aku lebih suka diterbangkan olehmu," katamu menggoda. Aku balas dengan senyum kecut. 

Aku kembali melirik ke jendela kaca. "Kenapa kupu-kupu?" Sambil menarik esspreso, kau menjawab, "karena melihat kupu-kupu seperti melihat diriku. Aku merasa terbang dengan indah tapi dengan sayap yang rapuh."

Aku terdiam lagi melihat ke arahmu yang menyerumput kopi setelah berucap kupu-kupu yang rapuh. Bibirmu menyentuh gelas dengan lembut, ada suara serupan dengan asap kopi menyentuh pipimu yang kemerah-merahan. Kamu penuh dengan misteri. 

Aku teringat pertama kali menemukan wanita misterius ini di sebuah siang dengan tidak segaja di toko buku klasik Shakespeare and Co, yang terletak di Aronndissement Distrik ke-5 kota Paris, Perancis. Aku bukan pembaca yang aktif, tapi berada di toko yang berjejer buku di trotoar depannya, aku merasa tertarik untuk melihat ke dalam. Toko itu seperti gua yang dindingnya terbuat dari buku. Banyak lorong. Banyak sudut dengan tempat duduk yang disediakan untuk tempat bercinta pembaca dengan bukunya. 

Di ujung lorong sebelah kanan, tepatnya di sudut ruangan yang bersinari layaknya cahaya musim semi aku melihatmu berkacamata dengan menggenakan switter berwarna cream terang. Kau berseloncor kaki sambil memegang buku bergambar seorang lelaki berkostum putih dan bersurban merah seperti sedang menari ala Turki, "Jalaluddin Rumi" aku membacanya. 

Aku berdehem ke arahmu, tapi kau tidak berkutik. Tidakpun melihat ke arahku. Aku memanggilmu, Nona, seraya minta tolong agar kau mau merekomendasikan aku sebuah buku yang bagus untuk kubaca. Tapi saat itu kau malah hanya membalas permohonanku dengan tatap tajam, sangat nanar dengan pipi yang kau gembungkan. Kamu seperti marah sekali karena terganggu olehku. Aku bergeming sambil berkata, "Maaf."

Kau hanya diam sambil kembali ke posisi semula untuk membaca. Jujur, kamu sangat cantik walaupun sedang marah. Hidungmu yang mancung,  tersangkut kacamata waktu itu membuatmu terlihat seperti seorang mahasiswa pemarah yang sedang ingin jadi professor.  Kamu masih saja jadi wanita yang sangat misterius meskipun sudah begitu dekat denganku sekarang. Menebakmu, sama saja seperti menebak arah angin. Halus, tidak terlihat, hanya dapat dirasa. Sulit sekali memahamimu. 

"Kau ingat bukan, saat pertama kali kita berjumpa di toko buku?"
"Ingat. Kau merayuku habis-habisan hanya untuk menunjukan buku bagus untuk kau baca."

"Iya..Tapi kau malah memberiku buku 'Cara Merawat Bayi'," katakku geram. Kau tertawa terkekeh-kekeh mendengarnya. 

"Aku kesal denganmu yang mengangguku yang sedang asik dengan 'Rumi'."
"Apa kau sejudes itu pada semua orang baru?"

"Kita tidak pernah tahukan yang datang, Malaikat atau Setan, kan?"
"Apa saat itu aku terlihat berwarna merah dan bertanduk?" 

Kau kembali tertawa cekikikan sebelum menjawab, "kamu seperti orang tersesat ke tempat yang bagi aku adalah surga. Tapi kau malah bertanya apa yang ada di surga."

"Begitukah?"
"Buku itu adalah teman bicara, teman merasa, tempat semua cara berfikir manusia dihidangkan, bahkan buku tertentu adalah taman yang indah jika kau menjiwainya saat membaca. Aku membaca 'Rumi' dan seperti sedang memetik buah di taman yang hijau sebelum kau mengangguku." Kali ini aku yang tertawa mendengarmu seperti mendongengi anak kecil sebelum tidur. 

"Kenapa kau tertawa?"
"Ah, tidak. Aku hanya suka caramu melihat dunia dengan cara berbeda dari kebanyakan orang."

"Lalu bagaimana kau melihat dunia," tanyamu. Aku menarik nafas dan melepaskannya. 

"Rumit. Aku masih terjebak dalam mengejar tujuan. Tapi aku mulai sensitif sejak mengenalmu. Aku mulai melihat dunia ini bukan cuma dengan apa mataku lihat. Selalu ada dunia lainnya walaupun itu di selembar daun yang jatuh."

"Sepertinya kamu akan jadi filsuf sekelas Rumi nantinya."
"Ah, kau mengejekku. Aku bukan filsuf, tapi temannya filsuf sepertimu, mungkin bila beruntung akan jadi kekasih filsuf juga nantinya." Kau mencubit pinggangku sambil memasang wajah garang, tapi manis.

Di langit gerbong, suara musik "Lighthouse Family" yang berjudul "High" mengalir lembut ke telinga. 

"Sepertinya pramusaji itu memutarnya untukmu." 
"Sepertinya kau yang memintanya tadi." Aku hanya tertawa melirikmu. 

Aku suka musik dan liriknya, selain memang itu lagu yang paling suka kau putar berkali-kali saat kita menikmati malam di Cappdocia-Turki yang rumah-rumah dan menaranya terbuat dari batu yang berwarna pasir gurun. Dan malam itu kau bersender di bahuku menghayati lagu sambil memandang balon-balon udara yang bersinar terang di langitnya. Sedangkan penyanyi berkulit gelap bernama, Tucker, menghanyutkanmu dengan bersemangat dalam semesta yang tidak terbatas waktu. 

Kau memandangku saat lirik itu dinyanyikan, "Waktu kau hampir menangis ingatlah
suatu hari semua ini akan berakhir
Suatu hari kita akan mencapai ketinggian
Dan walaupun keadaan lebih gelap daripada Desember
apa yang ada di masa depan adalah warna yang berbeda
Suatu hari kita akan mencapai ketinggian". Kau masih memandangku dengan sangat lekat, sedangkan aku menyeruput kopi yang mulai hangat. 

"kau tahu? Lagu itu membawaku pada  satu masa dalam hidupku, dimana aku ada di malam yang indah dan sangat ingin  kuhentikan karena takut pagi akan datang. Karena Aku akan kehilangan harapan waktu matahari bersinar hangat dan merasa bingar dengan urusan dunia. Aku seperti hanya memiliki harapan di malam hari, waktu semua terlihat gelap. Aku selalu takut, bagaimana bisa melewati malam dan besok? Lagu ini mengingatkanku bagaimana rasanya frustasi dan apa yang kutakukan. Dan benar, suatu hari semuanya akan berakhir," ucapmu lirih padaku. Aku membalasnya dengan senyum kecil dan merangkulmu kepelukanku sembari berbisik di kepalamu, "Aku akan selalu ada disampingmu untuk melawan rasa takut itu." Kau malah merengsek ke dadaku sambil membalas pelukan dengan mata terpejam. 

Kali ini lagu Lighthouse Family lainnya yang berjudul "Lost In Space" kembali mengenagi keromantisan di atmosfir gebong 13 dengan lampu bercahaya sayu. Percikan gitarnya mengetarkan hati dengan nyanyian suara datar dan mendayu. Sepertinya Tucker sedang menyinari kita dengan cahaya Tuhan di gerbong ini, hingga kitapun rasanya ingin menyentuh langit bersama. 

Dua suami istri lewat satu bangku sebelah kiri arah depan kita terlihat seperti wisatawan dari suatu negara lain merekat dalam pelukan kekasihnya. Dia seperti sedang memeluk kedamaian. Sedangkan kita? Adalah jiwa yang tidak pernah mengungkapkan rasa cinta dengan terang-terangan, tapi saling berbagi cinta dengan perasaan dan laku tanpa perlu sebuah pengakuan. Kita hanya perlu bercahaya ke satu sama lain, dan semua akan baik-baik saja. 


Aku memilih Gerbong 13 ini bukan sekedar tidak mau terburu-buru melewati musim gugur dengamu, tapi karena gerbong ini diperuntuhkan untuk wisatawan yang traveling dengan pasangannya, jadi gerbong ini jauh dari kebisingan orang yang berlalu lalang. Terlebih lagi dengan kondisi gerbong yang memang didekorasi se-nyaman mungkin bagi penumpang. Langit gerbong di cat warna biru, dengan tempelan bintang-bintang dan bulan sabit dengan kertas yang berkilat. Jika semua lampu dimatikan, langit gerbong akan berpedar cahaya karena dicat dengan campuran posfor yang bisa menyerap cahaya. Jadi sangat romantis untuk kuajak kau menikmatinya. Dan benar, kau menyukainya. 

Alasan lain yang tidak mungkin kukatakan: aku seorang perokok. Gerbong terakhir kereta Talgo ini punya sedikit tempat di ujung luar pintu belakang. Di ekornya. Aku memilih ini karena bisa mencuri-curi waktu untuk merokok. 

Ini sudah pukul 10 malam sejak tadi aku ingin menghisap sebatang rokok di belakang. Tapi kau masih menikmati tidur sambil memeluk tubuhku. Aku sedikit bergerak memastikan apa kau masih terjaga. 

"Kau mau ke mana?" Rupanya kau terbangun. 
"Tidak aku hanya ingin meluruskan pinggangku di balkon belakang gerbong."

Kau bangun dan meluruskan posisi duduk sambil membuka surban yang melilit di lehermu dan menyuruhku menyodorkan kepala ke arahmu. 

"Pakailah ini, kau tidak memakai pakaian hangat, di luar akan dingin."
"Siap, Nona," kataku meniru gaya tentara. Kau tertawa. 

Aku beranjak meninggalkanmu sedang membaca buku. Dari posisi duduk di tengah, aku berjalan dengan berlahan agar tidak membangunkan penumpang lain yang sedang tidur. Setelah berjalan 14 langkah aku sampai di pintu keluar, ada penjaga berbadan tambun dengan setelan seragam serba hitam dan memakai sarung tangan putih sedang tidur bersender di sudut kursi sambil berdengkur. Tapi dengkurannya seperti siulan di ujungnya. Aku menahan tawa melihatnya sambil membuka pintu gerbong yang tidak terkunci.

Di luar sedikit berisik karena gesekan roda dengan rel besi maupun suara pengerak roda. Suaranya seperti sepeda motor yang melewati lubang dengan kecepatan agak tinggi. Tapi di dalam gerbong sangat senyap. Aku menarik sebatang rokok bergambar huruf "A" di putingnya, lalu membakarnya. Di balkon, ada pagar melingkar setengah bulatan terbuat dari besi stainlis diberi jerjak besi yang dilas dengan posisisi berbaris sepanjang bulatan. Di pagar semeteran itu aku menyandarkan tangan melihat ke arah rel kereta yang terus tertinggalkan oleh Kereta Talgo yang berlaju cepat. Rasanya mataku seperti diseret kereta ini. Pinggir kiri-kanan rel ada lahan pertanian yang luas dengan minim rumah penduduk. Sejauh mata memandang, ada tanaman gandum yang jauh menghampar di kedua sisi rel. Sepertinya sudah memasuki perbatasan Spanyol.

Sambil menikmati pemandangan, rokok di tangan kanan kuhisap sesekali. Saat bara api sudah membakar separuh rokok, suara pintu berdekrik mengejutkan. 

"Oh, kamu." Aku mencoba membuang rokok. 
"Jangan dibuang, hisap saja. Aku juga ingin merasakan rokok itu."

"Tidak, aku tidak, aku tidak akan mengizinkannya."
"Aku tidak meminta izinmu! Aku wanita bebas. Dan rokok tidak haramkan?" 

"Saat kau meminta hisap, rasanya ini menjadi haram sekarang." Ujarku serius dengan rasa marah. 

"Sudahlah, itu hanya stigmamu saja. Aku ingin tahu apa yang membuatmu meninggalkanku di sana dan memilih menghisapnya." 

Aku acuh bercampur jengkel menyodorkan sebatang rokok padamu, sambil berkata, "Apa kau pernah merokok sebelumnya?"

"Aku bukan perokok, tapi aku menghisapnya agar kau tahu rasanya aku melihatmu merokok."

"Sudahlah, gadis berjilbab seperti kamu tidak baik dilihat merokok," aku menghardik. 

"Kebaikan itu bukan apa yang orang suka atau tidak. Aku lebih suka melihat kebaikan dari berlaku adil pada orang lain. Dan tentang jilbab, ini persembahanku pada Tuhan, cintaku pada Tuhan adalah hal sakral yang tidak perlu kau tahu bagaimana aku menjadi hamba pada-Nya. Dan kau jangan ikut jadi orang yang mendikte Tuhan mana baik dan buruk. Jadilah hamba saja." Kau sangat lantang bersuara seperti angin yang menampar-nampar rambutku. 

Aku terdiam mendengarkanmu sangat pandai mematahkan segala argumentku. Kau memang wanita cerdas yang pandai membuat aku menerima semua argumenmu. 

Di sini sangat dingin, ditambah angin yang mengerus wajah kita. Kulihat kau terbatuk di tarikan pertama setelah kau bakar sendiri rokok itu, aku membalikan badan ke arahmu, dan membenarkan letak jaketmu yang renggang. Rokok di bibirmu aku tarik dan kubuang ke samping. Sambil kusapu bibirmu dengan ujung surban milikmu yang kau lilitkan ke leherku, aku berkata padamu, "Aku tahu rasanya. Kau lebih baik memarahiku daripada berbuat seperti ini." Kau malah tersenyum dan menolak dadaku dengan tangan. 

"Aku tidak suka mengatur orang dengan tidak atau apa yang kusuka, dan marah-marah hanya sebuah bentuk kelemahan diri yang ditutupi dengan memaksa kehendak atas orang lain. Aku tidak suka itu." Aku tertawa mendengarmu bicara begitu bijak sambil mengajakmu masuk karena di luar semakin dingin. 

Kita kembali duduk di kursi kereta dengan posisi sama. kau yang di samping jendela. Aku menarik sebuah selimut di laci atas kepala kita dan merentangkannya ke atasmu juga. 

Menatap wajahmu yang putih, seperti menatap kehampaan, membaca matamu seperti menyelam lautan dalam tanpa tabung oksigen, jika terlalu dalam menyelam maka akan mati tenggelam di dalamnya. 

Membicarakan cinta adalah hal yang kau hidari, karena menganggap cinta tampil mengajukan diri sebagai hujan rintik-rintik yang baik hati, padahal membawa petir dan badai. Andalusia telah membesarkanmu dengan baik, tapi juga menghancurkan hidupmu hampir rata. 

Jika berbicara tentang Spanyol-Andalusia, kau sangat lantang mencercal kesombongan penguasanya dahulu yang membuat kegemilangan runtuh, tapi ketika berbelok ke suatu tempat yang udaranya beraroma rumput, kamu seperti anak kecil yang tertawa kegirangan bercerita tentang tempat bermain yang asik bersama kawan-kawannya sepanjang hari. 

Aku teringat tempo hari kamu sempat mengajakku menjemput kenangan ke tanah kelahiranmu, Adalusia. Kota dimana kejayaan Islam pernah terukir di kubah-kubah gedung, di jalan-jalan, di dinding, udara, air, bahkan tegak menunjuk langit. Islam merebut Andalusia dengan cinta, tapi juga hancur karena cinta. 

Beberapa tempat Andalusia memang malas kau datangi, selain Desa Picos de Europa "Gunung Kecantikan". karena di sana ada seorang wanita tua yang kau sayangi, tinggal di sebuah lahan pertanian dengan 5 sapi perahnya untuk menghasilkan susu sebagai bahan keju. Mungkin karena itu juga kamu suka keju dan tau banyak cara membuat keju yang lezat. 

Meski Andalusia adalah hal lain sekarang, tapi kota itu masih terbujur dalam masa lalu yang makmur. Setiap jejak Islam masih beraroma ketal, seperti aroma parfum kayu pinus yang kau pakai. Melekat kemana-mana. Suasana pegununggan yang kiri-kanannya mengalir sungai yang airnya bergegas menuruni bukit berhamparan rumput dengan ternak yang banyak itu, membuat pemandangan di Picos de Europa sangat mudah untuk jatuh cinta.  

Jalananan di kota kecil itu rengang dari mobil, karena traktor lebih diperlukan di sini. Kita berkendara dengan sepeda motor mirip Vespa mungil menuju rumah nenekmu yang bercerobong batu dan setengah dindingnya adalah kayu. 

Di samping selatan, sekitar 50 meter dari rumah, ada lumbung yang di dalamnya ada sapi-sapi kesayangan nenekmu. Kamu sangat senang berlama-lama di sana, kata nenekmu padaku sambil menunjuk lumbung dengan kepalanya saat menghidangkan "Beyaz Siyah Cayi" atau teh hitam dalam gelas kecil berbentuk bunga tulip untuk kita pagi itu. 

Dari dia juga aku tahu kamu senang mengamati sesuatu dengan kaca pembesar saat kecil. Entah itu semut yang mengerumuni roti, ataupun urat-urat daun dengan seksama. Dan saat itu aku baru paham kenapa kau suka melihat sesuatu yang menarik perhatianmu dengan lama, seakan matamu seperti kamera yang memperbesar tampilan objek secara detail. Mungkin bagi sebagian orang itu aneh, tapi aku jatuh cinta pada semua sifat anehmu. 

Rumah nenek tidak hanya mengungkap kecerianmu, aku juga melihat kesedihan yang kalian tidak ingin aku tahu. Sebuah kerinduan yang tidak pernah usai, yang sangat haus pada dua pasang tangan orang tua yang sangat jauh. Mungkin kerinduan yang berfrekmentasi menjadi benci telah membunuh gairah hidupmu. Kau menjadi sangat tertutup, bahkan padaku. 

Terkadang, di satu waktu aku merasa dijadikan laki-laki brengsek sebagai lawan bicara yang pantas dihantam kiri-kanan-kaki-kepala olehmu, tapi di saat bersamaan aku harus siap-siap beralih sebagai spon yang menyerap airmatamu. Bagiku tidak jadi masalah bagaimanapun kamu, tapi aku selalu mengatakan padamu, jangan terlalu banyak mengkonsumsi perih, karena Itu sangat buruk bagi hati yang rapuh. 

Konsumsilah rasa syukur dengan rakus, karena saat kita berjalan menuju tua, keperihan akan melompat ke mulutmu walapun kau tidak ingin menguyahnya.

Gerbong semakin sunyi pukul 1 malam ini. Kau masih mencoba tidur meski didekap gelisah. Sepertinya terlalu dalam kehancuran menarikmu ke lubang tidak berdasar. Aku tau tidak mudah untuk bangkit, dan belagak baik-baik saja seakan hatimu terbuat dari baja. Kita sering bercerita hati yang hancur berkeping-keping, bahkan setelah hancur sekalipun, kepingan itu tetap di sepak-sepak sesuka hati. Seakan hati itu barang tertawaan bagi pemenangnya. Seakan hati kita harus benar hancur lebur tidak bersisa untuk memuaskannya. 

Untuk bangkit dari kehancuran memang bukan hal mudah, tapi aku tau rasanya. Rasanya hampa. Tidak ada warna lagi yang berani kita lukis ke sebagian umur yang mungkin panjang. Tidak ada lagi keberanian untuk menyentuh sebuah harapan yang menjanjikan, walaupun begitu mengoda. Aku paham semua raut wajah bahagia yang kau pasang dengan pura-pura atau kecerian yang kau paksakan. Aku selalu menghindari mata jernihmu melihatku mencuri pandang, agar kau masih yakin aku tidak pernah tau dalam bentuk apa resah merantai wanita yang jiwa sepertinya tidak semua orang punya. 

Kau istimewa dalam banyak hal. kau membiarkan orang melihat tarianmu, tapi kau tidak ingin mereka tau bagimana penari itu hancur berkeping-keping di balik tariannya. Mereka hanya perlu tau kau telah menari  untuk mereka. 

Gerak cepat kereta ini telah membawa kita ke tempat yang lain, tempat yang sering kau kunjungi: Spanyol. Tapi setiap pejalan ada cerita yang lain, seakan naik kereta hanya untuk berada di gerbongnya adalah kecanduan bagimu. Kecanduan untuk merasakan sebuah tempat yang berpindah-pindah begitu cepat di matamu. Seperti kipasan tangan di mata, kau ingin resah berubah secepatnya. Berada di dekatmu, aku merasakan kau selalu ingin berada di suatu tempat, tapi tidak pernah tau di mana. Pastinya bukan Spanyol ataupun Paris. Tempat yang pohonnya berbeda, orangnya tidak berbentuk sama sepertimu, tempat yang tidak ada di bumi. 

Di gerbong ini aku masih menjagamu tidur didekap gelisah, di dekap kerinduan yang tidak ingin kau kenali, baik atau tuluskah dia. Setiba pukul 6 pagi di Spanyol semua mungkin akan berbeda, semua mungkin akan berwarna. Atau sebaliknya, aku masih melihat durja mengekorimu kemana-mana. 

Bila saja kau membiarkan aku masuk memperbaiki hatimu yang telah diporaporandakan masa lalu, pasti akan kubuat sebuah rumah sederhana dengan halaman yang indah di sana. Agar kau selalu tahu, walau banyak tempat yang menerimamu pergi, tapi hanya satu tempat yang tulus menunggumu pulang dalam keadaan apapun, yaitu: Rumah. 

Malam semakin tua, gerbong ini semakin sunyi. Bintang-bintang yang berpedar di langit gerbong sejak 2 jam yang lalu lampu telah dimatikan, mulai redup kehabisan sinar. Sedangkan di bahuku, kudengar kau mulai bernafas dengan teratur. Matamu sudah terlelap, tinggal aku yang terjaga mengawal mimpimu untuk menemani gerbong yang tidak berhenti bertualang.

Sementara seisi gerbong terlelap, perjalanan dalam Kereta Talgo ini masih sangat panjang bagiku yang punya masalah dengan tidur. Permasalahan yang tidak pernah aku tahu bagimana cara mudah mengalahkannya. Seperti ada sesuatu dalam diriku yang kerap mengajak bicara hingga larut malam. 

Jika sebagian orang-orang menganggap kenikmatan hidup dari seberapa besar dibayar hari, dan seberapa banyak membeli malam, maka seringnya aku melihat sebuah kenikmatan itu tidaklah mahal dan tidak besar-besar. Bagiku, kenikmatan hidup itu sangat sederhana, seperti dapat tidur lebih cepat dan bangun pagi tidak lambat itu sudah kenikmatan Tuhan yang luar biasa. 

Kita sering terjebak dalam fantasi belaka. Senang dengan kepura-puraan. Senang memaksa dunia bergerak dari sudut pandang yang kita siasati semau diri dalam kebadian hidup yang dikarang-karang. Seakan apa yang kita suka semua orang harus menyukainya. Selalu ada benih penindas dalam diri kita yang harus selalu kita jaga agar tidak tumbuh dan membesar. 

Aku banyak bertemu dengan orang-orang yang bangun pagi lalu membuat dunia merana, tapi sering juga menemukan orang-orang yang tidur menjelang pagi lalu membuat dunia  bahagia. Aku melihat yang sedikit itu padamu yang sedang kutatap sekarang. Perempuan berjilbab cream yang mengarungi mimpi dengan cara yang senyap. Perempuan bertangan lentik yang menghibur dunia dengan sulaman-sulaman benang yang indah. 

Kau adalah seorang perupa yang berbakat, yang sering mengambil dunia yang luas dan menempatkan di selembar kain. Ada sebuah sulaman benang yang selalu membuat aku tabjuk melihat karya senimu dari kain berwarna cream dengan sulaman benang hitam dan beberapa warna lain berbentuk dua kupu-kupu berwajah wanita yang saling berhadap-hadapan tertempel di jendela ruang tamumu. Kau dipandang lama, kupu-kupu itu seperti ingin terbang tapi tidak dapat merentangkan sayap karena terbatas oleh tempat, keduannya hanya bisa pasrah saling bertukar kesedihan sepanjang hidup. 

Kau pernah bercerita Kupu-kupu itu kau bawa pulang dari sebuah bangku taman di malam yang dingin di sebelah utara menara Eiffel yang dunia puja. Di bawah sebatang pohon yang rindang, kamu melihat 2 wanita di apit 4 orang laki-laki secara mengodanya. Perempuan itu sangat lihai dalam membalas godaan, seperti dia sudah cukup berpengalaman bekerja dengan cara itu. 

Tapi ada yang aneh, saat semakin lama kau melihat dua wanita itu dari bangku taman 10 meter di depannya. Semakin lama, perempuan itu semakin risih dengan godaan, dia mulai menapik semua tangan dan pergi melaju sambil meludah wajah-wajah lelaki yang merasa dunia diciptakan bagi mereka. Kedua perempuan itu menciptakan dunianya sekaligus menolaknya. Ada kesal yang mendalam di wajah kedua wanita itu seperti seseorang yang merasa pekerjaannya sedang diganggu. Keduanya seperti terjebak dalam bingkai hidup yang kusam. 

Menurutmu, orang-orang suka mengumpulkan hal-hal besar dalam dunia ini untuk dia timbun di perutnya yang kecil sembari mengabaikan hal kecil yang lebih berharga. Misalnya, air dan udara. Kita lebih memilih menebang pohon-pohon dan mengantinya dengan lembaran kertas untuk membangun kesombongan. Mungkin manusia mahluk keras kepala yang jarang menghargai sesuatu berharga karena merasa masih banyak tersedia dan layak dihambur-hamburkan. Namun saat hal yang kita anggap hal sederhana itu mulai sulit, maka kita akan saling berperang untuk menyalahkan, bukan untuk memperbaiki. Begitulah dunia bergerak dalam hati-hati yang tidak terpuaskan. 

Aku teringat sebuah kata-kata dari Maxim Gorky saat kau pernah bercerita tentang hal kecil yang berharga. Dia mengatakan, "kebahagian selalu terasa kecil saat Anda mendapatkannya, tapi saat Anda membiarkannya berlalu begitu saja, Anda akan merasakan betapa besar dan berharganya kebahagian itu". 

Kau begitu berirama melihat dunia, sedangkan aku merasa salah satu orang yang kakinya pincang dilahap lumpur kehidupan. Aku selalu merasa saat semua menuju ke satu sisi dunia gelap yang mempunyai gunung emas, dunia ini malah diseimbangkan oleh orang-orang kecil yang tidak peduli walau harus berjalan bertelanjang kaki menuju cahaya sepertimu. Orang-orang yang sadar bahwa manusia adalah mahluk berbatas waktu yang tidak mungkin hidup terlalu lama untuk menghabiskan gunung emas itu, orang-orang perasa bertangan dingin yang ingin berbagi cahaya untuk mereka yang terkurung kegelapan walau saat pagi menjelang. 

Paris telah menyatukan kita dengan cara yang sangat sederhana, dengan cara tidak pernah terduga. Dan di kereta Talgo inilah sekarang aku menatap wajahmu yang terlelap dengan akrap di pangkuanku. Ada keindahan yang tidak luas di sana, tapi sangat menabjubkan. Aku telah lama jatuh pada wajah yang membuatku ingin berlama-lama menatapnya. Aku telah lama jatuh dengan pasrah meski tidak mengakuinya saat kau goda: kau telah jatuh cinta. Aku hanya ingin berlama-lama saat jatuh padamu. 

Dari jendela sebelah kananmu, aku melihat hamparan gelap berkerlap-kerlip cahaya, ada banyak bintang untuk di panen bulan Mei ini. Seharusnya kamu bangun dan melihat keluar jendela, bagaimana Tuhan telah menghias malam yang indah dalam gelap yang sering di belakangi. 

"Maaf, Pak!?" Seorang lelaki berambut putih mengejutkan lamunan. 
 "Yah, apa ada yang bisa saya bantu?"

"Apa saya boleh meminta air mineralmu? Istriku kehausan," pintanya. Dari kursi di belakang kiri, aku melihat istrinya tersenyum padaku. 

"Iya, silahkan," kata ku sambil menyodorkan sebotol air mineral yang memang belum kubuka. Dan dia kembali ke kursinya seraya berucap terima kasih. 

Kulihat kamu mengeliat terbangun dari tidur. 

"Dimana kita sekarang?"

"Di semesta!" Jawabanku membuatmu tertawa. 

"Kau membeli tiket ke Spanyol atau ke surga?"
"Iya, ke Planet Mars! Yang ada Spanyol dan juga surganya." Lagi-lagi kau tertawa. 

"Apa kamu bangun karena suara penumpang tadi?"
"Tidak juga, tadi aku merasa di bangunkan suaramu memanggilku dalam mimpi."
"Apa sehebat itu, aku?
"Kamu masih tidak percaya sama yang pernah kukatakan? Saat jiwa menyatu dengan jiwa lainnya, kita akan merasakan satu sama lain walau berjauhan."

Aku hanya tertawa kecil mendengarmu lagi-lagi meyakinkan aku bahwa kamu mampu merasakan apa yang kurasa. Dan anehnya kamu sering benar menebak apa yang aku rasa. 

"Apa karena kamu suka meditasi, sehingga intuisimu sangat hebat?"
"Tidak juga, aku bisa merasakan sejauh kau merasakan aku."

Aku memperbaiki duduk. Kamu duduk menyilangkan kaki. Kamu memejamkan mata seraya menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Tanganmu kau lentikan di atas paha. Aku sedikit bingung melihat tingkahmu. Kau nampak sedikit mistis sekarang. 

"Jangan aneh begitu melihatku," celetukmu tanpa bergeming dan membuka mata.

Aku kaget dan membatin, "Apa kau benar bisa mendengar apa yang tidak kuutarakan dengan mulut?"

Belum habis berucap itu, kau membuka mata dan melihat kearakku sambil berkata, "Aku besar dari tempat yang hening, tempat bintang-bintang sering berpesta di langitnya. Aku tidak mendengar kebencian dari alamnya selain jejangrik yang menyanyikan kedamaian semalaman. Jadi jangan heran jika aku senang bermeditasi berjam-jam hanya untuk membebaskan diriku dari ruang dan waktu."

"Apa yang kau temukan dari meditasi?"
"Sesuatu yang kau tidak akan tahu jika tidak melihatnya sendiri," katamu. 

Aku mengeryitkan mata mendengarkanya. Aku tidak pernah paham kenapa kau suka duduk bersila di fajar hingga matahari duduk di pangkuanmu. Kau sering duduk di bangku taman yang ramai dan sambil berdiam diri seperti bangku itu. Banyak yang tidak aku pahami dengan tingkahmu, tapi aku paham apa yang membuatmu begitu. 

"Apa kalau aku ikut bermeditasi akan mengubah sesuatu dalam diriku?"
"Kamu akan tahu!"
 
"Apa semua orang yang suka bermeditasi sepelit dirimu menjawab sesuatu," kataku kesal sambil mengajukan wajah ke wajahmu. 

"Ah! Kamu mengagetkanku. Tidak semua jawaban bisa dijawab cukup dengan menerangkannya. Kamu harus mencari jawabanmu sendiri."

"Lalu apa jawabanmu?"
"Ketenangan. Ketenangan jiwa untuk mengikat 'singa' dalam diri."

"Apa hatimu seperti Afrika?" Aku mencadaimu. 
"Iya. Dan hatimu seperti Kota Texas yang mabuk dan berjudi setiap malam. Kali ini aku yang tertawa kecil mendengarmu membalasku. 

Kita berasal dari daerah berbeda. Kau terbiasa dengan keheningan alam, sedangkan aku selalu disumbat dengan kebisingan kota. Tapi kita menyatu dengan baik, karena kita sama-sama pejalan yang mencari sebuah tempat yang tidak jauh dari hati dan jantung. Sebuah tempat yang sering disebut dengan kata: rumah. 

Bersambung...