Jumat, 15 Desember 2017

aku Dikenal Nama

Aku dikenal nama
Liangku adalah laut
Aku disanjung matahari
Saat terik kerap dicaci maki

Aku angka tengah malam yang berdiri sendiri
Bilangan akhir yang sering dihindari
Aku adalah masa lalu 
Penabur benih yang dilupakan

Aku dipanggil Yang Mulia
Istanaku dijarah
Jati diri entah siapa
Rakyatku pura-pura

Tanah ini bagiku jasad
Airku adalah darah
Senjataku adalah ombak
Pasukanku adalah gunung

Negeriku di bawah angin
Rakyatku sering mengantuk dan marah-marah
Negeriku penguasa Malaka
Rakyatku para pelupa 

(Kutaraja, 3 oktober 2017)

Selasa, 28 November 2017

Cananga Odorata

SEULANGA. Aku mengenalmu sejak lama. 
Sejak sekarangan penari mengagungkan namamu Seulanga yang bersahaja di sekolahku. 
Namamu diarak ke segala penjuru angin. 
Namun di rumahmu Kutaraja, kupula, mahoni dan trambesi lebih mudah ditemui para tetamu. 
Sama seperti Jeumpa, Kamu tak lebih hanya simbol yang cukup mekar abadi dengan semen di Simpang 5. Mahluk hidup yang teranggap mati. Tidak perlu berakar, berdaun dan menebar pesona wangi bunga. Cukup dikenal nama. Entah bagaimana mereka berpikir? Selalu saja berbuih-buih mengagungkan masa lalu, tapi pura-pura lupa telah menimbun bekasnya dengan sampah. 

Aku pernah bermimpi menanammu sepanjang jalan kampusku. Agar wangimu sedikit menyemangati hari yang tak selalu menyenangkan.  Namun mimpi itu tidak pernah tuntas dalam nyata. Maafkan aku. 

Hari ini kusentuh kamu lagi, Cananga Odorata. Aku melihatmu seperti kekasih yang begitu kukenal di sudut sekolah itu. Aromamu yang kental merambat dalam lembab ke hidungku membuat malu bougenville berbunga merah jambu yang perdu. 
Aku memahamimu sang pemalu. Bungamu yang kuning tunduk biarkan begitu, meski mereka cukup mengenalmu dengan bernyanyi dan menari hingga sadar dirimu bukan milik mereka lagi. Tapi sekarang, bersendaguraulah denganku Seulanga, sampai klimaks bersama tanpa perlu malu-malu.

Sabtu, 21 Oktober 2017

Menjadi Lilin

Dulu saat sedang membicarakan perihal menyelesaikan kuliah di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Unsyiah, dosen wali saya mengatakan, "kamu seperti lilin yang menerangi orang lain, tapi kamu habis." 

Saat itu saya tidak membalas kata itu karena saya tahu diri lalai kuliah karena sibuk belajar jadi wartawan, meski dalam hati sangat ingin sekali menjawab, "Bapak seperti senter cas, yang terang tergantung energi masuk". Niat itu saya urungkan untuk menghormatinya. 

Saya paham saya salah, tapi saya tidak paham sebagai guru dia sangat pandai menghina muridnya. 

Terakhir kali berjumpa dengannya di akhir masa studi, saya menangih janjinya untuk membuka satu mata kuliah di semester pendek (SP), tapi dia menyuruh saya menanyakan sendiri ke Pembantu Dekan II (PR II). Saya naik ke ruanganya dan menemui beliau menjelaskan skripsi saya sudah selesai, minggu depan saya naik seminar hasil, dan pembimbing saya menyatakan akan membantu saya untuk bisa langsung sidang tidak lama setelah itu. 

Namun, pengajaran mengatakan untuk menghubungi kepala jurusan yang dia juga menjadi dosen wali saya menelponnya untuk mengambil keputusan terkait permasalahan saya, karena menurut PD II tahun ini tidak boleh buka SP berdasarkan keputusan rektor. Keputusan itu saya rasa ganjil, karena biasanya SP selalu dibuka asal cukup kuota mahasiswanya. Saya bolak-balik keluar masuk gedung satu dan lainnya membawa berita dari satu mulut ke telinga lain. 

Saya hilang semangat, dan kemudian menelpon rektor yang kebetulan sering mewawancaranya beberapa waktu lalu untuk meminta konfirmasi terkait dana pengetesan urine mahasiswa oleh tim kesehatan kepolisian yang dipungut 100 ribu rupiah dari mahasiwa yang total mahasiwa baru mencampai sampai 3000 orang, sedangkan BNN tidak dilibatkan. Berita terkait ke mana dana itu dan proses di lapangan asal masukin data itu sempat saya kejar hingga pemred saya menyetopnya. Sebagai wartawan pemula saya hanya nurut saja tanpa menanyakan alasannya. 

Siang hari saya menelpon rektor mengadukan permasalahan saya. Rektor tidak masalah dan menyerahkan urusan itu ke fakultas, "Bagi saya tidak masalah, urusan kecil begitu kembali ke fakultas kamu saja." Saya senang bukan kepalang mendengarnya. 

Saya kembali ke pengajaran menyampaikan ke PD II tanggapan rektor tadi. PD II menyerahkan ke kepala jurusan. Nah, di situ saya mentok karena sepertinya kepala jurusan tidak mau membantu banyak urusan saya. Di meja panjang ruang tengah jurusan saya menemuinya, setelah menunggu berjam-jam mahasiswa lain konsultasi dengannya. Saya sudah merasa lelah. Saat menemuinya saya langsung membahas bagaimana keputusan untuk saya? Apakah saya bisa lulus di sini? 

Saya melihat raut wajah bosan. Dia tidak menjawab, hanya mencibirkan mulut sambil mengeleng kecil. Saya memohon untuk bisa melihat solusi lain dengan menghapus beberapa mata kuliah yang untuk anak baru yang kadung saya ambil agar IPK bisa terdongkrak, dan mungkin saya bisa minta tolong dosen mata kuliah bersangkutan untuk ikut ujian mengubah nilai saya setidaknya menjadi C. Saya tertunduk lesu di ruang itu mendengar dia menceramahi saya tentang filosofi lilin tanpa ada kata memberi solusi. Saya cemburu pada kawan saya di Jurusan Agronomi yang dosennya tahan badan habis-habisan untuk meluluskan dirinya yang ketinggalan 12 SKS. 

Sesudah dia terdiam, saya kembali bertanya, apa saya bisa lulus di sini? Dia kembali menjawabnya dengan gelengan kepala yang berat dan mengatakan kamu kok ruwet kali jadi orang, sembari menutupinya dengan menghina saya dengan kata, "mungkin kamu pekok nggak?" Di situ amarah saya memuncah. Dia memperlakukan saya seperti anak SMA. Rasanya ingin sekali saya hantam kepalanya yang tampak menjaga jarak hantam tangan saya yang tergengam kuat. Tapi niat itu lagi-lagi saya urungkan karena nasehat dosen pembimbing saya yang sempat mengatakan, "kamu harus mengontrol emosi, mereka (dosen-dosen itu) memang banyak menjadi pegawai yang patuh, tapi bukan pendidik yang baik". 

Kemudian saya mohon diri sambil mengatakan terima kasih. Saya turun dari ruangan itu dan meniatkan diri tidak akan pernah sekalipun mau masuk lagi. Terhitung ada 2 kawan lainnya yang se-dosen wali dengan saya harus merengggang semangat lulus di bawah panji fakultas itu. 

Harapan saya pupus saat menemui pembimbing skripsi saya dan menceritakan pertemuan itu. Saya selalu salut dan menghormati pembimbing satu ini, dia selalu mendengarkan saya sebagai teman dengan memanggil saya dengan sebutan "Gon" (kawan). 

Dia menyemangati saya dengan mengatakan, "kamu tidak boleh menyerah karena mereka. Masa depan kamu itu bukan di ijazah, tapi di otak kamu." Mata saya basah mendengarnya. 

"Kamu pindah ke Abulyatama, biar nanti saya yang telpon kawan saya di sana untuk membimbing kamu." Saya mengiayakan. Semua orang bisa menjadi guru, tapi tidak semua bisa jadi pendidik. Dan pembimbing saya adalah guru yang luar biasa baik hatinya. Terima kasih, pak Romano. 

Dan akhirnya, awal tahun lalu saya sudah menyelesaikan tanggung jawab kuliah saya sebagai anak pada mamak. Untuk menyelesaikan S1 saya sudah masuk tiga universitas, 2 jurusan, dan 10 tahun lamanya. Saya tidak pernah menyesal telah melewati semua itu. Saya tidak menyesal menjadi sebatang lilin menerangi orang lain sedangkan saya mati habis pelan-pelan. Semoga tetesan lilin itu berguna bagi orang lain. 

Setidaknya dengan menjadi lilin, banyak hal yang mengubah cara pandang saya pada banyak hal. Seperti pohon, hidup harus bermafaat bagi orang lain. Dan, jangan pernah menyerah, Kita harus menyelesaikan apa yang sudah kita mulai.

Minggu, 17 September 2017

Sepotong kisah Gua Ramulah dan PKI di Lhokseumawe

"Saya sangat terkejut melihat sesosok tubuh tanpa kepala, posisinya telungkup tepat di depan pintu masuk bungker," kata Cut Usman di tengah ceritanya. 


Lelaki yang menceritakan itu bernama Usman, berumut 73 tahun. Dia duduk menyilang kaki di salah satu kursi di antara empat kursi berbahan plastik yang juga terisi empat orang lainnya berposisi saling berhadapan di bawah tenda berhias pita kertas warna-warni untuk persiapan acara pernikahan esok hari. 


Seperti yang lainnya, saya di sini datang membantu persiapan pesta pernikahan. Di kampung ini warga saling datang  membantu dengan tenaga membenahi keperluan pesta, walaupun hanya datang untuk sekedar meramaikannya saja. 


Seperti Usman misalnya dan dua warga seumurannya yang juga tinggal di Desa Panggoi, kecamatan Muara Dua, kota lhoksemawe yang duduk sambil sekedar berbincang-bincang mengenai segala hal.

Dari pembicangan itu, tersebutlah misteri Gua Ramlah yang namanya sudah tidak asing di telinga seluruh warga asli Lhoksemawe saat ini.


Sejatinya, Gua tersebut adalah bangunan berupa "kurok-kurok" atau disebut juga Bungker Jepang. Namun setelah penemuan sosok mayat wanita tanpa kepala yang diketahui bernama Ramulah  pada tahun 1965 era pembataian PKI di Indonesia.



“Saat kejadian pembunuhan terkait PKI itu, saya masih berumur sekitar 14 tahun dan saat itu sedang membantu orang tua mengembala Lembu di daerah Gua Jepang itu,” ujarnya (22/8/2014).



Pada masa itu di Aceh, pembantaian terhadap pengikut PKI gencar terjadi, siapa pun yang dicurigai PKI tidak akan aman hidupnya. Namun Usman mengaku tidak pernah peduli akan hal itu.


”Saat itu umur saya masih bandel- bandelnya, mana peduli yang gituan " katanya sembari menebar tawa hingga giginya telihat tidak lagi berbaris rapat.


Rasa kalang kabut akibat penemuan mayat tersebut sempat membuat Usman ingin secepatnya beranjak pergi meninggalkan mayat berpakaian daster yang terlihat tercabik-cabik dan berlumuran darah masih melekat di tubuhnya.



“Melihat kondisi pakaian yang sobek-robek sepertinya sebelum dibunuh, dia sudah diperkosa duluan. Ujarnya menganalisa.



Belum melambat rasanya detak jantung dan nafas yang di buru rasa kaget bertemu mayat Ramlah, akhirnya dia kembali dikejutkan dengan  seongok kepala manusia tanpa badan yang tergeletak di sela- sela hamparan rumput m di bukit yang berjarak 100 meter jauhnya dari mayat Ramulah.



 "Hanya ada kepala dengan rambut pendek dan berlumuran darah, saya kembali kaget dan tidak tidak tahu harus berbuat apa saat itu," jelasnya. 


Dia berdiri tidak bergeming kala menemukan mayat itu. Rasa takut bernasip sama dengan mayat yang dia temukan menyelumuti pikiranya. Dalam rasa takut yang berlebihan, kepala manusia tersebut dipungut dan diletakan dalam semak-semak. 


"Ntah bagaimana caranya menghadapi perasaan kemanusiaan pada saat itu, rasanya pingin saya kubur dengan layak, tapi keadaan masa itu sangat buruk, semua orang bisa mati jika disangka terlibat," kenang usman dengan mimik wajah gelisah mengingat peristiwa tersebut. 



Dari referensi catatan sejarah yang ada, PKI masuk ke Aceh pada tahun 1965, namun kata orang tua Usman padanya. Masyarakat tidak mengetahui arti Gerakan PKI yang sebenarnya, masyarakat banyak dibagikan simbol PKI seperti parang berbentuk sabit dengan gagang bewarna merah, dan cangkul yang gagangnya juga berwarna merah. Pekakas untuk bertani dan berkebun yang dibagikan itu di ambil oleh masyarakat tanpa menyadari dengan memiliki alat semacam itu mereka di anggap terlibat dalam gerakan PKI.



Namun menurut usman lagi, Ramulah sendiri memang termasuk dalam gerakan tersebut.  Dia menceritakan pada masa Ramulah masih hidup, dia mengenal sosok wanita yang terbujur kaku itu banyak di gila-gilai kaum laki-laki. 


 "Dia wanita berwajah cantik. Hidung mancung. Rambutnya lurus panjang selutut. kulitnya kuning langsat. pantaslah dianggap primadona laki-laki saat itu," katanya di sambut tawa.



Menurutnya, pembunuhan serta pembantaian masa PKI saat itu kerap terjadi di kota yang pernah mendapatkan julukan 'Petro Dollar' tersebut dilakukan oleh orang-orang yang dikenal dengan sebutan  sebagai Algojo (orang yang bertugas mengeksekusi mati orang yang terlibat PKI).


Meski tidak tau persis bagaimana sepak terjang PKI sehingga mengakibatkan pembataian yang ditandai dengan seringnya ditemukan mayat-mayat yang kerap terggeletak baik di semak-semak, di tepi jalan, maupun rumah tidak berpenghuni. 


Usman juga mengaku pernah ditunjuki oleh kawannya salah satu Algojo yang hidup sampai masa PKI berlalu. 


 “Saya tidak mengenal namanya, warna kulitnya hitam, badannya tinggi besar dan tegap, kata kawan saya, dia tinggal di daerah kampung Mon Gedong dan menjadi preman di sana. Setelah dia mati  Kota Lhoksemawe baru aman, karena kalau dulu antara kampung sering serang kalau ada sedikit masalah aja,”ujarnya mengakhiri cerita terkait PKI yang di akuinya tidak tau pasti  kapan pertama PKI masuk ke Aceh.



Sampai saat ini, masyarakat Lhoksemawe sangap akrap dengan nama sosok wanita cantik di Gua Jepang tersebut. Nama Ramulah dianggap sangat menakutkan, hingga namanya kerap disebutkan untuk menakuti anak kecil yang suka bermain di luar rumah pada malam hari. 


"Dan lucunya, sampai saat ini anak-anak langsung lari masuk ke rumah mendengar nama itu. " tuturnya diiringi tawa semua orang yang dari tadi duduk khidmat mendengar ceritanya.



Selain itu, kata Usman, wilayah bukit Pangoi, Cot Kuala,  hingga barisan bukit Blang Panyang, Lhoksemawe tersimpan banyak misteri yang belum terkuak. Di sana banyak terdapat bungker-bungker peningalan jaman masa penjajahan.  


Tempat tersebut dikenal masyarakat setempat dipenuhi hal Mistis, seperti halnya sumur yang tidak pernah kering berada di atas bukit, dan ada juga tempat tiga orang Tentara Jepang yang gantung diri di sebatang pohon mane setelah tahu Hiroshima dan Nagasaki pora-poranda di lumat Bom Atom oleh tentara Amerika, hingga masa Konflik bersenjata antara RI dan GAM tempat itu menjadi lokasi pembuangan mayat tidak berindentitas.



Sabtu, 19 Agustus 2017

Rahim

Rahimku, aku berdosa padamu
Rahimku, aku terkurung dalam tempat seluas ini. 
Rahimku, selubung kembali aku 
Rahimku, aku darimu 
Rahimku, aku padamu


Geram



Erang mengelegar mencium langit
Sabar tidak senang dicabut sampai ke akar-akar.
Ada kabar yang terus mencabik-cabik, bagaimana bisa diam itu menarik?
Sekian pikiran lumpuh berbauk busuk, cangkang tidak juga berganti.

Sebahagian berani menunggu tanah, sebahagian mengantung nasip pada air.
lalu apa itu rumah? apakah seperti sepetak meja tidak berlauk-pauk yang ada hanya pisau?

Kali ini tiada alasan lagi untuk tidak percaya Tuhan, lilit tali doa panjang-panjang
Tubuhmu, tubuhnya, hanya pakain nyawa dari air dan tanah.
ditulis detik ini, baca dikemudian mati.

Jika ragu masih terpancang dalam, menangislah yang kencang malam ini sampai kau melihat Tuhan dalam gelap sekalipun,
Peluk erat kasih-Nya, Tuhan tidak bercanda. 

(Lambaro kafe, 18 Mei 2015)

Rumah Kecil Untuk Nayla.



Hujan belum reda. Di depan toko tanpa lampu yang pintunya terkunci Nayla menadahkan tangan menahan tetesan hujan yang meluncur dari kanopi toko. Tangannya terlihat menangkapi setiap tetes air yang jatuh dengan tangan kecilnya seakan sedang menangkap harapan-harapan yang berjatuhan ke tanah yang tak ramah ini begitu saja. Di belakangnya seorang lelaki yang bajunya kalah lusuh dengan Nayla, duduk bersandar di tiang toko. Wajahnya kusam, pipinya kusut sering ditampar matahari, matanya murung menatapi Nayla yang cekikikan riang menangkap tetesan hujan jatuh kanopi toko. 

Nayla yang riang gembira seharusnya sedang berada di rumah sekarang. Entah asik mengambar dengan ayah-ibunya, atau bersandar dalam dekapan ayah sambil mendengar dogeng menjelang tidur. Nama Nayla mempunyai arti: sesuatu yang istimewa. Seperti itulah Nayla untuk lelaki yang sebelah matanya buta itu. 

Setiap hari bagi Nayla adalah bermain. Setiap malam bagi Nayla adalah pertualangan. Setiap malam tiba, mereka menyusuri setiap baris toko untuk mencari pelataran yang tokonya berkeramik bagus. Nayla anak perempuan yang tegar tanpa menyadari di sisi lain, dunia telah menyediakan  makanan enak dan kamar tidur berkeramik yang indah untuk anak seusianya. Bahkan menyanjungya dengan kasih sayang melimpah ruah setiap menjelang tidur dengan kata "buah hati". 

Nayla berambut ikal bukan anak dari lelaki renta yang dipanggil ayah itu. Dia diceritakan Kasim lahir dari awan yang menjatuhkannya bersama hujan di emperan pertokoan ini. Saat dia lahir, dunia sedang ditinggalkan penghuninya mengigil sendirian di luar. Sedangkan lelaki itu mendekap Nayla kecil yang basah kuyup yang dilihatnya menangis di dalam hujan. "Mama..mama", gumam Nayla yang tertidur di dekapan Kasim yang kini dipanggilnya; Ayah. 

Kasim tau, Nayla sepertinya satu dari ratusan anak yang di bawa ke kota untuk mengemis hingga akhirnya Nayla tersesat jauh tidak tahu ke mana harus pulang. Kasim menjaga Nayla seperti anaknya sendiri, karena sama seperti Nayla, dia merasa sendirian di dunia yang ramai ini sebelum hal istimewa,  yaitu Nayla menerangi sebelah lagi dunianya yang telah lama gelap. 

Meski dia tahu ini bukan tanah yang bagus untuk Nayla tumbuh, tapi dia selalu berkata pada Nayla saat menyapu setiap emperan toko untuk sebuah upah yang tak banyak, "kita akan menabung untuk membeli rumah kecil yang nantinya akan ayah pasang keramik yang indah dan tempat tidur dengan bantal bergambar Cinderlela untukmu, Nayla." 

Kasim tau, mereka harus menghidupkan hari-hari dengan hayalan dan harapan-harapan, walaupun kosong. Rumah kecil bagi Nayla setidaknya adalah gairah baru bagi kehampaan hari-hari Kasim sebelumnya. 

Kasim masih menatap kosong Nayla yang riang. Pikirannya mengawang pada masa depan yang ada dan tiada Nayla lagi. Dia menakar bimbang kehampaan besok tanpa Nayla atau ketidakinginannya senyuman Nayla kecil kumuh bersamanya di emperan toko ini. 

Kasim memangil Nayla yang asik menangkap hujan dan menyimpannya dalam kantong plastik. 

"Kenapa kamu menangkap hujan, Nayla?"

"Air hujan itu sangat bening Ayah, padahal berasal dari awan yang hitam. Aku menangkap dan mengumpulkannya dalam plastik agar dapat melihat menjadi awan kembali." Kasim menyeringai sambil mengecup kepala Nayla. 

"Apa kamu ingin rumah, Nayla?"

"Apa itu rumah, Ayah?"

"Rumah itu tempat yang hangat, tidak sedingin emperan ini. Tempat yang punya kamar tidur dan meja makan yang makanan selalu terhidang."

"Seperti rumah makan ya Ayah?"

Kasim tersenyum sambil berkata, "iya hampir mirip Nayla."

Hati Kasim telah terisi keistimewan yang di temukannya di emperan jalan. Hati kasim mulai mencari ruang berteduh setelah lama berada di hamparan luas. Nayla menjadi harapan untuk bekerja, bukan mengemis. Sebuah harapan besar untuk rumah yang kecil untuk Nayla yang istimewa.


Kamis, 17 Agustus 2017

Hutan, Tanah dan manusia


Dua belas tahun sudah tahun lamanya Aceh terbebas dari perang panjang, perang yang telah merenggut sendi-sendi kehidupan rakyat Aceh, perang yang telah membuat darah dan nyawa begitu murah di Daerah yang terletak Provinsi Barat Indonesia ini di kenal dengan sebutan Serambi Mekkah ataupun Tanah Rencong


Bencana dari dasar samudera menerpa dan menghumbalang tanah Aceh pada akhir Desember 2004. Aceh pun sadar, bahwa tak ada gunanya terus berperang mempertahankan keinginan. 


Dalam sekejap mata, di pagi Minggu itu, Tuhan telah menyadarkan keduanya menuju MOU di Helsinki di Jenewa. 

Dengan modal perdamaian Aceh sejak saat itu. Berbagai negara yang sama-sama berada diberbagai belahan dunia, berduyun-duyun datang ke tanah ini untuk membantu, memberi apa yang kita butuhkanJalan, rumah, sekolah, tempat ibadah, semuanya. Terima kasih telah membantu kami di Aceh untuk tetap semangat untuk hidup.


Berbicara terkait lingkungan kerusakan hutan mulai terjadi pasca tsunami dan konflik di Aceh, sehingga dalam perjalanan pergantian hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Apa yang berubah dari Aceh? Saya yakin dan sadar, di semua lubuk hati orang Aceh maupun indonesia yang paling dalam, ingin melihat Aceh ini menjadi bagian dari negeri yang makmur dengan rakyatnya yang sejahtera. 

***

‘’Hutan adalah investasi kehidupan’’

Hamparan Hutan yang luas terbentang di Provinsi Aceh merupakan salah satu Paru-paru dunia yang harus tetap di lestarikan demi menghasilkan kebutuhan Oksigen semua mahluk hidup Bumi, di samping itu pula, Hutan juga menjadi sumber kehidupan bagi sekian besar masyarakat Aceh. Fenomena kelestarian hutan yang masih alami menjadikan Aceh sebagai daerah srategis penghasil karbon dunia yang harus tetap dijaga demi kelangsungan hidup manusia. Namun di balik itu semua banyak permasalah terkait Hutan Aceh yang tidak terlihat, sehingga tidak menutup kemungkinan jika tidak dijaga suatu saat hutan Paru-paru dunia ini akan rusak.

***

‘’Sejarah baru untuk kelestarian Alam’’

Pada 8 Januari 2014, dari lubuk hati yang terdalam, saya sedikit merasa senang mendengar keadilan akhirnya berpihak pada rakyat melaui pemerintah. Pasalnya Sejarah baru telah tertoreh di Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh. Setelah pengadilan Tinggi Melaboh tersebut memenangkan gugatan Pemerintah yang dalam hal itu diwakili KementerianLingkungan Hidup (KLH) terhadap Perusahaan Sawit PT Kallista Alam, terkait kasus kebakaran lahan di Rawa Tripa, Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.

 

Kesenangan tersebut di dasari oleh permasalahan yang saya rasa sangat kompleks secara turun temurun antara perusahaan dan masyarakat yang terkena dampak negatif Investasi Perusahaan Sawit. Hingga Investasi perusahaan Minyak tumbuhan tersebut semakin lama semakin menjamur hingga merambah hutan lindung KEL (Kawasan Ekosistem Lauser). Permasalahan yang paling parah terjadi di sana tidak hanya perambahan kawasan hutan, namun juga konflik sosial antara perusahan sawit dan masyarakat sekitar. Secara langsung Investasi yang di legalkan oleh pemerintah tersebut telah menghambat dan merusak mata pencarian masyarakat yang sangat bergantung pada Alam, yang harus kita sadari kondisi itu telah terjadi jauh sebelum perdamaian Aceh, banyak permasalahan yang lainnya menjadi PR yang harus diselesaikan selain pembakaran lahan yang dimenangkan pemerintah dalam hal ini adalah Kementrian Lingkungan Hidup maupun LSM dan masyarakat yang bersangkutan di dalamnya.

Siapa yang mau disalahkan..? Namun dasar pemasalahan sebenarnya ada di pihak Pemerintah Aceh selaku pemberi izin lahan bagi Perusahaan Sawit yang berinvestasi di wilayah masyarakatnya tersebut dengan cara tidak terlebih dahulu melakukan monitoring area lahan yang sebenarnya telah jadi pemungkiman masyarakat di area pembebasan tersebut, hingga mengakibatkan konflik yang berkepanjangan karena tidaj lagi memiliki lahan untuk bercocok tanam sebagai mata pencarian. 

Mereka adalah pribumi, tanah dari zaman nenek moyang mereka yang tanpa mereka sadari telah berpindah tangan kepada investor-investor kelapa sawit melalui HGU yang dikeluarkan pemerintah. Hingga perlawanan rakyat pun hingga hari ini terus terjadi  di sana. sangat menyedihkan melihatnya ‘’ melawan tapi tidak mampu melawan’’, begitulah ungkapan masyarakat di sana. 

***

‘’Sepotong kisah masyarakat kehilangan tanah dan hutannya’’


Sebagai renungan bersama yang terjadi disalah satu pemukiman masyarakat Desa kuala Semayam Nagan Raya terdapat satu permukiman yang kondisinya sangat memprihatinkan. Ketika Masa Konflik Di Aceh rumah mereka dibakar, dan tidak lama setelah itu, tsunami mempora-porandakan kampung lama mereka yang berlokasi di dekat pantai hingga sekarang menjadi lautan, pemerintah pada masa NGO Asing membangun pemungkiman rumah BRA (Badan Rekontruksi Aceh), yang di area yang jauh dari pantai yang bernama Kuala Seumayam kemudian di klaim oleh salah satu pihak perusahaan sawit merupakan tanah milik perusahaan melaui HGU (Hak Guna Usaha).

Di kampung Kuala Seumayam yang telah dibangun untuk merelokasikan sekitar 100 KK (kepala keluarga) setelah di tsunami melanda kampung mereka dahulu tersebut memiliki permasalahan yang tak kunjung selesai hingga sekarang,kehidupan masyarakat disanapun jauh dari kata kederhanaan hanya 1 rumah sekolah tingkat dasar sampai ke kelas 3 dan hanya di 1 guru berstatus honorer yang harus mengajar semua pelajaran, karena perkampungan tersebut terletak di daerah pelosok. 

Apakah mampu untuk kita bayangkan tingkat kualitas pendidikan di sana? Meskipun beberapa rumah bantuan rehap-rekontruksi pasca konflik yang dibangun BRR dengan material beton terlihat layak, namun, di balik itu semua mereka  menyimpan segudang rintihan yang tidak terdengar atau memang menutup telinga, mereka tidak miliki tanah hanya sebesar rumah yang di bangun boleh mereka pakaiYang menurut masyarakat di daerah itu sendiri telah mengadukan hal tersebut kepada DPRK serta DPR Aceh. Namun hingga sekarang tidak ada tindakan apa-apa oleh pemerintah, Seakan menutup mata serta telinga atas keluhan yang di sampaikan masyarakat tersebut.

  

Perdamainan Aceh hanya dongeng bagi mereka, meski kedamaian atas perang senjata telah usai namun kemerdekaan atas hak Warga Indonesia hingga saat ini belum juga mereka raih. Mereka masih berjuang demi kemerdekaan hidup ‘’ berjuang sampai mati’’ begitulah ungkapan salah satu warga setempat mengungkapkan perlawanan atas penjajahan hak-hak mereka. Keprihatinan atas Ketidak mampuan penjajahanekonomi  lama membelengu perut mereka. mata pencaharian yang di gantungkan dari mencari ikan limbek (sejenis lele) di rawa dengan perahu mesin kecil, yang juga digunakan sebagai alat transportasi menuju keperkampungan lainnya, kondisi itu juga telah membawa mereka pada keadaan yang terasingkan,dan mata pencarian yang dulunya didapat dari dari menanam palawija maupun padi kini tidak bisa mereka lakukan lagi,setelah lahan maupun tanah di wilayah tersebut dikuasai oleh perusahaan (PT. SPS) ditanami tanaman Sawit.


Di pemungkiman tersebut, masyarakat Kuala Seumayam tidak miliki sepetak tanahpun untuk bercocok tanamsampai halaman rumah milik mereka pun dipenuhi tegak barisan tanaman sawit milik perusahaan menertawai kondisi mereka. 


Ada satu hal lagi yang sangat membuat saya tersentak, serta seakan hati saya tergores hingga air mata berjujuran mendengar kesaksian masyarakat setempat, "kami tidak miliki tanah pemakaman di sini, setiap yang mati kami bawa ke samping laut, kampung kami dahulu untuk dimakamkan." Rintihan itu begitu miris bahkan untuk mati dengan tenang saja mereka tidak bisa. 


Lokasi pemakaman yang disebutkan salah seorang warga tersebut adalah tempat perkampungan mereka sebelum di relokasi pada masa konflik karena rumah mereka habis di bakar oknum pada masa tersebut. Kondisi perkampungan saat air pasang, daratan berubah menjadi lautan. Namun mereka meminta, "Jika tidak bisa dibebaskan 4 hektar lahan HGU untuk kami di tempat sekarang, kami hanya minta di pulangkan ke kampung dahulu," ujar salah seorang masyarakat dalam kondisi kampung tersebut yang sudah di filmkan oleh tim Aceh dokumenter.  

Merujuk dari film tersebut, meraka pernah meminta beberapa Hektar  tanah yang berada di depan rumah mereka , namun  mereka mengatakan perusahaan sawit yang memiliki hak atas tanah tersebut tidak mau memberikan sedikit tanah untuk mereka gunakan sebagai pemakaman warga yang meninggal.



‘’Pernah ada warga yang meninggal pada jam 5 sore, dan masyarkat dengan kepala desa menghadap perusahaan minta sedikit tanah untuk kuburan warga, namun tidak di berikan," ungkap mereka hingga jam 8  pagi mayat anak kecil yang meninggal karena sakit belum juga di kebumikan karena tidak tau mau kubur di mana. 


Hingga dikeadaan kepikiran akan mayat tersebut pada jam 10 masyarakat bersama keluarga mengambil kesimpulan untuk menguburnya di bekas desa mereka di tepi pantai. Dan akhirnya jasad anak tersebut dipangku kemudian dibawa menyusuri sungai dengan mengunakan perahu mesin kecil dengan menempuh perjalanan selama 2 jam. Begitulah kondisi masyarakat di Kuala Seumayam Kabupaten Nagan Raya, Aceh.

 

Dapatkah kita bayangkan pemilik tanah tak bertanah? Mereka tidak memiliki tanah saat hidup dan mereka juga tidak miliki tanah ketika mereka meninggal, sedangkan seluruh tanah nenek moyang mereka di daerah tersebut sudah di kuasai oleh perusahaaan-perusahaan sawit yang dilegalkan oleh pemerintah atas nama Investasi.

***

‘’Keuntungan Investasi sawit adalah Hutang hari ini yang harus dibayar pada masa depan ‘’

APAKAH salah dengan investasi? Tidak, tidak ada yang salah.Tapi, yang harus diingat bersama adalah bagaimana pembangunan menjadikan rakyat sebagai subjek dan tidak merusak sumber daya Alam sehingga dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya. Investasi seharusnya tidak melupakan kelestarian alam yang berkelanjutan sebagai warisan bagi Anak cucu kita.

Melihat karakter Alam Gambut Di wilayah Pantai Barat Aceh memang menyimpan sumber daya Alam yang mengiurkan Investor-investor untuk berinvestasi dengan cara mengeruk hasil bumi batu bara dari bawah maupun lahan yang potensial di atasnya. Namun Ironisnya, perusahaan- perusahaanlah yang sebenarnya penikmat dari investasi itu sebagai pemilik modal. Rakyat hanya sebagai penonton yang tergilas roda-roda mesin peusahaan yang mengeruk hasil Alam baik dari atas dan bawah perut buminya. sehingga konflik terus akan terjadi karena adanya kesenjangan ekonomi dari pendatang dan penetap yang bergantungkan hidup hanya dari sumber daya Alam.

Ketika hutan hilang menjadi sektor tumbuhan yang homogen yaitu kelapa Sawit, maka keseimbangan Alam akan hilang sehingga terjadinya berbagai bencana yang seperti sudah kita rasakan bersama. Ganggua Gajah Sumatra yang kehilangan Habitat akibat rumahnya (hutan) terus dirambah. Kepunahan species langka (Orang Utan) kebakaran hutan gambut yang menyebabkan polusi udara (asap kebakaran) hingga mencapai negara tetangga, kesulitan air maupun kekeringan yang akan terus diperparah kala kemarau dan banjir bandang saat intesitas hujan meninggi dibulan-bulan tertentukarena tidak adanya lagi vegetasi padat tanaman di hutan yang menahan laju air.

***

Pentingnya Hutan/lahan gambut demi kelangsungan hidup’’

 

Dari referensi Ahli, satu batang tumbuhan sawit  berumur 5 tahun akan menyerap air dari tanah sebesar 13 Liter/hari dan akan terus meningkat mengikuti pertumbuhannya. Dan sangat perlu diketahui juga bahwa hutan rawa berfungsi sebagai "spon" penyimpan air di bawahnya dan tumbuhan di atasnya menjadi penghambat evaporasi, ketika hutan/lahan sawit dikeringkan maka kebakaran akan mudah terjadi karena pada dasarnya lahan gambut merupakan endapan dari bagian-bagian kayu yang mengalami pelapukan, meski keasaman tanah cukup tinggi bagi tanaman karena pengaruh dari rendaman air di dalamnya, bila dikeringkan dengan mengorek parit-parit seperti yang di lakukan perusahaan sawit saat ini, lahan tersebut akan berubah jadi lahan yang mengandung unsur hara (makanan) cukup tinggi untuk tanaman yang mudah beradaptasi dengan kadar keasaman tanah yang tinggi seperti sawit. Namun di balik itu semua kebakaran hutan maupun ketersediaan air akan terus mengancam kelangsungan hidup manusia di masa depan.

Lahan gambut bukanlah lahan tidur yang tidak memiliki potensi keseimbangan hidup seperti layaknya hutan mineral yang di tumbuhi tanaman kompleks sebagai penghasil karbon.keseimbangan air dan udara bumi juga tergantung dari kelestarian ekosistem gambut, karakter lahan yang bergerak- gerak karena merupakan tumpukan sedimen dari timbunan pelampukan kayu tersebut membuat gambut sebagai danau di bawah tanah yang menampung jutaan ton kubik air, sehinggabila segaja di keringkan untuk di tanami tanaman seperti sawityang boros terhadap air, maka untuk kedepannya akan dirasakan kekeringan air di wilayah hutan gambut yang diakibatkan oleh kehilangan fungsi menampung air ketika hujan hingga air tersebut akan terus terbuang ke laut. 

Ketika gambut sudah di keringkan, maka akan terjadi kenaikan suhu udara akibat intesitas cahaya matahari yang tinggi menyinari di atas lahannya , hal tersebut mengakibatkan terpangangnya bahan organik berupa ilalang yang maupun dau-daunan yang sudah mengering diatas lahan hingga terpicunya pembakaran di atas lahan gambut.

 

Kebakaran hutan gambut yang sangat meresahkan hingga asap tebal kebakaran menyebabkan tercemarnya kualitas udara  dapat di cegah dengan menerapkan regulasi plot tempat-tempat yang boleh di pemafaakan di lihat dari kedalaman gambut, meski dari  peraturaan presiden telah diatur mengenai larangan pengelolaan hutan gambut dengan tingkat ke dalamannya namun kondisi dilapangan jauh berbeda. Begitulah penerapannya yang terjadi di provinsi Aceh. Banyak perusahaan yang terus mengeksplorasi lahan gambut hingga kawasan hutan lindung.

***

‘’Solusi dan logika berfikir kenapa pentingnya menjaga hutan tetap seimbang dengan investasi dan keberlangsungan hidup manusia di masa depan’’ 


Tidak dipungkiri investasi  kelapa sawit memang menjanjikan baik bagi perusahaan maupun masyarakat sendiri tanpa resiko tinggi pada investasi dan biaya produksi serta perawatan yang merepotkan, namun resiko sebenarnya akan di tanggung puluhan tahun ke depan oleh anak cucu kita. Sebagai contoh logika yang sering saya ungkapkan pada masyarakat adalah ‘’Air mengalir dari hilir ke hulu’’. Dan vegetasi tumbuhan (hutan) berfungsi sebagai penyimpan air dan penghambat laju air di bawah tanah yang terus mengalir ke laut. Jika Hutan terus di rambah demi meraup uang. Tidak menutup kemungkinan suatu hari air akan terus berkurang maupun kekeringan di sedot oleh populasi tanaman sawit mengatikan vegatasi alami hutan yang hari ini kita tanam secara besar-besaran. serta lahan gambut tidak lagi berfungsi sebagai penyimpan air telah kita keringkan sebagai drainase pada perkebunan sawit. 


***

‘’Stop Penanaman Sawit di Hulu Sumber Air’’

 

Maka jika tidak selain kesulitan air, suatu hari nanti tidak menuntup kemungkinan lahan gambut akan terbakar tak terpadamkan. Karena api akan terus membakar sampai ke dalam beberapa meter kelapisan sedimen organik berupa kayu menumpuk di lahan gambut tersebut, hingga sungai akan mengering, masyarakat akan kesulitan air bersih karena sumur-sumur dan air tanah telah tercemar limbah dari minyak sawit maupun tersedot oleh tanaman. Tentu saat itu datang masyarakat akan membeli air bersih untuk konsumsi sehari-hari. Jika keuntungan yang didapat dalam 1 hektar /bulan dari tanaman sawit dimisalkan sebanyak 5 juta rupiah. Maka berapakah uang yang akan kita keluarkan lagi nanti untuk membeli air yang ghari ini tidak kita pedulikan sumbernya.? sekarang saja untuk 1 liter/perbotol harga air bersih merek terkenal yang bejargon "langsung dari mata air pengunungan’’ yang beredar dalam masyarakat  tersebut seharga Rp. 5000/ botol di enceran provinsi Acehhampir menyamai (BBM) bukan?Mari banyangkan beberapa puluh tahun kedepan ketika dampak dari kerusakan lingkungan berupa kekeringan semakin nyata, maka berapa uang yang anda dapat dari Investasi kelapa sawit hari ini akan kembali anda pakai untuk membayar harga air yang anda pakai di masa depan.

Sebelum terlambat, maka mari proteksi investasi perusahaan yang terus merambah hutan dengan tidak membatasi izin HGU baru maupun perpanjangan izin terhadap lahan serta memngharuskan perusahaan melakukan reboisasi untuk area lahan yang telah dipakainya dengan sistem saling menguntungkan antara manusia dan alam tersebut dapat menjaga keberlangsungan hutan sebagai sebenar-benarnya investasi kehidupan. 

***


‘’Hutan tidak tumbuh dalam sehari’’

begitulah ungkapan yang harus kita pahami, sebagai salah satu dari mahluk hidup yang berada di atas rantai makanan kehidupan. Ketika benih tak lagi tumbuh, air tak lagi  bersih dan mengalir dan udara tidak lagi segarTiada yang lebih patut untuk di salahkan selain diri kita (manusia). Kemampuan pikiran yang melebihkan kita dari hewan seharusnya menjadikan kitasebagai pemelihara tehadap mahluk hidup lainnya. harus kita akui bukan..?kehidupan modern mengeser kita dari mahluk sosial menjadi mahluk individual sehingga umur yang tak begitu panjang ini memaksa kita terus mendapatkan apa yang di inginkan bukan lagi kebutuhan hingga kompetisi terhadap keinginan (kemewahan) terdotrin pada pola gaya hidup manusia membuat kita dalam keserakahan. Sehingga tidak lagi memandang yang hidup di bumi bukan hanya kita yang membutuhkan makan. Yang tidak kalah lebih pentingnya untuk disadari, tumbuhan (pohon) yang kita tebang memberi kehidupan bagi kita, lalu apakah kehidupan kita memberi kehidupan juga bagi mereka..? layaknya konsep pluktualmutualisme (saling menguntungkan).


***

 

"Hari ini itu dimulai jauh sebelumnya, dan Nasip masa depan, di mulai dari hari ini’’ Sesungguhnya kehacuran bumi itu kita sendiri yang melakukannya. Hingga hari ini meski tahu. Masihkah kita memilih tidak sadar akan warisan terpenting itu bukan uang dari pohon yang kita tebang, air yang kita cemari dengan merkuri, udara yang racuni dengan pembakaran lahanmaupun polusi dari kendaraan atas nama kebutuhan maupun gaya hidupJika cita-cita tiap generasi adalah kebahagian maka patutlah kebahagian itu juga kita bagi untuk generasi anak cucu kita nantinya. Mulailah menjaga dari masing-masing, menanam pohon walaupun satu batang setiap bulannya karena tidak waktu yang tepat untuk menanam pohon selain dimulai hari ini.