Sabtu, 31 Januari 2015

Sepotong Kisah Perjalanan Perang Aceh dari Abu Chek (1)


abu chek

Aceh Besar- Namanya aslinya adalah yahya (89), lahir pada tahun 1936 pada masa Penjajahan Belanda, ia merupakan warga Lamreh Kecamatan Ingin Jaya Aceh Besar yang juga termasuk salah satu saksi sejarah yang masih hidup, dari dirinya lah saya mendapatkan cerita tentang perjalanan perjuangan  heroik masyarakat Aceh dalam membantu meraih kemerdekaan indonesia.





Dalam masyarakatnya, dirinya dikenal dengan pangilan Abu Chek yang bermakna pangilan untuk seorang anak kepada ab dari Ayahnya. Ia  juga di kenal sebagai seorang pengusaha pabrik pengilingan beras di wilayah tersebut, usaha itu sendiri ceritanya, di rintisnya setelah perjuangan DII/TII reda dan akhirnya dirinya memilih menjadi pengusaha.

Ia menceritakan, dulu sempat menjadi seorang tentara menuntut Masa Perang DI/TII dan juga merasakan penjajahan semasa Belanda dan juga masa Jepang, hingga akhirnya jepang menyerah setelah mencoba menjajah indonesia selama 3 tahun akibat serangan Bom Atom 6 Agustus 1945 di hiroshima dan 9 Agustus di nagasaki oleh Amerika serikat, hingga kemudian, Belanda kembali datang untuk berusaha menjajah Indonesia kembali, dari situlah  Abu Chek mulai ceritanya.

Wajahnya yang kian nampak layu di makan usia, namun ingatannya masih tergolong kuat dalam menyimpan banyak cerita dan kisah Sejarah Aceh tempo dulu yang terus di ceritakan pada anak-anak cucunya.

"Bah di awak aneuk cucoe lon ngon gata syit beu ta teupe kiban awak kamoe jameun meu’peuteun maruah bangsa, (agar generasi nanti selalu ingat bagaimana kakek neneknya dengan seluruh jiwa raga menjaga  maru’ah Aceh)," ucap Abu Chek dengan suara tegas bercampur tatapan mata yang nanar, sepertinya, jiwa pejuang itu kembali bangkit dari tidur panjang.

Abu chek merasa banyak kisah tentang Aceh yang tidak terpedulikan hingga Aceh sekarang kehilangan jati diri, "Geu tanyoe ka tan le ta susoe droe , gara-gara nyan mangat tha’t di pe langue le gop, (kita tidak lagi tau siapa diri kita hari ini, hingga Aceh mudah di pecah belah orang luar)," ujar pria memakai kaos berkerah saat di temui di tokonya seputaran lambaro Aceh Besar.

Dulu saat masih kecil, kakek dan neneknya memang sengaja menceritakan sejarah Aceh dan kejadian yang sedang terjadi, agar sejarah terus mengalir, terus pada generasi ke depan agar tidak hilang, "Perjuangan kami mulai dengan harapan kemulian di sisi Allah bukan untuk uang dan kekuasaan, " ujarnya seakan sedang mengkritik penguasa sebuah masa.

Namun sekarang, ungkapnya,  banyak sejarah yang di lupakan sehingga dirinya melihat Aceh sudah tidak lagi memiliki nilai luhur dari berbagai segi kehidupan sehari-hari serta perjuangan jauh berbeda dengan masa nenek dan dirinya ketika muda dulu.

"Di awak jamuen di pegah bak u’ ya bak u’ hana le menganto bak pineung’," ucapnya dengan bahasa Aceh dengan nada yang mengema ke seisi ke Empat sudut panjang ruangan toko beras miliknya,  kata tersebut mempunyai arti  ( orang dahulu kalau sudah dikatakan dari mulutnya pohon kelapa ya pohon kelapa, tidak akan ditukar lagi nanti menjadi pohon pinang).

Mengawali ceritanya  tentang sejarah Aceh, ia juga menceritakan bagaimana dahulu masyarakat Aceh melawan Penjajah Belanda hingga Presiden Sukarno memberikan gelar pada Aceh sebagai daerah modal.

Pada masa itu, Sukarno datang menjumpai ulama-ulama Aceh, untuk meminta bantuan agar rakyat Aceh membantu kemerdekaan Indonesia dengan membantu melawan Belanda di Brandan Medan yang telah di kuasai oleh Belanda, "Dulu kami menyebutnya dalam bahasa Aceh Jak U’ Front, (Pergi Ke Brandan untuk berperang)."

Abu Chek terus menceritakan, pada saat itu seluruh masyarakat Aceh bahu membahu untuk membantu membebaskan Tanjung Brandan hingga Binjai dan Medan dari kekuasaan Belanda yang sudah mengklaim bahwa Indonesia sudah terjajah. Ia juga mengatakan hanya Aceh yang terus memberikan perlawanan hingga Aceh di Akui belanda sebagai satu-satunya daerah yang belum terjajah.

Di Pasar Lambaro Aceh Besar yang kini sudah menjadi Pasar Induk, dulunya adalah stasiun Kereta Api yang di bangun Belanda, "Saya melihat ribuan orang tua dan muda berbaris memangku Senapan , Parang dan juga Meriam yang memiliki roda, sedang dinaikan ke Kereta Api, ramai sekali tentara kita," ceritanya penuh semangat.  sangking ramainya kata Abu lagi, "Sampai semuanya terangkut hingga sebahagian besar harus  berjalan kaki menuju (front )." Sebutan daerah Brandan di medan sumatera Utara pada masa itu.

"Begitulah.. semangat juang mengusir kafir penjajah waktu itu."

Saat itu dirinya  masih kecil , Abu Chek tidak ikut dalam berperang tapi dirinya menceritakan ikut memberi bekal yang dari rumahnya dari Desa Lubuk, dengan memangkul beras dan makanan lainnya di atas kepala menuju Kereta Api yang akan membawa perbekalan dan sebahagian tentara," Semua masyarakat membantu dengan apa yang mereka bisa, baik beras maupun walau hanya dengan satu telor saja," begitu mulia lah perjuangan dulu kata abu cheuk hingga seluruh  masyarakat ikut membantu .

Ketika di tanyakan tentang Tentara yang berjalan kaki tersebut, katanya, mereka berjalan melewati hutan karena belum ada jalan seperti sekarang hingga sampai ke Langsa Aceh Timur baru mereka dikembali di angkut dengan mengunakan kereta Api menuju Front.

Kisah perjalanan itu, ia dengar dari kakenya yang juga ikut menjadi pejuang setelah pulang dengan kemenangan berhasil mengalahkan Belanda di Brandan dan Binjai, begitu perkasanya orang Aceh dahulu kata Abu cheuk yang juga tidak luput dari slogan perang Fisabilillah dan juga Hikayat Prang sabil yang selalu di bacakan di pengajian tempo dulu, seakan tertanam dalam di setiap jiwa rakyat Aceh.

"Pada masa itu siapapun yang mendengar hikayat prang sabil, apakah dia hanya berlima saja tetap terus berangkat menenteng pedang untuk ikut berperang, begitu teguhlah iman orang dahulu," tegasnya.

Mata dan mimik wajahnya kini nampak bersemangat, saat dia teringat pada sebuah nasehat seorang Panglima Perang menuju Front. Panglima perang yang mempunyai nama Muzakir Lam Ilie tersebut meninggalkan nasehat yang kuat melekat di ingatnya hingga sekarang.

Panglima tersebut mengatakan padanya saat dirinya dan anak-anak yang lain sedang beramai-ramai menyambut kepulangan sekaligus kemenangan pasukan yangkembali hampir sama banyak ketika mereka pergi.

" Di gata muda penjara ke rumoh, Rincong ke makanan, (Kalian muda, penjara sebagai rumah, Rencong sebagai makanan)," ujarnya di ikuti tunjuk gerak kedua tangan yang mengisyaratkan ketegasan dari kata tersebut kepada saat itu. 

Di luar, Matahari terasa terik.  Secara tiba-tiba sosok laki-laki tua berkulit sawo matang  tersebut tertegun diam, seakan suasana bising dan sibuknya pasar sentral Aceh Besar serta riuh lalu lalang kendaraan di depan tokonya tersebut, ikut hening dan tersedot dalam masa lalu dirinya yang tergambar jelas dari kerut keningnya. 

Dia terus diam selama 3 menit tanpa bergeming, seakan sedang mengingat masa kecilnya di pasar yang kental dengan goresan sejarah di kepalanya. Usai diam dalam keheningan, Kemudian Abu kembali bercerita, Selain membeli pesawat, karena perjuangan di Frontlah Aceh ikut memerdekakan Indonesia. Hingga Aceh di berikan gelar sebagai daerah Modal, namun meski pun kita di beri nama daerah modal di Indonesia. "Tapi kita tidak punya modal apa-apa dalam perekonomian pendidikan, serta dalam pemerintahan."


Pada masa itu, para Ulama – ulama Aceh pernah mengatakan pada Abu Daud Beureu’eh pada tahun 1947 sebelum menjabat sebagai gebernur yang pemerintahannya di pindah ke Medan Sumatera Utara dan Aceh berstatus  Resident yang di jabat oleh Abu Razak. Aceh dulu belum ada gebernur, tapi istilah dulu KMK (komando militer)." 

Saat itu ulama mengajak  Daud beureu’eh untuk menjadikan Aceh berdiri sendiri sebagai negara seperti Kerajaan Sultan Iskandar Muda, "Begini katanya," tirunya ucapan ulama tersebut, "Hai Mad Daud, bak manteng ubet, jak tanyoe ta dong keudroe,( Hai mad daud, pohon masih kecil, mari kita berdiri sendiri)." Pangilan Mad Daud itu sendiri merupakan sapaan Tengku krueng kalee sebagai guru kepada muridnya Daud Beureuh.

Namun menurutnya lagi, berdasarkan berita yang beredar dari mulut ke mulut masa itu, Daud Beureuh tidak mau mengikuti saran serta ajakan gurunya tersebut karena dirinya akan diberi jabatan sebagai gebernur di Sumatera utara. 

Melihat ketidak-mauanya, ulama tidak lagi mendesak hal tersebut, walau sebelumnya mereka sudah mendesaknya berulang kali agar daerah Aceh didirikan menjadi negara sediri saat itu. Begitulah cerita Abu Chek bagaimana Aceh mendapatkan Gelar Daerah Modal Oleh Presiden Sukarno. 

Meskipun begitu, Cerita Abu chek tidak berakhir sampai di situ saja, ceritanya berlanjut hingga bagaimana Aceh mendapatkan gelar daerah Istimewa melalui pergerakan DI/TII yang ceritanya semakin bergejolak mengambarkan semangat mudanya, Meski tubuhnya menyatakan sebaliknya.

Semangat cerita membara tersebut akhirnya juga ikut ia bokar pada saya, bahwa dirinya sendiri merupakan pelaku sejarah yang merupakan seorang tentara DI/TII yang bermarkas atau Kompi di Gle Inim Aceh besar, tepatnya di dekat kuburan tengku Gle Inim.

Bersambung...! http://pujanggamagang.blogspot.com/2015/02/yahyaabu-chek-usai-cerita-abu-chek.html

Penulis, Rahmat Hidayat. (23/8/2013), Lambaro, Aceh Besar. 
Tulisan ini pernah di muat di http://atjehlink.com/sepotong-sejarah-aceh-dari-abu-chek/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar