Kamis, 19 Maret 2015

Badai Februari

Badai Februari selalu Dasyat. saya selalu remuk di bantainya. Isi kepala berhamburan entah kemana? Tapi saya hidup, masih berjalan dalam daya yang semakin meredup.

Ini minggu ketiga dipersembunyian, Februari sudah reda, namun berganti nama Maret yang panas. Daun-daun luruh dari batang, kali ini tiada tempat lagi untuk berteduh sembuh.



Saya berusaha memanggil satu nama dari langit, suatu nama yang memiliki awalan nama "Maha". Saya rasa dia mendengar, saya rasa dia datang bersama angin yang menghapus keringat.
Saya memang tidak ingin bicara, cukup dia ada. Karena masih saya pegang kata-katanya, " aku tidak akan memberi ujian di luar kemampuannya." maka saya terus menyeret langkah dan diam hingga dia berkata, "kamu selesai."
Kala badai tanggal 22 datang, tameng berterbangan. Hujan turun. Daratan banjir. Saya melihat sesosok wajah yang akrab di langit, yang sebahagian jiwanya tinggal di bumi, tapi mengharap secepatnya menyatu di langit.
Dia lebih banjir, seumur hidup akan terendam dalam kuasa yang tidak dia miliki, dengan cahaya tuhan, dia masih melawan untuk tidak melangar ketetapan nyawa di langit dan di bumi.
Akhirnya saya menjadi tidak seberapa di
bandingkan wanita muda yang berbaris paling depan menghadapi badai itu. Pilihannya hanya bangkit, atau menunggu mati pelan-pelan di badai yang berganti nama selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar