Minggu, 11 Juni 2017

Galata Bridge

Kita masih di Istanbul melewati April dengan warna-warni tulip yang bersemi. Tidak ada amarah yang berlalu lalang di sini kecuali asmara yang mengenangi kota Sultan Ahmed yang mempesona, termasuk kita yang berjalan malam ini dengan saling berdekapan menuju Galata Bridge dari Arah Blue Mosque dan Hagia Shopia yang menawan. 

Di jembatan yang melintangi teluk Golden Horn ini, sekali lagi kamu mendekap dadaku begitu erat saat sebuah lagu padang pasir mendayu-dayu dihembus angin mengenai rambutmu yang hitam terurai. Kulihat matamu terpejam diraba dingin, sedangkan bibirmu menyeringai meresapi belaian lembut angin dari benua eropa yang sedikit nakal ini malam . Diam-diam kuselipkan setakai tulip bewarna kuning di tanganmu. Kau semakin erat mendekap. 

Berada di Istanbul, kita tidak perlu banyak bicara, semua benda di kota para sultan seakan tersusun dengan artistik untuk menenggelam kita dalam lautan yang penuh cinta. Kota para sultan yang gemilang. Berada di tingkat bawah Gablata Bridge, dunia seakan bergerak semakin lambat, indah, lembut, dan sayup. Kita terbuai hingga terdiam, sementara tidak bergerak memandang bias warna-warni lampu yang mengambang-abang di riak Sungai Alibeykoy dan Kagithane  yang senang berdansa. Kita tidak perlu berkata-kata, hanya perlu merasakannya. Mungkin novelis Orpan Pamuk juga telah terdiam di sini dipikat suasana seperti kita sebelum dia menuliskannya. 

Kita datang dengan asmara yang meluap-luap ke konstatinovel, dengan se-samudra cinta yang tidak perlu banyak bicara. Istanbul selalu berhasil membukam kita dengan keindahannya. Seperti kamu padaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar