Jumat, 20 Maret 2015

Cerita : Nasehat "Jangan Mabuk" Dari Pemabuk.

NASEHAT. Malam kian larut, cahaya purnama mendesak masuk dari rimbun tajuk pohon yang lebat menutupi batang sungai di sebuah tempat yang tersembunyi. Kami menyebutnya tempat "rahasia". Jauh dari kebisingan dan hiruk-pikuk sombongnya kota.
Tempatnya memang agak terpencil, namun hanya 20 menit dari pusat kota Banda Aceh. Tidak ada Listrik disana, penerangan hanya mengandalkan rambatan cahaya jilatan api dari kaleng bersumbu yang diisi minyak bumi.


Tempatnya terletak di sebuah lembah perbukitan yang berstatus Hutan Industri (HTI) sejak tahun 1992 pada era Orde Baru masa rezim Presiden Suharto. Sampai saat ini, izin penguasaan lahan yang dihampar oleh pohon Akasia dan Epcuaplytus itu di pegang oleh PT. Aceh Indrapuri Nusa.
Disana terdapat sebuah rumah khas Aceh milik seorang sahabat yang saya hormati dengan panggilan abang. Rumah panggung itu berkontruksi kayu dengan 2 kamar di dalamnya. Di sebelah Barat, terdapat kebun yang di tanami Pepaya dan Cabai merah yang kini kondisinya terlihat merana di terpa panasnya cuaca bukit berbatuan pada siang hari. Tapi cukup dingin saat malam.
Sedangkan, disebelah Selatan ada sungai yang tidak begitu besar. Lebarnya hanya 3 meter. Laju airnya lambat, karena segaja di bendung dengan batu yang di susun berbaris dengan bagian tengahnya di biarkan sedikit terbuka agar air dapat meluncur hingga mengeluarkan irama simphony gemerincik yang menenangkan.
Setiap libur maupun saat lelah diterjang berbagai permasalahan di "dunia manusia" (begitu kami menyebutnya di sana) Saya selalu mendamparkan diri di tempat itu.
Seperti malam berbulan purnama minggu kemarin, tidak hanya saya, ada 2 lagi selain saya dan pemilik rumah yang mempunyai rambut lurus panjang se-dada berkumpul tanpa segaja di sana, satu berbadan tegap dan berisi, satu lagi berbadan kurus berwajah tirus. sebenarnya mereka adalah senior yang sangat saya kenal dekat di sebuah peguruan tinggi negeri ternama di Aceh. Kami duduk bercengkrama di lesehan bawah rumah Aceh itu. Di tengah kami terhidang seteko "Ie Jok masam" kami menyebutnya dalam bahasa Aceh, atau air Aren yang suda di asamkan dengan cara fregmentasi. Tentu membuat badan sempoyongan setelah meminumnya.
Dari dulu, Saya tidak suka menengak air berdosis dengan efek samping menghilang kesadaran maupun berganja ria, walupun "Aceh tanah ganja" kata orang, tapi saya sama sekali tidak suka menghisapnya. Karena itu, saya diberikan air aren yang rasanya manis. Air itu baru di tadah tadi sore, sengaja ditampung berbeda tanpa racikan akar Rumput maupun buah Pinang muda kata mereka.
Mereka menyerumput pelan-pelan batok kelapa yang mereka buat menjadi tempat minum, sehabis di tenggak habis, batok kembali di isinya. Kami bercerita banyak setelah lama tidak berjumpa, tentang apa saja yang bisa membuat kami menertawakan diri sendiri.
Dua teko sudah habis di minum dan kembali terisi, air aren itu hasil dari dua pohon yang tumbuh subur di pagar rumah tepi sungai. Karena itu airnya selalu tersedia disini.
Sadar malam kian larut, saya beranjak tinggalkan mereka untuk menunaikan shalat Isya. Usai shalat, saat sedang menuruni 5 anak tangga dari rumah yang berpostur tinggi itu, seorang yang berbadan sedikit kurus berlari sempoyongan menuju sungai. Saya menyusul di belakangnya. Mulutnya memuntahkan seluruh isi perut yang baru di isi nasi dan kuah Sop Daging yang dimakannya tidak lama sebelum meneguk air Aren itu.
Usai muntah yang pertama, dia terduduk di atas tanah pinggir sungai dengan kepala tertunduk di atas kedua tangan yang di silang di atas lutut. Badanya gempar, dadanya kembang-kempis menghirup udara. Dia diam, saya juga diam sambil terus mengusap punggung, kuduk hingga kepala dan wajah dengan air sungai. Tidak ada komunikasi, terus begitu sampai terasa lama.
Walaupun tidak pernah merasakan bagaimana "Mabuk", tapi saya sudah terbiasa menghadapi kondisi seperti ini, kehidupan di tanah ganja membuat saya paham cara mengatasi kawan-kawan yang hilang kesadaranya.
Setelah tangan merasa letih mengusuk badanya, saya menyudahi dan memilih duduk di atas batu besar di depanya sebelah samping kanan. Disana sangat gelap meski purnama dilangit. saya ajak dia beranjak kembali kerumah, namun dia tidak menjawab dan terus tekun menuduk sejak tadi. Saya menatap ke segala sungai untuk memastikan tidak ada mahluk liar seperti ular dari balik semak dan rimbun pepohonan disini.
Saya tetap duduk menemani dia yang terus kentut dan muntah-muntah, saat itu terjadi, saya kembali mengusuknya sesekali, dan tiba-tiba dia bertanya lantang.

"Rahmat, apa kamu sudah suka mabuk sekarang ya?"

"Tidak, saya masih sama seperti dulu, saya tidak suka mabuk," kata saya beriringan dengan sedikit tawa atas pembicaraan yang terasa intim.

"Jangan rahmat..jangan pernah mabuk, awas kalau aku lihat kau mabuk, aku benam kau dalam air."
"Iya..iya, tenang saja," jawab saya sambil tersenyum memandangnya yang duduk sempoyongan tapi menesahati seakan sedang sangat sadar.

Dalam labirin tajuk pohon sungai itu, suara jangkrik dan hewan malam lainya mulai terdengar seirama dengan dalam okestra tengah malam. dan kemudian Dia kembali berbicara setelah sekian detik membisu.

"Mabuk itu tidak baik rahmat, jangan ikuti saya, ini hanya pelarian saya saja pada malam ini."

Meskipun menangapinya dengan tertawa, saya sempat tertegun beberapa saat dan kemudian serius membatin saat kembali mengusap punggungnya, "dari dulu, kamu selalu menasehatiku dengan baik,meski dalam keadaanmu yang buruk, seharusnya kamu berlari ke keadaan yang membuatmu lebih baik, bukan seperti ini..!"

Melihat kondisi tidak juga membaik, saya berkata akan meninggalkannya disitu beberapa saat untuk mengambil segelas air putih untuknya. Kepada yang Dua Orang yang masih berada dalam kondisi sadar, saya mengatakan kondisi yang satu itu.

Hingga akhirnya, mereka datang membawanya dengan cara paksa karena dia juga tidak mau walau sudah lama di rayu. Kami tidak berani menaikannya ke rumah, karena tangga yang cukup tinggi sangat berbahaya untuk di naiki sambil mengedongnya.

Tidak berfikir lama, kami letangkan dia di atas tanah beralas kasur busa di samping lesehan tempat kami duduk. Selain mudah melihat keadaanya, dia juga tetap merasa hangat karena perapian di bawah kami.

Bajunya kami buka. Tali pingang kami kendorkan agar perutnya terasa bebas. Setelah memastikan membuatnya merasa nyaman, kami kembali duduk dan kembali menatap sosok terbujur pasrah itu dengan tawa semena-mena.

Di balik itu semua, saya mengenalnya dengan salah satu sosok orang terbaik yang pernah menasehati saya untuk jangan pernah meneguk air dan menghisap ganja seperti mereka. Dia selalu tulus menasehati dalam sadar maupun setengah sadarnya.

Meski saya tidak pernah tau kenapa dia berlari.
Sejak malam itu, ku catat dia sebagai "sahabat terhebat". Sahabat yang tetap mengatakan kebenaran walau yang di lakukannya itu salah. Sahabat yang berani mengaku salah saat yang di kerjakannya salah.

Dia tidak seperti kebanyakan pecandu yang bangga dalam kecanduan, yang hidup mereka sudah di atur oleh kecanduan hingga tubuh tidak lagi bisa di aturnya. Mereka yang suka mencari celah pembenaran dari suatu yang buruk dengan berbagai cara, hingga mereka punya alasan untuk membela dengan penuh keyakinan dari berbagai sudut mafaat bagi manusia. Namun pada dasarnya mereka tetap mengambil kenikmatan mabuk sebagai mafaatnya.
Setelah nasehat malam itu, saya sering tertawa mengingat nasehat "jangan mabuk" dari orang yang sedang mabuk tidak berdaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar