Senin, 16 Juli 2018

MATAHARI

MATAHARI. Bahwasanya kita telah sepakat berkelana jauh sampai lupa jalan pulang, Dik. Melupakan tanah yang pura-pura damai. Melupakan segala kerakusan penghuninya. Melupakan sakit hati pada listrik dan dendam pada air bersih. Bahkan mengubur harapan. 

Malam ini kita berhasil tersesat dengan sempurna. Berhasil asing di tempat yang memiliki segala buah, ikan, beras, dan bunga untuk kuselipkan di selah telingamu tiap bangun pagi tanpa susah payah. Lalu bersama memandang samudra sambil mendengar kicauan burung di dahan-dahan yang berdaun agak kekuningan ditusuk cahaya pagi. Seperti ujung rambutmu yang kuning padi. Inikah tanah impian, Dik? Di mana anak-anak kita bebas bermain air dan bersekolah pada alam. 

Dik, kita telah sepakat  tanah impian tidak asal bilang madani, tidak asal beriman, tidak asal berkerudung putih. Apalagi lupa pada asal. Tanah impian itu persis ketika aku menemukanmu, aku seperti dihidangkan banyak kasih sayang dan cinta tanpa kepalsuan. Tanpa dikafirkan. Tanpa dilecehkan kemiskinanku dengan pecutan. 

Aku akan selalu bertanya: ini kah tanah impianmu, Dik? Bila tidak, aku akan membawamu lebih tersesat untuk menemukan tanah yang tidak pernah orang lain temukan. Namun, aku tidak akan  pernah bisa menemukan bulan atau matahari yang lain daripada ini untukmu. 

Tersenyumlah terus untukku, Dik. Matahari pun akan dingin bila melihat wajahmu yang tidak pernah ingin mengelabuhi Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar