Senin, 12 Juni 2017

Ke Pasar Malam


"Mau ke mana, Acut," tanya Putroe berulang kali sejak keluar dari rumah. Tidak jenuh juga saya menjawab, "ke pasar malam..kita kan."

"Pasar mayam ya...ya? Beli pesawat ya..ya..?" Sahut keponakan saya mengemaskan bak lakon karton "Masha end the Bear", sedangkan saya hanya terus mengiyakan sambil berhati-hati mengendarai sepeda motor. 

Kali ini dia keliahatan senang sekali berpergian dengan saya, biasanya, belum beberapa puluh meter sudah ngeng-ngeng panggil mamanya. Mungkin karena sebelum pergi tadi saya sudah buat kesepakatan "janji jangan nangis ya". Ah, anak sekecil itu, mana mau tau. Atau dia memang sedang senang akhirnya akan memiliki balon pesawat terbang seperti punya saudara seumurannya terpenuhi? Anak kecil mana kita tau pikirannya. Paling kalau dia ketawa berakti dunia sedang senang, kalau dia nangis berakti masa depan bumi sedang dipertaruhkan. 

Contohnya seperti sepanjang jalan tadi dia bertanya-tanya "Tu apa, Cut..Tu apa?" Oh..Tuhan..dia sangat berbakat jadi Jurnalis. Dengan sabar saya harus menjawabnya selembut mungkin, agar masa depan bumi terselamatkan. 

"Itu, Ian." 
"Ian rambut kepang ya?" Dia menunjuk ke arah seorang pejalan kaki dengan pakaian lusuh dan rambut panjang kusut, gimbal. Ian pria paruh baya mengalami ganguan jiwa yang selalu lalu-lalang di sekitar kampung. 

"Takut, Acut?"
"Nggak..Putroe takut?" 
"Takut putroe.."
"Jangan takut, dia kan baik.." Saya menoleh ke wajahnya. Entah kenapa si Putroe diam saja. 

"Haa..kita sampai.." Kata saya mengejutkannya. 

"Bola-bola." 
"Kita parkir dulu ya."

Belum sepeda motor terparkir dengan baik, dia tidak sabaran mau turun saja. Sepertinya permainan pancing ikan di depan kiri kami menarik perhatiannya. Ia, kolam berisi air dengan ikan dan bola dari plastik.

Saya menggendongnya  sambil mencuci otak ala ospek mahasiswa, "Ngapain mancing ikan bohongan. Kita cari pesawat aja yoek?" Dia malah bengong mandang dua orang ibu megang kail, sedangkan anaknya menonton ibunya memancing ikan tanpa suara, tanpa ekspresi. Sungguh kebahagian yang dipaksakan.

Karena pengunjung tidak terlalu ramai, batita berjaket kelinci ini saya biarkan berjalan sendiri mencari kebahagiannya. Saya mengekornya dari belakang. Dia berlari menuju kereta listrik yang berputar-putar di rel yang berbentuk angka Nol sambil sekali-kali melihat ke arah saya. Dia tertawa melihat dua anak Laki-laki duduk di dua gerbong, tapi lagi-lagi anak Laki-laki itu tidak tertawa, bahkan ekspresi wajahnya tegang seperti sedang diculik. Gila, eh, orang tuanya malah menyorak memberi semangat sambil dada-dada kayak rombongan antar haji. Padahal kalau diperhatikan dari raut wajahnya si anak rasanya pingin lompat dari kereta api jungkir-balik kayak film anak
muda India, lalu dengan gagah menghampiri plosotan plastik raksasa berisi angin yang sejak tadi saya perhatikan arah matanya sangat ingin berloncat-loncat tinggi sampai ke angkasa sana. Lagi-lagi kebahagian ada harganya. 

Beda lagi sama si kecil saya yang ketawa-ketiwi kegelian sambil sekali-kali tepuk tangan melihat "kereta odong-odong" itu berputar-putar. Sekali kepala gerbong melewatinya berkali-kali dia ketawa geli. Kecuali itu, dia tidak mau naik walau saya maksa mengangkatnya. Tidak selamanya pemain lebih meyenangkan dari penonton. Bahagia itu sederhana ya, Nak. 

Pasar malam seberang istana wali nanggroe ini berada dalam seperempat lapangan bola. Jadi tidak banyak terdapat lapak-lapak yang menyajikan, maupun menjual pernak-pernik. Ada 3 lapak menjual baju murah, permainan lempar gelang dapat rumah sekalian istri (hehehe...nggak deng), ada juga lapak alat pecah belah yang dipenuhi ibu-ibu sedang pilah-milih sendok dan baskom, dan, itu dia lapak penjual balon pesawat yang kami cari. Saya menarik tangan Putroe menuju penjual balon. Sesudah beberapa langkah, dia kembali tertawa sambil berlari menunjuk balon yang terdorong-dorong tertiup angin. Malam ini angin memang sedikit kencang. 

"Acut..Acut..pesawat." Dia tertawa riang sekali. Lagi-lagi seperti habis digelitik badannya seraya menyentak-nyentak kaki ke tanah. Ketawa saya lihat tingkahnya. 

"Iya..iya..pesawat," sambil saya angkat dia untuk mengapai seikat balon itu. Ada love, kepala power ranger, ikan, dan tentunya bentuk pesawat berwarna pink yang dia coba tarik-tarik. 

"Tunggu ya..biar bapak ini ambil." Saya menyodorkan balon pesawat. Penjual itu mengikatnya dengan tali plus batu pemberat di bawahnya. Ini anak kecil riang bukan kepalang, ditarik-tariknya itu pesawat dan kemudian di lepas talinya. Tinggalah saya yang sibuk mengejar-ngejar itu pesawat yang ngak punya bandara. Eleh...ni bocah malah bengong lihat saya kejar itu balon nyangkut di atap lapak orang. 

"Ini pegang yang baik ya..kalau terbang lagi, Acut nggak mau kejat lagi." Mana mau tahu,  balonnya di tarik-tarik lalu dilepas lagi...heeehh..Di balik sebuah Kebahagian yang tahan lama, selalu ada orang yang bersusah payah menjaganya buat kita. 

Kini waktunya pulang, biarkan pasar ini menegakkan namanya. Sembari berjalan ke parkiran, ada satu lagi yang ingin saya berikan padanya, sepaket mainan masak-masak-an. Ya, walau dia sama sekali tidak berkata apa-apa saat saya memilih mainan untuknya, tapi setidaknya anak Fachrul Razi dan Wiwox Wiwik ini harus tahu cara memasak bermacam-macam perasaan menjadi kebahagian untuk sekelilingnya. 

Ayuk, Nak, kita pulang. La..lala..lala..lala😄👧

Tidak ada komentar:

Posting Komentar