Senin, 12 Juni 2017

Perempuan

PEREMPUAN. Malam ini, dekap aku kuat-kuat. Tiga ratus gelas air mata sudah ku tengak selama sembilan ratus lima puluh hari. Tidak, jangan kasihani, berusaha saja gelas itu tidak lagi terisi.

Bulan tidak ada malam ini. Kemayu wajahmu telah menumpahkan sekuali benci yang telah lama ku racik untuk meracuni kaummu, bagimana bisa kau hadir secara sukarela untukku patahkan sepatah-patahnya? Apa yang terjadi? Kedua matamu terasa sejuk mengelus wajahku yang sedang marah.

Memang kau tidak pernah ku hiraukan, sejak delapan penjuru mata angin ku telusuri pun , selalu kau bilang: pulanglah setelah kau temui apa yang kau cari, walaupun dalam keadaan compang-camping, pulanglah, aku menunggumu, biarkan aku merawatmu baik-baik. Kata-katamu ku biarkan bersayap. Rupanya kau menunggu. Kau perempuan padi yang tabah.

Kau tau, aku selalu pulang dalam gelap gulita, dalam kumpulan asap yang mencemarimu, tetap saja kau bilang lebih rela dari air sungai yang berakhir di selokan, tetap saja kesahajaanmu memekarkan Teratai-teratai yang menari malas diselingkaran kubangan kerbau rumahmu. 

Angin terus berdatangan mengelus jilbab merah mudamu yang  dilingkari renda bunga Melati. Bagiku, wajahmu menjadi bulan bercahaya biru malam ini, Kau dekap aku dengan baik, ku dekap engkau dengan erat. 

(Untukmu, Perempuan Padi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar