Sabtu, 05 Maret 2016

Menanti Pesan Dari Laut.

Tanah masih bergucang dengan hebatnya. Pohon kelapa di pesisir pantai nampak bergoyang kesana- kemari seperti ingin mengatuk-antuk kepala satu sama lain. Takbir dan azan mengema dimana-mana. "Intan..Intann, lari ke rumah Yah Cut neuk." Seru Baidah dari depan pintu rumah Aceh pada anaknya yang nampak tegang bercongkong di depan halaman rumah berpagar tanaman teh. Anak kecil itu menganguk dan lekas berlari ke rumah atas bukit belakang rumahnya bersama orang kampung lainnya. 

Satu menit berlalu, tanah kampung Ujong Pancu kembali tenang. Tapi  tidak dengan sekian banyak penghuninya masih diguncang kepanikan teramat sangat. Di antara  arus orang-orang yang masih belari kecil menuju perbukitan yang berjarak seratus meter dari dataran pemukiman, terlihat seorang laki-laki bersarung tanpa baju malah bergegas menuju pantai. Ia, namanya Banta, kepala mukim peukan Bada. Di ujung hempasan ombak dia menegapkan badannya. Matanya nanar menatap laut. Wajahnya yang legam tampak gusar menoleh ke kiri dan ke kanan. Sepertinya lelaki paruh baya itu mencari sesuatu di ujung laut yang dihapit pulau-pulau ini. Dia terus begitu dengan begitu lama. Menerawang-dan menerawang ke segala arah, seperti menanti pesan dari balik ombak.  Kampung yang biasanya bingar dengan pekikan suara bermacam aktivitas kini senyap tak begeliat. 

Puluhan Boat Tep-tep yang bersadar dermaga alue belakang kanan menasah berkontruksi kayu, terikat serautan ditinggal empunya. Bermacam Ikan di kerancang yang baru diturunkan dari boat ditinggal begitu saja di TPI (Tempat pelelangan ikan). Angin juga diam, hanya debur ombak dan suara enyitan dari boat yang saling bersengolan terdengar di pagi Minggu ini. Perkampungan sepi.
"Bagaimana, Bang? Suara Baidah mengagetkan suaminya ini."
"Ah kau, mengagetkan aku saja. Sepertinya laut baik-baik saja." 
"Anak kita mana, Baidah?"
 "Dia sudah ku suruh  lari ke rumah ApaCut." 
 Tiba-tiba suara Intan berlari menghampiri  dari belakang. 
"Kenapa kesini, Neuk," tanya Baidah. Dia hanya diam sembari memeluk pinggang ibunya. Sedangkan Ayahnya Banta hanya melihat Intan seraya tersenyum seakan kegundahan tadi tidak ada di wajahnya. 

Kendati begitu, Baidah tau, ada keresahan yang disebunyikan suaminya pada anak kecil itu, sesuatu yang berkenaan dengan tanggung jawab sebagai  pembaca pesan dari laut antara hidup dan mati jika saja pesan itu lebih cepat menerkamnya.Intan menghampiri Ayahnya yang sejak tadi diperhatikannya menatap laut. "Ada apa di laut yah?" > > Laki-laki berkumis tebal itu tersenyum dan menjawab. "Ayah hanya ingin memantau apakah Yakjut Makjut dan Dajjal sudah datang." Intan menganguk dan membuang pandangannya ke kearah gunung Selawah yang berdiri jauh di timur kampungnya. Seakan tadi dia mengerti sosok Yakjut, Makjut, mengakibatkan tanah mengucang dan mengakibatkan Dajjal terlepas dari penjara bawah laut. Karena cerita itu sendiri sering diperdengarkan Ayahnya di bale beut depan anak-anak lainnya usai magrib.. Kata ayahnya, Yakjut Makjut itu sejenis manusia yang di penjara Raja Zulkarnain di dalam gunung karena suka merusak bumi dengan mengeruk tanah setiap hari. Sifatnya sama merusaknya seperti Dajjal yang berupa sebentuk raksasa bermata satu yang keluar dari dasar lautan dengan ditandai dengan surutnya air laut dengan begitu kencang karena dihisap oleh Dajjal untuk dihempaskan lagi ke darat. Kedua mahluk itu selalu mengorek tanah untuk melepaskan diri, tapi Allah telah menugaskan malaikat untuk menimbunnya kembali tiap terdengar suara azan, maka mereka akan datang menghancurkan suatu tempat kalau azan tidak lagi terdengar di tempat itu. Intan merinding, lalu lekas memeluk Ayahhnya. Sudah lima belas menit Banta berdiri memantau laut. Namun nampaknya tidak ada tanda air surut. Kekwatiran Banta punhilang. Kemudian di amanahkan pada istrinya Baidah untuk mengumumkan pada warga yang menunggu di atas bukit untuk kembali turun ke kampung dengan tenang. 

Intan masih dengan ketakutan disamping ayahnya. "Neuk..Ayo kita pulang." Ajak ayahnya sambil mengendong intan ke bahunya. Intan tertawa sambil memeluk leher ayahnya. Lalu berkata dengan serius sambil melongokan kepala ke wajah ayahnya. "Yah..kalau ayah nanti melaut, jangan lupa azan ya." Banta menjawab hanya dengan menyeringai ke arah anak perempuannya kecilnya itu.