Kamis, 11 Maret 2021

Topeng-Topeng Kehidupan.

Oleh: Rahmad Hidayat
(Pernah dimuat Acehmediart.Com 12 Maret 2017)

"Kau tau, Mat? Topeng-topeng itu ada di mana-mana, di rumahku, Langgar, pasar, kampus, bahkan menyelinap ke mimpiku." Aku sudah mendengar lelaki ceking ini merapal tentang topeng-topeng sejak pukul 5 sore tadi. Seakan mantra ampuh untuk mengsiasati kesedihan. "Lelaki malang," batinku. Dia tertawa. Sepertinya dia tau. Tapi mana mungkin ilmunya setingkat malaikat?

"Kau tidak perlu mengasihaniku, Rahmat. Aku hanya berandalan yang menghabiskan waktu dengan minuman."

"Ah siapa yang mengasihanimu? Aku berkata malang bukan berarti mengasihani. Anggap saja menghinamu," batinku lagi. 

Sebenarnya aku malas mendengarnya mengeluhkan kehidupan, dan memaki keadaan. Menjawab katanya dengan suara, sama saja mengajak lelaki sedang mabuk ini bertarung tinju. Tapi apalah teman jika tidak menemani. 

Langit sedikit mendung. Angin masih tetap menyerbu timur sejak awal Agustus ini. Sedangkan di ufuk barat, matahari semakin tenggelam diterkam mulut gunung Pulau Aceh. Yang seakan sela gunung itu mulut ular Sanca yang sedang melahap mangsa dengan perlahan.

Tetiba, awan memerah. Seperti bercak darah yang beterbangan. memerah, semerah mata, Dek Gam, yang kian merabun setelah menengak minuman yang disebutnya "airmata buah". Di atas bukit Blangkaram ini, dia serbing menelponku datang menemuinya. Mungkin menemaninya lebih tepat. Dari atas bukit yang ditambang batunya ini pula 'kota Bunda' terlihat indah, senja selalu anggun, burung-burung besi beterbangan. Di sini, alam tak henti bernyanyi. Bintang bertaburan di kala malam. 

Mungkin karena temanku, Dek Gam, selalu menyuruhku datang dengan alasan mengada-gada, akan bunuh diri jika tidak. Sialnya, pemabuk ini teman yang paling setia. Dia yang tahan badan saat aku dipopor senjata saat lupa bawa KTP merah putih. Dia juga yang pernah urungkan marahku saat bergegas mengengam dahan kayu ketika mendengar skripsiku tidak mau disidangkan lebih cepat oleh seorang dosen senang berkata "pekok" pada mahasiswa. Dia teman yang menemani. Begitu pula aku padanya. 

Seketika tubuh berkemeja garis kotak-kotak merah itu menjatuhkan pantatnya ke batu sebelah tempat ku duduk. "Kata orang barat, air buah jemblang hasil fermentasi ini namanya 'wine', Rahmat," katanya, sambil mengancungkan botol hitam di tangan kanannya. Kemudian, Air setengah botolan itu menggeleguk ditenggaknya. 

"Dek Gam, kapan kau akan berhenti mencundangi diri seperti ini!?"

"Sampai topeng-topeng itu tidak mendatangiku lagi."

"Topeng yang mana maksudmu?"

Dia tertawa. 

"Topeng yang juga kau pakai."

"Topeng apa lagi, Dek Gam?"

Sambil menahan tubuhnya yang sempoyongan dengan botol, tangan kirinya menunjuk-nunjuk ke mukaku. 

"Itu maksudku..itu maksudku! Topeng teman yang kau pakai. Padahal, hatimu bertopeng musuh." 

Aku bangkit." Kurang ajar kau, Dek Gam. Kalau bukan karena kuanggap kau temanku, tidak sudiku menemani pemabuk sepertimu." Aku beranjak pergi. 

Dek Gam tertawa, sembari berkata dengan menggema, "Kau baru saja melepas topengmu. Kau temanku. Temani aku dengan benar-benar memarahi setiap kesalahanku, bukan malah membiarkan setiap kesalahanku. Kau temanku!, bukan airmata buah ini yang kuracik sebagai teman. Tidak juga botolnya yang genggam setiap waktu . Tidak mabuknya! Datanglah tanpa kuracik. Berkunjunglah tanpa kuminta. Kau temanku!" kemudian suaranya hilang. Langit menghitam. Aku terus beranjak. Mendengar bunyi dentuman, langkahku terhenti. Bibirku bergetar. Airmataku jatuh. Temanku mati dibunuh sepi. ***

Cerita fiksi ini terinspirasi dari kisah nyata tentang seorang teman yang kini terdiam dalam kesunyiannya sendiri. Sebagai teman, saya merasa tidak pernah benar-benar menemaninya melewati pertanyaan-pertanyaan berat yang telah mengacaukan pikirannya.  Pada akhirnya, kita terlalu sibuk dengan diri kita masing-masing hingga lupa pada apa yang berharga sebelum hal itu hilang. Teman yang baik. Semoga Tuhan menyayanginya, seperti dia menyayangi semua mahluk hidup di dunia ini.

(Untuk seorang sahabat baik yang sudah tiada)

Senin, 23 Juli 2018

Dunia Kita Sayang

Dunia ini, sayang..
kita harus sering-sering ke pasar 
Di sana wajah muda dan renta tidak mau mengeluh
Tidak mau mengemis

Dunia ini, sayang..
kita harus sering-sering ke pasar
Membeli keprihatinan serta membawa pulang rasa syukur
Dunia ini adalah pasar berkasih, sayang..

Tanah Harapan

TANAH HARAPAN

"Cut Adek, kita tidak boleh jumpa lama-lama, berbicara sekedar, lalu melangkah lagi semampunya." Jamilah hanya termanggu mendengar kata-kata Maimun yang sedang sibuk melepaskan tali tambatan perahu di tiang pancang. 

Wajah Perempuan belia itu telihat tegar, tapi tangannya bergetar erat mencengram tali perahu kekasihnya itu. Tiada suara yang dia keluarkan kecuali  nafas yang tersenggal-senggal menahan tangis.

"Lepaskan tali itu, Cut Adek. Tiada waktu lagi untuk banyak bicara di musim Sure ini." 

"Cut Bang. Aku akan menikah hari ini." Tangisan Jamilah pecah.

"Ia, aku tau Cut Adek. Ini ucapan ke seratus yang kau ulang padaku sejak seminggu lalu. Seperti kamu, aku juga tidak punya waktu lagi untuk tidak melaut. Apa kata orang jika Pawang Laot muda tidak melaut di hari melimpah ikan ini," Ucap maimun tenang  mencoba lari dari setiap pertanyaan kekasihnya itu. Padahal ada gemuruh di dada yang kian hebat dia tahan.

Sore semakin tua, maimun masih terduduk lemas di dekat kemudi. Suasana Pantai kuala Bak U tanpa dermaga itu hening dari suara mereka berdua. Hanya ombak yang terdengar berdebur riang menjilati pantai..

"Cut Bang, bapak yang memaksaku dengan Toke Lah, padahal aku mencintaimu. bawa aku melaut bersamamu Cut Bang." Jamilah menarik perahu sembari memaksa naik. Kedua insan ini dirasuki dilema yang segera butuh tindakan dan pengorbanan yang begitu besar. Dimana harus mempertahankan cinta atau malah menanggung malu karena pasti toke Lah akan mengusir orang tuanya dari rumah sebagai tembusan utang.

"Cut Adek, aku lebih berani mati di laut dari pada tiada kau lagi di darat. Jika benar engkau seberani aku juga, berpegangganlah yang erat. Karena hari ini tiada sure yang lebih melimpah daripada air mataku. Biarkan aku jadi pawang kemanapun kau mau." 

"Bawa saja aku ke tanah harapanmu Cut Bang, ke tanah Perahu yang selalu dapat ku temani melaju atau menunggu."  merekapun pergi menunganggi ombak.

Senin, 16 Juli 2018

MATAHARI

MATAHARI. Bahwasanya kita telah sepakat berkelana jauh sampai lupa jalan pulang, Dik. Melupakan tanah yang pura-pura damai. Melupakan segala kerakusan penghuninya. Melupakan sakit hati pada listrik dan dendam pada air bersih. Bahkan mengubur harapan. 

Malam ini kita berhasil tersesat dengan sempurna. Berhasil asing di tempat yang memiliki segala buah, ikan, beras, dan bunga untuk kuselipkan di selah telingamu tiap bangun pagi tanpa susah payah. Lalu bersama memandang samudra sambil mendengar kicauan burung di dahan-dahan yang berdaun agak kekuningan ditusuk cahaya pagi. Seperti ujung rambutmu yang kuning padi. Inikah tanah impian, Dik? Di mana anak-anak kita bebas bermain air dan bersekolah pada alam. 

Dik, kita telah sepakat  tanah impian tidak asal bilang madani, tidak asal beriman, tidak asal berkerudung putih. Apalagi lupa pada asal. Tanah impian itu persis ketika aku menemukanmu, aku seperti dihidangkan banyak kasih sayang dan cinta tanpa kepalsuan. Tanpa dikafirkan. Tanpa dilecehkan kemiskinanku dengan pecutan. 

Aku akan selalu bertanya: ini kah tanah impianmu, Dik? Bila tidak, aku akan membawamu lebih tersesat untuk menemukan tanah yang tidak pernah orang lain temukan. Namun, aku tidak akan  pernah bisa menemukan bulan atau matahari yang lain daripada ini untukmu. 

Tersenyumlah terus untukku, Dik. Matahari pun akan dingin bila melihat wajahmu yang tidak pernah ingin mengelabuhi Tuhan.

Rabu, 14 Februari 2018

Bante

BANTE. Pukul 01.30 Si Amin sudah berdengkur keras di atas kasur kapuk tanpa seprai, beranjang dari panteu dari bambu. Di luar, hujan menguyur deras. Gemuruh mengelegar hebat. Kilat menyambar-nyambar rintik hujan.

Gubuk 4x5 yang berdiri di tepi sungai Desa Betong Ateuh ini gelap gulita tanpa penerang. Pemuda 15 tahun ini menepati istananya sendirian sejak ibu-bapaknya menjadi korban penembakan menjelang shalat Juma'at di halaman masjid, yang kata warga dilakukan oleh setan yang menjelma jadi manusia "Siluman" pada 1999, silam. 

Saat kejadian tragedi berdarah itu, Amin yang menangis di kulah kanan masjid berhasil diselamatkan warga dari peluru yang terbang membabi-buta. Hingga akhirnya, Amin tinggal sebatang kara di gubuk kecil itu. 

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, pemuda berwajah tirus itu bekerja memetik kopi, pinang dan apapun yang diupahi warga untuk dikerjakannya.  Namun selama tiga bulan ini, Amin mulai menebang pohon pesanan orang kota.

Udara semakin dingin di desa berlembah ini, di dalam gubuk sama dinginnya. Selembar kain batik panjang berwarna coklat membalut tubuh Amin yang semakin meringkuk menahan hawa yang tidak mau tau derita Amin.

Engsel jendela dari batang bambu yang di tutupi ayaman kulit pelepah pohon sagu yang berada dinding atas kepala Amin terbuka. Sepasang cahaya seperti kilatan mata kucing melongoh ke arah Amin yang masih tertidur. 

Dbraakk..Jendela dibating. Amin terperanjak. Matanya langsung melihat ke jendela. Wajahnya tersirat ketakutan dan kebingungan tapi seperti mengetahui sesuatu.. Dalam rasa terkejut itu, di rasanya ada sesuatu yang tersengol kakinya. Di rabanya, perlahan. Di hidupkannya serungkeng.  Rupanya itu adalah butiran buah pinang  yang tergeletak di pelepah pinang dalam kondisi basah.

Amin nampak kebingungan menemukan pinang-pinang kuning yang  dia sadari bukan miliknya. Pemuda yang hanya memakai celana kain ponggol warna kream penuh bekas getah itu menuju pintu. Di bukanya kancing pintu dari kayu di paku di kusennya. Ciprakan hujan merengsek masuk saking derasnya. Amin hanya melongohkan kepalanya melihat kiri-kanan luar rumah untuk menemukan siapa yang menaruk pinang  sudah 5 kaki malam jumaat ini. 

Pemuda itu menutup pintu, dia tidak menemukan apa-apa selain penasarannya seperti biasa. Kejadian itu sudah berlangsung hampir tiap malam jumaat. Tapi Amin tidak pernah berhasil mengetahui bagaimana pinang itu selalu di tergeletak begitu saja, kadang di depan pintu. Berserak di lantai sumur belakang gubuk.

Pernah Amin pura-pura tidur semalam untuk mengetahui dari mana asal pinang-pinang yang seperti baru di petik dari pohon itu.
Tapi setiap usahanya tidak pernah menemukan apa-apa. Hingga Amin memilih tidak mau lagi mengetahui asal pinang yang bisa ditukarnya dengan sebambu beras.

Paginya ini Amin merasa beruntung, dia menemukan sebuah jejak, tapi hanya sebuah jejak yang berada di gundukan tanah liat yang tidak tergenang bekas hujan semalam. Jejak itu berupa bekas pijakan kaki anak bayi yang masih tercetak dalam. Jejak itu mengarak ke  jendela. Di lihat lurus ke arah jejak, sepertinya berasal dari jejeran  batu-batuan besar, hampir seukuran gubuknya yang tersebar sampai ke pingir hutan yang berjarak seratus meter dari gubuknya.

Amin  teringat, hutan dinamakan warga "Hutan Bante" , tidak berani satupun warga masuki. Hutan lebat yang akar pohon-pohonnya menjalar menutupi batu-batu besar yang berlumut.

Masyarakat mengangap Bante adalah penghuni hutan yang berbentuk manusia berbadan kecil seukuran bayi. Tapi kakinya mengarah ke belakang, tidak seperti manusia. Amin tau cerita warga, bila ada yang berani masuk hutan Bante, maka dia tidak.akan pernah kembali. 

Karena penasarannya semakin besar, Amin meresek masuk ke hutan sambil memangil "Bante..! Bante..!" Semakin jauh dia  masuk tetap saja tidak menemukan apa-apa selain bunyi seranga yang memekikkan telingga. Agar tidak sesat di tebasnya kulit pohon setiap dia temukan untuk menunjuk jalan pulang. 

Tiba-tiba sebuah suara "uuukkkk..uuukkk..uukkk!" menyahut-yahut di kanan. Amin berlari mengejar suara itu. Semakin dekat Amin semakin gembira. Tiba-tiba kabut mengenangi Amin.

Amin ketakutan mencari arah keluar. Disaat begitu, didengar suara menyebut namanya. " pulanglah, Min, jangan hancurkan rumah kami, tanamlah pinang itu agar kau tidak menebang pohon-pohon kami lagi."

Selasa, 13 Februari 2018

Nyalaku

Nyalaku sedikit di balik bukit. Bahagianku terbang kemana mau, ke atas batu-batu, ke mercu paling barat, ke pohon tumbang di pinggir pantai yang mengkilap. Bahagia.

Nyalaku merah membara di balik bukit. Bahagianku membakar apa mau, kertas-kertas usang, pohon-pohon tumbang, tidak juga peduli pada batu tidak habis ku panggang. Amarah.

Nyalakan aku sekedar saja, Dik.

Jumat, 15 Desember 2017

aku Dikenal Nama

Aku dikenal nama
Liangku adalah laut
Aku disanjung matahari
Saat terik kerap dicaci maki

Aku angka tengah malam yang berdiri sendiri
Bilangan akhir yang sering dihindari
Aku adalah masa lalu 
Penabur benih yang dilupakan

Aku dipanggil Yang Mulia
Istanaku dijarah
Jati diri entah siapa
Rakyatku pura-pura

Tanah ini bagiku jasad
Airku adalah darah
Senjataku adalah ombak
Pasukanku adalah gunung

Negeriku di bawah angin
Rakyatku sering mengantuk dan marah-marah
Negeriku penguasa Malaka
Rakyatku para pelupa 

(Kutaraja, 3 oktober 2017)