Minggu, 11 Juni 2017

Gerbong

Kau menungguku hari sabtu di Stasiun Paris Pukul 16.41 seperti janji kita semalam. Aku berjalan ke arahmu yang memakai jaket berwarna coklat, celana jeans abu-abu dengan sepatu cats bewarna cream. Di lehermu yang ditutupi jilbab cream melingkar sorban bergaris hitam putih. Tangamu memegang sebuah buku "Cantik Itu Luka" milik Eka Kurniawan yang sedang serius kau baca. 

"Apa kau terluka?" Pertanyaanku mengejutkanmu. Kau tersenyum sembari menutup buku dan menarikku untuk duduk di sampingmu. "Tidak, aku tidak sedang mau cantik," katamu menatapku. 

"Apa kau tahu? luka itu tidak perlu kecantikan, dia hanya perlu kau biarkan menusukkan pisaunya dengan sepengetahuanmu." 

Wajahmu memerah. Ada masa lalu yang pahit di matamu. Aku berhenti membahas luka, karena kita di sini bukan untuk merayakannya, tapi merasakan perjalanan yang indah ke Spanyol di gerbong Kereta Talgo yang nyaman. Aku memesan tempat duduk di gerbong 13, agar kita tidak melewati pemandangan musim gugur ini dengan terburu-buru. Aku tahu kau suka melihat daun-daun menguning, karena setelahnya akan bertumbuhan tunas-tunas baru dengan sangat hijau, sangat bergairah melawan badai. 

Kita sudah berada di gerbong 13. Kau duduk di dekat jendela. Gerbong ini tidak ramai hanya ada 4 pasangan yang rambutnya terlihat semakin mengering. Sepertinya mereka sedang mengenang masa lalu. Sedangkan kita sedang membuat kenangan untuk kita nikmati seperti mereka saat ini. 

Sebelum aku mengiyakan untuk menemanimmu melakukan perjalan berkereta ke Spanyol, aku tahu kamu sedang ingin melewati sebuah malam di gerbong kereta. Perjalanan ini bukan untuk tujuan keretanya, tapi untuk menghabiskan waktu di gerbong ini. Bagimu Spanyol-Madrid adalah kemegahan yang tidak pernah kemana-mana. Sangat membosankan. Sedangkan kamu adalah pejalan yang senang melihat keindahan-keidahan yang terlewatkan oleh mereka yang mencari sebuah tujuan. Kau wanita yang unik yang pernah kukenal, suka menyampaikan pesan dengan matamu. Melihat dunia yang indah dari apa yang orang lain tidak sadari. 

Kereta mulai melaju. Buku bersampul wanita berkebaya putih yang kau baca tadi, kau letakan di meja, tanganmu kau silangkan atasnya sambil meletakan kepalamu. Matamu mengarah keluar jendela kaca yang terdapat pepepohonan yang daunnya mulai menguning. Kereta yang melaju terus membuka pemandangan indah di luar sana. Kita seperti sedang melihat ribuan lukisan alam yang terus bergerak semakin indah. Aku tidak ingin menganggumu merekam kedamaian untuk memecahkan penat yang telah mengendapimu. Aku hanya menemanimu duduk di gerbong ini saja. Walaupun ingin sekali aku bertanya, apa yang gerbong kereta pernah lakukan padamu? 

Hari mulai gelap, lampu gerbong yang berwarna kuning baru dihidupkan membias ke wajahmu yang sedang terlelap setelah melahap keheningan. Aku memeluk pundakmu sambil mencoba tidur di sampingmu, karena besok pagi kita akan sampai di Andalusia-Spanyol pukul 6 untuk menabung mimpimu di gerbong kereta Talgo malam ini. 

Kereta Talgo masih melaju dengan pasti membelah malam, aku baru ingin memejamkan mata, tiba-tiba kau membalikan wajahmu ke arahku tanpa menggangu tanganku, kamu memandangku yang sudah mulai terkantuk-kantuk. Aku tau kau tidak bisa tidur, ada gelisah menyelimutimu. 

"Apa kau akan melukaiku?" 
"Tidak. Tidak. Apa aku terlihat jahat?" Kataku sambil membenarkan letak rambutmu yang keluar dari jilbabnya. 

"Aku sudah merasa banyak hal, bahkan  yang tidak mampu terpikirkan terjadi telah menimpaku. Aku takut terluka lebih dalam lagi."

"Seperti kamu, semua orang juga punya luka, punya kepahitan yang dia coba tawarkan dengan segala rasa nyaman yang tidak mungkin menyakiti. Seperti guguran daun yang terus kau pandangi tadi, nyaman bukan?"

Melihatmu, aku seperti melihat sebuah tempat yang menumbuhkan semua pohon. Tanah yang bagus dengan cuaca yang tidak suka marah-marah. Melihat ke dalam matamu yang bersemburat kekuningan aku merasa tidak perlu memandang ke luar jendela kereta lagi untuk melihat bintang di langit Perancis. Aku melihat diriku ada di matamu, tapi aku tidak berani mengambilnya. 

Aku masih termenung memandang matamu sebelum kau bergeming dan bertanya, "Kenapa kau mau menemaniku hanya untuk sekedar melewati malam di gerbong ini?"

"Apa harus aku menjawab pertanyaan yang kau sudah tau jawabannya?" 

"Iya, harus!"
"Untuk apa?"
"Agar aku yakin malam ini aku tidak membuat kenangan dengan orang yang salah."

"Aku berada di sini karena kamu. Karena hanya kegantengan atau kecantikan yang bisa melukai, maka aku merasa cukup jelek untuk melukaimu." Mendengar itu, kau mencubit pipiku seraya mengatakan hal sama untuk membalas kata-kataku di Stasiun Paris tadi sore: Luka tidak peduli pada rupa. 

Aku tertawa kecil mendengarmu membalasku. Wajah kita sejajar di meja depan tempat duduk gerbong ini. Hidung kita hanya terpisah jarak sejengkalan tangan, begitu dekat untuk melihat garis-garis wajahmu dan merasakan nafasmu. Bibir merah jambu yang bergaris halus itu mengecup keningku. Aku pasrah jikapun harus purnama malam ini. 

Seandainya kau tau berada di gerbong ini menemanimu adalah keinginan yang  tidak akan kuacuhkan, dan mengiyakan pintamu kemarin hari berada di sini adalah mimpi indah yang nyata. Aku menyimpan rasa yang tak gampang kuutarakan. Seperti gerbong-gerbong Talgo yang bergerak di rel ini, aku pasrah ditarik lokomotif ke stasiun manapun kau inginkan. Sebab seperti katamu tempo hari saat kutemani berkeliling Saint-Valentin "desa cinta" di Paris, hanya untuk mencari tau apa ada yang terluka di desa itu? Bahwa saat cinta hadir, maka hati akan merasakan hati lainnya walaupun mulut tidak berkata apa-apa. 

Di luar malam semakin tua, tapi kita masih saling memandang satu sama lain dengan semakin muda. Hati kita sedang mengutarakan isinya masing-masing tanpa berisik, sementara kita terus bergerak menikmati sunyi dalam gerbong kereta yang sinar lampunya berguguran ke wajahmu ke wajah ku dan melompat-lompat ke luar jendela yang gelap. Semakin malam, semakin hening, semakin gugur rasa takut kita akan luka dalam gerbong Kereta Talgo penuh cinta. 

Kau harus yakin di perjalanan ini tidak ada luka, karena luka tidak pernah kuizinkan masuk ke hatimu padaku.

Pukul 9 malam, Kereta Talgo terasa meliuk-liuk di tikungan, suara roda besinya mengerit-gerit menikunggi rel yang tidak lurus. Tubuh kita ikut bergoyang. Aku menegadah keluar jendela gerbong. Kita sedang berada di hutan pinus yang pohonnya besar-besar. 

"Adakah yang aneh?" 
"Ah, tidak. Aku hanya merasa sedikit kedinginan, rupanya kita sedang berada di hutan yang sedikit berkabut."

"Apa kau benci, kabut?"
"Tidak, aku hanya benci apa yang ada di baliknya."

"Aku suka kabut."
"Oh ya? Apa yang membuatmu suka?"

"Aku merasa didekap dengan kasih sayang yang sangat dingin."
"Hati-hati dengan kabut. Dia pendekap yang baik, tapi senang menyusup hingga membuat tulangmu retak."

"Aku merasa bahagia jikapun harus retak oleh apa yang kusenangi."
"Jangan, jangan, bagaimana denganku jika itu terjadi?" Aku menggodamu, kau balas dengan senyuman yang mengalahkan dingin tubuhku. Kita terus melaju melewati malam di gerbong 13 ini.

Tidak terkecuali kau, semua kita punya kisah yang sengaja kita tulis tanpa tinta agar tidak terbaca. Dan aku berusaha membaca tulisan itu di matamu dengan pelan-pelan.

Di ujung gerbong, ada Pramusaji berbadan tinggi, berambut cepak, bercelana hitam dan berkemeja putih. Ada dasi kupu-kupu hitam menempel di kerah bajunya. 

"Kau mau kopi?"
"Iya, No Sugar!"
"Iya, aku tau kau sudah cukup manis." Kau menyeringai sambil menolak tubuhku yang sedang beranjak. 

Aku memesan segelas kopi Esspreso. Saat aku menunggu di meja yang tingginya se-dada, aku melihatmu sedang mengambar-gambar sesuatu di meja kayu berwarna kuning itu. Sejauh 2 kursi di belakangmu ada perempuan memakai blues merah sedang tertidur di pundak lelaki berkacamata yang masih terjaga membaca buku. Lelaki itu terlihat tidak muda lagi, tapi wajah perempuan itu jauh muda di bawahnya.  Walaupun begitu, mereka terlihat sangat serasi. 

Aku melirikmu sekali lagi, sedangkan Esspreso disodorkan ke arahku. Aku membayarnya. Aku teringat saat kita berada di Galata Brigde, Turki. Kamu merangkul tanganku saat duduk di meja yang langsung menghadap Hagia Sophia berhiaskan lampu berwarna biru. Kamu menumpahkan segenggam gula ke meja bundar itu. Tangan kananmu dengan mencuri-curi sela dari lenganku melukis sesuatu dengan gula. Sebuah bunga matahari. Dan kali ini, di meja kereta tanpa gula ini mungkin kau juga  mengambar bunga matahari. Aku tahu kau menyukai bunga matahari, bunga yang tidak jemuh mengelana hari. Dan kamu juga Sang Pegelana seperti bunga matahari itu. 

Sambil mengatakan terima kasih pada pramusaji, tangan kiriku mengenggam sebotol air mineral yang memang disediakan untuk penumpang. Aku kembali padamu yang kulihat masih sibuk mengambar sesuatu, tapi kini di kaca kereta yang berembun. 

"Apa yang kau gambar?" Sambil letakan Esspreso di atas meja. Aku melirik ke meja berserat kayu ini ada garis-garis yang tidak begitu jelas membentuk sesuatu. 

"Hanya sepasang sayap"
"Apa sekarang kau ingin terbang?"
"Tidak, aku tidak ingin terbang. Aku lebih suka diterbangkan olehmu," katamu menggoda. Aku balas dengan senyum kecut. 

Aku kembali melirik ke jendela kaca. "Kenapa kupu-kupu?" Sambil menarik esspreso, kau menjawab, "karena melihat kupu-kupu seperti melihat diriku. Aku merasa terbang dengan indah tapi dengan sayap yang rapuh."

Aku terdiam lagi melihat ke arahmu yang menyerumput kopi setelah berucap kupu-kupu yang rapuh. Bibirmu menyentuh gelas dengan lembut, ada suara serupan dengan asap kopi menyentuh pipimu yang kemerah-merahan. Kamu penuh dengan misteri. 

Aku teringat pertama kali menemukan wanita misterius ini di sebuah siang dengan tidak segaja di toko buku klasik Shakespeare and Co, yang terletak di Aronndissement Distrik ke-5 kota Paris, Perancis. Aku bukan pembaca yang aktif, tapi berada di toko yang berjejer buku di trotoar depannya, aku merasa tertarik untuk melihat ke dalam. Toko itu seperti gua yang dindingnya terbuat dari buku. Banyak lorong. Banyak sudut dengan tempat duduk yang disediakan untuk tempat bercinta pembaca dengan bukunya. 

Di ujung lorong sebelah kanan, tepatnya di sudut ruangan yang bersinari layaknya cahaya musim semi aku melihatmu berkacamata dengan menggenakan switter berwarna cream terang. Kau berseloncor kaki sambil memegang buku bergambar seorang lelaki berkostum putih dan bersurban merah seperti sedang menari ala Turki, "Jalaluddin Rumi" aku membacanya. 

Aku berdehem ke arahmu, tapi kau tidak berkutik. Tidakpun melihat ke arahku. Aku memanggilmu, Nona, seraya minta tolong agar kau mau merekomendasikan aku sebuah buku yang bagus untuk kubaca. Tapi saat itu kau malah hanya membalas permohonanku dengan tatap tajam, sangat nanar dengan pipi yang kau gembungkan. Kamu seperti marah sekali karena terganggu olehku. Aku bergeming sambil berkata, "Maaf."

Kau hanya diam sambil kembali ke posisi semula untuk membaca. Jujur, kamu sangat cantik walaupun sedang marah. Hidungmu yang mancung,  tersangkut kacamata waktu itu membuatmu terlihat seperti seorang mahasiswa pemarah yang sedang ingin jadi professor.  Kamu masih saja jadi wanita yang sangat misterius meskipun sudah begitu dekat denganku sekarang. Menebakmu, sama saja seperti menebak arah angin. Halus, tidak terlihat, hanya dapat dirasa. Sulit sekali memahamimu. 

"Kau ingat bukan, saat pertama kali kita berjumpa di toko buku?"
"Ingat. Kau merayuku habis-habisan hanya untuk menunjukan buku bagus untuk kau baca."

"Iya..Tapi kau malah memberiku buku 'Cara Merawat Bayi'," katakku geram. Kau tertawa terkekeh-kekeh mendengarnya. 

"Aku kesal denganmu yang mengangguku yang sedang asik dengan 'Rumi'."
"Apa kau sejudes itu pada semua orang baru?"

"Kita tidak pernah tahukan yang datang, Malaikat atau Setan, kan?"
"Apa saat itu aku terlihat berwarna merah dan bertanduk?" 

Kau kembali tertawa cekikikan sebelum menjawab, "kamu seperti orang tersesat ke tempat yang bagi aku adalah surga. Tapi kau malah bertanya apa yang ada di surga."

"Begitukah?"
"Buku itu adalah teman bicara, teman merasa, tempat semua cara berfikir manusia dihidangkan, bahkan buku tertentu adalah taman yang indah jika kau menjiwainya saat membaca. Aku membaca 'Rumi' dan seperti sedang memetik buah di taman yang hijau sebelum kau mengangguku." Kali ini aku yang tertawa mendengarmu seperti mendongengi anak kecil sebelum tidur. 

"Kenapa kau tertawa?"
"Ah, tidak. Aku hanya suka caramu melihat dunia dengan cara berbeda dari kebanyakan orang."

"Lalu bagaimana kau melihat dunia," tanyamu. Aku menarik nafas dan melepaskannya. 

"Rumit. Aku masih terjebak dalam mengejar tujuan. Tapi aku mulai sensitif sejak mengenalmu. Aku mulai melihat dunia ini bukan cuma dengan apa mataku lihat. Selalu ada dunia lainnya walaupun itu di selembar daun yang jatuh."

"Sepertinya kamu akan jadi filsuf sekelas Rumi nantinya."
"Ah, kau mengejekku. Aku bukan filsuf, tapi temannya filsuf sepertimu, mungkin bila beruntung akan jadi kekasih filsuf juga nantinya." Kau mencubit pinggangku sambil memasang wajah garang, tapi manis.

Di langit gerbong, suara musik "Lighthouse Family" yang berjudul "High" mengalir lembut ke telinga. 

"Sepertinya pramusaji itu memutarnya untukmu." 
"Sepertinya kau yang memintanya tadi." Aku hanya tertawa melirikmu. 

Aku suka musik dan liriknya, selain memang itu lagu yang paling suka kau putar berkali-kali saat kita menikmati malam di Cappdocia-Turki yang rumah-rumah dan menaranya terbuat dari batu yang berwarna pasir gurun. Dan malam itu kau bersender di bahuku menghayati lagu sambil memandang balon-balon udara yang bersinar terang di langitnya. Sedangkan penyanyi berkulit gelap bernama, Tucker, menghanyutkanmu dengan bersemangat dalam semesta yang tidak terbatas waktu. 

Kau memandangku saat lirik itu dinyanyikan, "Waktu kau hampir menangis ingatlah
suatu hari semua ini akan berakhir
Suatu hari kita akan mencapai ketinggian
Dan walaupun keadaan lebih gelap daripada Desember
apa yang ada di masa depan adalah warna yang berbeda
Suatu hari kita akan mencapai ketinggian". Kau masih memandangku dengan sangat lekat, sedangkan aku menyeruput kopi yang mulai hangat. 

"kau tahu? Lagu itu membawaku pada  satu masa dalam hidupku, dimana aku ada di malam yang indah dan sangat ingin  kuhentikan karena takut pagi akan datang. Karena Aku akan kehilangan harapan waktu matahari bersinar hangat dan merasa bingar dengan urusan dunia. Aku seperti hanya memiliki harapan di malam hari, waktu semua terlihat gelap. Aku selalu takut, bagaimana bisa melewati malam dan besok? Lagu ini mengingatkanku bagaimana rasanya frustasi dan apa yang kutakukan. Dan benar, suatu hari semuanya akan berakhir," ucapmu lirih padaku. Aku membalasnya dengan senyum kecil dan merangkulmu kepelukanku sembari berbisik di kepalamu, "Aku akan selalu ada disampingmu untuk melawan rasa takut itu." Kau malah merengsek ke dadaku sambil membalas pelukan dengan mata terpejam. 

Kali ini lagu Lighthouse Family lainnya yang berjudul "Lost In Space" kembali mengenagi keromantisan di atmosfir gebong 13 dengan lampu bercahaya sayu. Percikan gitarnya mengetarkan hati dengan nyanyian suara datar dan mendayu. Sepertinya Tucker sedang menyinari kita dengan cahaya Tuhan di gerbong ini, hingga kitapun rasanya ingin menyentuh langit bersama. 

Dua suami istri lewat satu bangku sebelah kiri arah depan kita terlihat seperti wisatawan dari suatu negara lain merekat dalam pelukan kekasihnya. Dia seperti sedang memeluk kedamaian. Sedangkan kita? Adalah jiwa yang tidak pernah mengungkapkan rasa cinta dengan terang-terangan, tapi saling berbagi cinta dengan perasaan dan laku tanpa perlu sebuah pengakuan. Kita hanya perlu bercahaya ke satu sama lain, dan semua akan baik-baik saja. 


Aku memilih Gerbong 13 ini bukan sekedar tidak mau terburu-buru melewati musim gugur dengamu, tapi karena gerbong ini diperuntuhkan untuk wisatawan yang traveling dengan pasangannya, jadi gerbong ini jauh dari kebisingan orang yang berlalu lalang. Terlebih lagi dengan kondisi gerbong yang memang didekorasi se-nyaman mungkin bagi penumpang. Langit gerbong di cat warna biru, dengan tempelan bintang-bintang dan bulan sabit dengan kertas yang berkilat. Jika semua lampu dimatikan, langit gerbong akan berpedar cahaya karena dicat dengan campuran posfor yang bisa menyerap cahaya. Jadi sangat romantis untuk kuajak kau menikmatinya. Dan benar, kau menyukainya. 

Alasan lain yang tidak mungkin kukatakan: aku seorang perokok. Gerbong terakhir kereta Talgo ini punya sedikit tempat di ujung luar pintu belakang. Di ekornya. Aku memilih ini karena bisa mencuri-curi waktu untuk merokok. 

Ini sudah pukul 10 malam sejak tadi aku ingin menghisap sebatang rokok di belakang. Tapi kau masih menikmati tidur sambil memeluk tubuhku. Aku sedikit bergerak memastikan apa kau masih terjaga. 

"Kau mau ke mana?" Rupanya kau terbangun. 
"Tidak aku hanya ingin meluruskan pinggangku di balkon belakang gerbong."

Kau bangun dan meluruskan posisi duduk sambil membuka surban yang melilit di lehermu dan menyuruhku menyodorkan kepala ke arahmu. 

"Pakailah ini, kau tidak memakai pakaian hangat, di luar akan dingin."
"Siap, Nona," kataku meniru gaya tentara. Kau tertawa. 

Aku beranjak meninggalkanmu sedang membaca buku. Dari posisi duduk di tengah, aku berjalan dengan berlahan agar tidak membangunkan penumpang lain yang sedang tidur. Setelah berjalan 14 langkah aku sampai di pintu keluar, ada penjaga berbadan tambun dengan setelan seragam serba hitam dan memakai sarung tangan putih sedang tidur bersender di sudut kursi sambil berdengkur. Tapi dengkurannya seperti siulan di ujungnya. Aku menahan tawa melihatnya sambil membuka pintu gerbong yang tidak terkunci.

Di luar sedikit berisik karena gesekan roda dengan rel besi maupun suara pengerak roda. Suaranya seperti sepeda motor yang melewati lubang dengan kecepatan agak tinggi. Tapi di dalam gerbong sangat senyap. Aku menarik sebatang rokok bergambar huruf "A" di putingnya, lalu membakarnya. Di balkon, ada pagar melingkar setengah bulatan terbuat dari besi stainlis diberi jerjak besi yang dilas dengan posisisi berbaris sepanjang bulatan. Di pagar semeteran itu aku menyandarkan tangan melihat ke arah rel kereta yang terus tertinggalkan oleh Kereta Talgo yang berlaju cepat. Rasanya mataku seperti diseret kereta ini. Pinggir kiri-kanan rel ada lahan pertanian yang luas dengan minim rumah penduduk. Sejauh mata memandang, ada tanaman gandum yang jauh menghampar di kedua sisi rel. Sepertinya sudah memasuki perbatasan Spanyol.

Sambil menikmati pemandangan, rokok di tangan kanan kuhisap sesekali. Saat bara api sudah membakar separuh rokok, suara pintu berdekrik mengejutkan. 

"Oh, kamu." Aku mencoba membuang rokok. 
"Jangan dibuang, hisap saja. Aku juga ingin merasakan rokok itu."

"Tidak, aku tidak, aku tidak akan mengizinkannya."
"Aku tidak meminta izinmu! Aku wanita bebas. Dan rokok tidak haramkan?" 

"Saat kau meminta hisap, rasanya ini menjadi haram sekarang." Ujarku serius dengan rasa marah. 

"Sudahlah, itu hanya stigmamu saja. Aku ingin tahu apa yang membuatmu meninggalkanku di sana dan memilih menghisapnya." 

Aku acuh bercampur jengkel menyodorkan sebatang rokok padamu, sambil berkata, "Apa kau pernah merokok sebelumnya?"

"Aku bukan perokok, tapi aku menghisapnya agar kau tahu rasanya aku melihatmu merokok."

"Sudahlah, gadis berjilbab seperti kamu tidak baik dilihat merokok," aku menghardik. 

"Kebaikan itu bukan apa yang orang suka atau tidak. Aku lebih suka melihat kebaikan dari berlaku adil pada orang lain. Dan tentang jilbab, ini persembahanku pada Tuhan, cintaku pada Tuhan adalah hal sakral yang tidak perlu kau tahu bagaimana aku menjadi hamba pada-Nya. Dan kau jangan ikut jadi orang yang mendikte Tuhan mana baik dan buruk. Jadilah hamba saja." Kau sangat lantang bersuara seperti angin yang menampar-nampar rambutku. 

Aku terdiam mendengarkanmu sangat pandai mematahkan segala argumentku. Kau memang wanita cerdas yang pandai membuat aku menerima semua argumenmu. 

Di sini sangat dingin, ditambah angin yang mengerus wajah kita. Kulihat kau terbatuk di tarikan pertama setelah kau bakar sendiri rokok itu, aku membalikan badan ke arahmu, dan membenarkan letak jaketmu yang renggang. Rokok di bibirmu aku tarik dan kubuang ke samping. Sambil kusapu bibirmu dengan ujung surban milikmu yang kau lilitkan ke leherku, aku berkata padamu, "Aku tahu rasanya. Kau lebih baik memarahiku daripada berbuat seperti ini." Kau malah tersenyum dan menolak dadaku dengan tangan. 

"Aku tidak suka mengatur orang dengan tidak atau apa yang kusuka, dan marah-marah hanya sebuah bentuk kelemahan diri yang ditutupi dengan memaksa kehendak atas orang lain. Aku tidak suka itu." Aku tertawa mendengarmu bicara begitu bijak sambil mengajakmu masuk karena di luar semakin dingin. 

Kita kembali duduk di kursi kereta dengan posisi sama. kau yang di samping jendela. Aku menarik sebuah selimut di laci atas kepala kita dan merentangkannya ke atasmu juga. 

Menatap wajahmu yang putih, seperti menatap kehampaan, membaca matamu seperti menyelam lautan dalam tanpa tabung oksigen, jika terlalu dalam menyelam maka akan mati tenggelam di dalamnya. 

Membicarakan cinta adalah hal yang kau hidari, karena menganggap cinta tampil mengajukan diri sebagai hujan rintik-rintik yang baik hati, padahal membawa petir dan badai. Andalusia telah membesarkanmu dengan baik, tapi juga menghancurkan hidupmu hampir rata. 

Jika berbicara tentang Spanyol-Andalusia, kau sangat lantang mencercal kesombongan penguasanya dahulu yang membuat kegemilangan runtuh, tapi ketika berbelok ke suatu tempat yang udaranya beraroma rumput, kamu seperti anak kecil yang tertawa kegirangan bercerita tentang tempat bermain yang asik bersama kawan-kawannya sepanjang hari. 

Aku teringat tempo hari kamu sempat mengajakku menjemput kenangan ke tanah kelahiranmu, Adalusia. Kota dimana kejayaan Islam pernah terukir di kubah-kubah gedung, di jalan-jalan, di dinding, udara, air, bahkan tegak menunjuk langit. Islam merebut Andalusia dengan cinta, tapi juga hancur karena cinta. 

Beberapa tempat Andalusia memang malas kau datangi, selain Desa Picos de Europa "Gunung Kecantikan". karena di sana ada seorang wanita tua yang kau sayangi, tinggal di sebuah lahan pertanian dengan 5 sapi perahnya untuk menghasilkan susu sebagai bahan keju. Mungkin karena itu juga kamu suka keju dan tau banyak cara membuat keju yang lezat. 

Meski Andalusia adalah hal lain sekarang, tapi kota itu masih terbujur dalam masa lalu yang makmur. Setiap jejak Islam masih beraroma ketal, seperti aroma parfum kayu pinus yang kau pakai. Melekat kemana-mana. Suasana pegununggan yang kiri-kanannya mengalir sungai yang airnya bergegas menuruni bukit berhamparan rumput dengan ternak yang banyak itu, membuat pemandangan di Picos de Europa sangat mudah untuk jatuh cinta.  

Jalananan di kota kecil itu rengang dari mobil, karena traktor lebih diperlukan di sini. Kita berkendara dengan sepeda motor mirip Vespa mungil menuju rumah nenekmu yang bercerobong batu dan setengah dindingnya adalah kayu. 

Di samping selatan, sekitar 50 meter dari rumah, ada lumbung yang di dalamnya ada sapi-sapi kesayangan nenekmu. Kamu sangat senang berlama-lama di sana, kata nenekmu padaku sambil menunjuk lumbung dengan kepalanya saat menghidangkan "Beyaz Siyah Cayi" atau teh hitam dalam gelas kecil berbentuk bunga tulip untuk kita pagi itu. 

Dari dia juga aku tahu kamu senang mengamati sesuatu dengan kaca pembesar saat kecil. Entah itu semut yang mengerumuni roti, ataupun urat-urat daun dengan seksama. Dan saat itu aku baru paham kenapa kau suka melihat sesuatu yang menarik perhatianmu dengan lama, seakan matamu seperti kamera yang memperbesar tampilan objek secara detail. Mungkin bagi sebagian orang itu aneh, tapi aku jatuh cinta pada semua sifat anehmu. 

Rumah nenek tidak hanya mengungkap kecerianmu, aku juga melihat kesedihan yang kalian tidak ingin aku tahu. Sebuah kerinduan yang tidak pernah usai, yang sangat haus pada dua pasang tangan orang tua yang sangat jauh. Mungkin kerinduan yang berfrekmentasi menjadi benci telah membunuh gairah hidupmu. Kau menjadi sangat tertutup, bahkan padaku. 

Terkadang, di satu waktu aku merasa dijadikan laki-laki brengsek sebagai lawan bicara yang pantas dihantam kiri-kanan-kaki-kepala olehmu, tapi di saat bersamaan aku harus siap-siap beralih sebagai spon yang menyerap airmatamu. Bagiku tidak jadi masalah bagaimanapun kamu, tapi aku selalu mengatakan padamu, jangan terlalu banyak mengkonsumsi perih, karena Itu sangat buruk bagi hati yang rapuh. 

Konsumsilah rasa syukur dengan rakus, karena saat kita berjalan menuju tua, keperihan akan melompat ke mulutmu walapun kau tidak ingin menguyahnya.

Gerbong semakin sunyi pukul 1 malam ini. Kau masih mencoba tidur meski didekap gelisah. Sepertinya terlalu dalam kehancuran menarikmu ke lubang tidak berdasar. Aku tau tidak mudah untuk bangkit, dan belagak baik-baik saja seakan hatimu terbuat dari baja. Kita sering bercerita hati yang hancur berkeping-keping, bahkan setelah hancur sekalipun, kepingan itu tetap di sepak-sepak sesuka hati. Seakan hati itu barang tertawaan bagi pemenangnya. Seakan hati kita harus benar hancur lebur tidak bersisa untuk memuaskannya. 

Untuk bangkit dari kehancuran memang bukan hal mudah, tapi aku tau rasanya. Rasanya hampa. Tidak ada warna lagi yang berani kita lukis ke sebagian umur yang mungkin panjang. Tidak ada lagi keberanian untuk menyentuh sebuah harapan yang menjanjikan, walaupun begitu mengoda. Aku paham semua raut wajah bahagia yang kau pasang dengan pura-pura atau kecerian yang kau paksakan. Aku selalu menghindari mata jernihmu melihatku mencuri pandang, agar kau masih yakin aku tidak pernah tau dalam bentuk apa resah merantai wanita yang jiwa sepertinya tidak semua orang punya. 

Kau istimewa dalam banyak hal. kau membiarkan orang melihat tarianmu, tapi kau tidak ingin mereka tau bagimana penari itu hancur berkeping-keping di balik tariannya. Mereka hanya perlu tau kau telah menari  untuk mereka. 

Gerak cepat kereta ini telah membawa kita ke tempat yang lain, tempat yang sering kau kunjungi: Spanyol. Tapi setiap pejalan ada cerita yang lain, seakan naik kereta hanya untuk berada di gerbongnya adalah kecanduan bagimu. Kecanduan untuk merasakan sebuah tempat yang berpindah-pindah begitu cepat di matamu. Seperti kipasan tangan di mata, kau ingin resah berubah secepatnya. Berada di dekatmu, aku merasakan kau selalu ingin berada di suatu tempat, tapi tidak pernah tau di mana. Pastinya bukan Spanyol ataupun Paris. Tempat yang pohonnya berbeda, orangnya tidak berbentuk sama sepertimu, tempat yang tidak ada di bumi. 

Di gerbong ini aku masih menjagamu tidur didekap gelisah, di dekap kerinduan yang tidak ingin kau kenali, baik atau tuluskah dia. Setiba pukul 6 pagi di Spanyol semua mungkin akan berbeda, semua mungkin akan berwarna. Atau sebaliknya, aku masih melihat durja mengekorimu kemana-mana. 

Bila saja kau membiarkan aku masuk memperbaiki hatimu yang telah diporaporandakan masa lalu, pasti akan kubuat sebuah rumah sederhana dengan halaman yang indah di sana. Agar kau selalu tahu, walau banyak tempat yang menerimamu pergi, tapi hanya satu tempat yang tulus menunggumu pulang dalam keadaan apapun, yaitu: Rumah. 

Malam semakin tua, gerbong ini semakin sunyi. Bintang-bintang yang berpedar di langit gerbong sejak 2 jam yang lalu lampu telah dimatikan, mulai redup kehabisan sinar. Sedangkan di bahuku, kudengar kau mulai bernafas dengan teratur. Matamu sudah terlelap, tinggal aku yang terjaga mengawal mimpimu untuk menemani gerbong yang tidak berhenti bertualang.

Sementara seisi gerbong terlelap, perjalanan dalam Kereta Talgo ini masih sangat panjang bagiku yang punya masalah dengan tidur. Permasalahan yang tidak pernah aku tahu bagimana cara mudah mengalahkannya. Seperti ada sesuatu dalam diriku yang kerap mengajak bicara hingga larut malam. 

Jika sebagian orang-orang menganggap kenikmatan hidup dari seberapa besar dibayar hari, dan seberapa banyak membeli malam, maka seringnya aku melihat sebuah kenikmatan itu tidaklah mahal dan tidak besar-besar. Bagiku, kenikmatan hidup itu sangat sederhana, seperti dapat tidur lebih cepat dan bangun pagi tidak lambat itu sudah kenikmatan Tuhan yang luar biasa. 

Kita sering terjebak dalam fantasi belaka. Senang dengan kepura-puraan. Senang memaksa dunia bergerak dari sudut pandang yang kita siasati semau diri dalam kebadian hidup yang dikarang-karang. Seakan apa yang kita suka semua orang harus menyukainya. Selalu ada benih penindas dalam diri kita yang harus selalu kita jaga agar tidak tumbuh dan membesar. 

Aku banyak bertemu dengan orang-orang yang bangun pagi lalu membuat dunia merana, tapi sering juga menemukan orang-orang yang tidur menjelang pagi lalu membuat dunia  bahagia. Aku melihat yang sedikit itu padamu yang sedang kutatap sekarang. Perempuan berjilbab cream yang mengarungi mimpi dengan cara yang senyap. Perempuan bertangan lentik yang menghibur dunia dengan sulaman-sulaman benang yang indah. 

Kau adalah seorang perupa yang berbakat, yang sering mengambil dunia yang luas dan menempatkan di selembar kain. Ada sebuah sulaman benang yang selalu membuat aku tabjuk melihat karya senimu dari kain berwarna cream dengan sulaman benang hitam dan beberapa warna lain berbentuk dua kupu-kupu berwajah wanita yang saling berhadap-hadapan tertempel di jendela ruang tamumu. Kau dipandang lama, kupu-kupu itu seperti ingin terbang tapi tidak dapat merentangkan sayap karena terbatas oleh tempat, keduannya hanya bisa pasrah saling bertukar kesedihan sepanjang hidup. 

Kau pernah bercerita Kupu-kupu itu kau bawa pulang dari sebuah bangku taman di malam yang dingin di sebelah utara menara Eiffel yang dunia puja. Di bawah sebatang pohon yang rindang, kamu melihat 2 wanita di apit 4 orang laki-laki secara mengodanya. Perempuan itu sangat lihai dalam membalas godaan, seperti dia sudah cukup berpengalaman bekerja dengan cara itu. 

Tapi ada yang aneh, saat semakin lama kau melihat dua wanita itu dari bangku taman 10 meter di depannya. Semakin lama, perempuan itu semakin risih dengan godaan, dia mulai menapik semua tangan dan pergi melaju sambil meludah wajah-wajah lelaki yang merasa dunia diciptakan bagi mereka. Kedua perempuan itu menciptakan dunianya sekaligus menolaknya. Ada kesal yang mendalam di wajah kedua wanita itu seperti seseorang yang merasa pekerjaannya sedang diganggu. Keduanya seperti terjebak dalam bingkai hidup yang kusam. 

Menurutmu, orang-orang suka mengumpulkan hal-hal besar dalam dunia ini untuk dia timbun di perutnya yang kecil sembari mengabaikan hal kecil yang lebih berharga. Misalnya, air dan udara. Kita lebih memilih menebang pohon-pohon dan mengantinya dengan lembaran kertas untuk membangun kesombongan. Mungkin manusia mahluk keras kepala yang jarang menghargai sesuatu berharga karena merasa masih banyak tersedia dan layak dihambur-hamburkan. Namun saat hal yang kita anggap hal sederhana itu mulai sulit, maka kita akan saling berperang untuk menyalahkan, bukan untuk memperbaiki. Begitulah dunia bergerak dalam hati-hati yang tidak terpuaskan. 

Aku teringat sebuah kata-kata dari Maxim Gorky saat kau pernah bercerita tentang hal kecil yang berharga. Dia mengatakan, "kebahagian selalu terasa kecil saat Anda mendapatkannya, tapi saat Anda membiarkannya berlalu begitu saja, Anda akan merasakan betapa besar dan berharganya kebahagian itu". 

Kau begitu berirama melihat dunia, sedangkan aku merasa salah satu orang yang kakinya pincang dilahap lumpur kehidupan. Aku selalu merasa saat semua menuju ke satu sisi dunia gelap yang mempunyai gunung emas, dunia ini malah diseimbangkan oleh orang-orang kecil yang tidak peduli walau harus berjalan bertelanjang kaki menuju cahaya sepertimu. Orang-orang yang sadar bahwa manusia adalah mahluk berbatas waktu yang tidak mungkin hidup terlalu lama untuk menghabiskan gunung emas itu, orang-orang perasa bertangan dingin yang ingin berbagi cahaya untuk mereka yang terkurung kegelapan walau saat pagi menjelang. 

Paris telah menyatukan kita dengan cara yang sangat sederhana, dengan cara tidak pernah terduga. Dan di kereta Talgo inilah sekarang aku menatap wajahmu yang terlelap dengan akrap di pangkuanku. Ada keindahan yang tidak luas di sana, tapi sangat menabjubkan. Aku telah lama jatuh pada wajah yang membuatku ingin berlama-lama menatapnya. Aku telah lama jatuh dengan pasrah meski tidak mengakuinya saat kau goda: kau telah jatuh cinta. Aku hanya ingin berlama-lama saat jatuh padamu. 

Dari jendela sebelah kananmu, aku melihat hamparan gelap berkerlap-kerlip cahaya, ada banyak bintang untuk di panen bulan Mei ini. Seharusnya kamu bangun dan melihat keluar jendela, bagaimana Tuhan telah menghias malam yang indah dalam gelap yang sering di belakangi. 

"Maaf, Pak!?" Seorang lelaki berambut putih mengejutkan lamunan. 
 "Yah, apa ada yang bisa saya bantu?"

"Apa saya boleh meminta air mineralmu? Istriku kehausan," pintanya. Dari kursi di belakang kiri, aku melihat istrinya tersenyum padaku. 

"Iya, silahkan," kata ku sambil menyodorkan sebotol air mineral yang memang belum kubuka. Dan dia kembali ke kursinya seraya berucap terima kasih. 

Kulihat kamu mengeliat terbangun dari tidur. 

"Dimana kita sekarang?"

"Di semesta!" Jawabanku membuatmu tertawa. 

"Kau membeli tiket ke Spanyol atau ke surga?"
"Iya, ke Planet Mars! Yang ada Spanyol dan juga surganya." Lagi-lagi kau tertawa. 

"Apa kamu bangun karena suara penumpang tadi?"
"Tidak juga, tadi aku merasa di bangunkan suaramu memanggilku dalam mimpi."
"Apa sehebat itu, aku?
"Kamu masih tidak percaya sama yang pernah kukatakan? Saat jiwa menyatu dengan jiwa lainnya, kita akan merasakan satu sama lain walau berjauhan."

Aku hanya tertawa kecil mendengarmu lagi-lagi meyakinkan aku bahwa kamu mampu merasakan apa yang kurasa. Dan anehnya kamu sering benar menebak apa yang aku rasa. 

"Apa karena kamu suka meditasi, sehingga intuisimu sangat hebat?"
"Tidak juga, aku bisa merasakan sejauh kau merasakan aku."

Aku memperbaiki duduk. Kamu duduk menyilangkan kaki. Kamu memejamkan mata seraya menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Tanganmu kau lentikan di atas paha. Aku sedikit bingung melihat tingkahmu. Kau nampak sedikit mistis sekarang. 

"Jangan aneh begitu melihatku," celetukmu tanpa bergeming dan membuka mata.

Aku kaget dan membatin, "Apa kau benar bisa mendengar apa yang tidak kuutarakan dengan mulut?"

Belum habis berucap itu, kau membuka mata dan melihat kearakku sambil berkata, "Aku besar dari tempat yang hening, tempat bintang-bintang sering berpesta di langitnya. Aku tidak mendengar kebencian dari alamnya selain jejangrik yang menyanyikan kedamaian semalaman. Jadi jangan heran jika aku senang bermeditasi berjam-jam hanya untuk membebaskan diriku dari ruang dan waktu."

"Apa yang kau temukan dari meditasi?"
"Sesuatu yang kau tidak akan tahu jika tidak melihatnya sendiri," katamu. 

Aku mengeryitkan mata mendengarkanya. Aku tidak pernah paham kenapa kau suka duduk bersila di fajar hingga matahari duduk di pangkuanmu. Kau sering duduk di bangku taman yang ramai dan sambil berdiam diri seperti bangku itu. Banyak yang tidak aku pahami dengan tingkahmu, tapi aku paham apa yang membuatmu begitu. 

"Apa kalau aku ikut bermeditasi akan mengubah sesuatu dalam diriku?"
"Kamu akan tahu!"
 
"Apa semua orang yang suka bermeditasi sepelit dirimu menjawab sesuatu," kataku kesal sambil mengajukan wajah ke wajahmu. 

"Ah! Kamu mengagetkanku. Tidak semua jawaban bisa dijawab cukup dengan menerangkannya. Kamu harus mencari jawabanmu sendiri."

"Lalu apa jawabanmu?"
"Ketenangan. Ketenangan jiwa untuk mengikat 'singa' dalam diri."

"Apa hatimu seperti Afrika?" Aku mencadaimu. 
"Iya. Dan hatimu seperti Kota Texas yang mabuk dan berjudi setiap malam. Kali ini aku yang tertawa kecil mendengarmu membalasku. 

Kita berasal dari daerah berbeda. Kau terbiasa dengan keheningan alam, sedangkan aku selalu disumbat dengan kebisingan kota. Tapi kita menyatu dengan baik, karena kita sama-sama pejalan yang mencari sebuah tempat yang tidak jauh dari hati dan jantung. Sebuah tempat yang sering disebut dengan kata: rumah. 

Bersambung...












Tidak ada komentar:

Posting Komentar