Jumat, 25 Desember 2015

Kisah Tsunami Daniel "Antara Hidup Dan Mati".

Banda Aceh- Saat mengenang kejadian disitulah muncul kerinduan, mungkin, kata itu yang lebih tepat untuk mengambarkan kesedihan dan kerinduan Daniel Amrizal pada keluarga yang meninggal Dalam musibah bencana Tsunami  pada 24 Desember 2004 di Aceh.

Bencana gempa yang diikuti oleh gelombang tsunami 10 tahun lalu menerjang kampung halaman Daniel di tepian sungai Aceh yang terletak tidak telalu jauh dari pesisir pantai di wilayah Peulangahan, Kecamatan Kutaraja Banda Aceh.

Gelombang dasyat tersebut,Tidak hanya meluluhlantahkan infrasruktur desanya menjadi hamparan tanah kosong, namun mengakibatkan ribuan korban jiwa meninggal pada hari itu. Menurut catatan kementerian Sosial sebanyak 105. 2620 orang meninggal dalam tsunami,dengan itu bisa dikatakan 5 orang diantara korban tersebut adalah keluarga Daniel yang tidak selamat dan tidak diketahui dimana jenazahnya.


Mengenang masa lalu pahit tersebut,ungkap Daniel saat ditemui didepan rumahnya( 1/12/2014), menimbulkan dilema pada dirinya. ''Antara rindu dan sedih,'' ucap lelaki  berumur 30 tahun.


Namun, menceritakan hal ini membuatnya dapat membagikan ketegaran pada orang lain, yang dirasa tidak hanya dirinya yang mengalami hal yang menyedihkan tersebut. ''Saya senang ada yang mendengar kisah saya, tapi saya juga merasa malas untuk mengingatnya,'' katanya sambil melempar senyum tipis.

Pagi itu, sebelum tsunami menjulang tinggi mencapai  10 meter mengulung dirinya, keluarga dan apapun yang di lewatinya, Daniel mengatakan bahwa dirinya masih teringat jelas suasana dirumahnya. ''Saya masih ingat wajah cantik ibu membangunkan saya waktu pagi sebelum gempa.''  saat itu keluarganya semuanya berada di rumah.

Waktu itu, Daniel baru masuk kuliah di Fakultas Pertanian Unsyiah Banda Aceh, meskipun tergolong dewasa, dia masih merasa sama seperti anak-anak kecil lainnya di kampung. Hari minggu adalah hari kemerdekaan dihidupnya, karena hari libur dapat dimafaatkanya sesuka hati,  

''Saya punya empat saudara laki-laki, dan satu perempuan, jadi agak sedikit Bandel suka berenang dan mancing di krueng Aceh,'' ceritanya sambil diikuti gelak tawa mengingat kenangan menikmati  hari-hari bersama saudaranya yang kini telah tiada.

Kejadian itu, sekitar jam 7:30 pagi, saat itu gempa  yang berkekuatan  9,6 sekala ricter mengucang tanah hingga sangat sulit  untuk berdiri tegak ujar daniel, dan  gempa tersebut mengakibatkan bunyi retakan semua rumah warga yang  berkontruksi beton  semua orang terlihat mengucap asma Allah tidak berhenti mengumandangkan azan yang terus mengema bercampur jeritan warga yang berlarian keluar rumah disaat gempa sekitar 2 menit mengoyang tanah dengan hebat. 

''Semua panik,orang-orang lari bertebaran, sambil berucap, Allahhu Akbar, Allahhu Akbar'' kata Daniel dengan  mata mulai terlihat berbinar, berkaca-kaca di wajahnya mengingat kejadian yang merengut orang-orang yang di kasihinya. 

"Daniel, daniell, " teriak ibunya menyuruhnya lari keluar rumah.

Setelah beberapa menit, gempa yang datang berkali-kali tersebut berhenti, suasana kembali tenang,dirinya bersama keluargapun berbincang-bicang membicarakan rumah maupun gedung swalayan bertingkat tiga yang berada di Simpang Lima Banda Aceh telah runtuh rata dengan tanah.

Meskipun begitu masih terasa kepanikan, tapi suasana kampung kembali seperti biasa tidak ada dugaan akan air laut akan menerjang kampung, walaupun rasa was-was masih terlihat di wajah keluarga dan  warga lainnya yang saling bercengkrama seputar gempa yang baru saja terjadi,

Dengan mengendarai sepeda motor, dirinya bersama seorang abang yang berusia di atasnya,  berniat berangkat ke kedai kopi milik keluarganya yang terpaut jarak 200 meter dari rumahnya, tepatnya ditepian tanggul krueng Aceh simpang keudah. Namun, ketika hendak ingin keluar dari pagar rumah, tiba-tiba teriakan "Air naik..air naikk" dari orang-orang yang terus berlarian ke jalanan membuat dirinya dan abangnya berhenti dan merasa binggung akan teriakan yang tidak di ketahui bagaimana air naik yang di maksud itu.

"Saya kebingungan, kok orang pada lari sambil, meneriakan air naik, air naik,’’ ucapnya tidak terbayangkan bila itu adalah air tsunami yang menjulang tinggi

"Waktu saya menoleh ke belakang, baru  saya melihat air datang begitu cepat berwarna hitam kelam dan menyapu orang-orang yang berlarian, saya langsung berlari dan naik ke atas salah satu tembok rumah warga setempat setinggi satu meter setengah.Namun temboknya terhempas  bersama saya karena kencang hantamannya,'' ujar Daniel sambil terus bercerita dengan wajah yang seakan mengambarkan kepanikan ketika itu.

dia lanjut berceritabagaimana tubuhnya merasa seperti ditarik- tarik arus kesana kemari, "Tubuh saya terasa terjepit di dalam gulungan air yang itam sekali kira-kira selama 15  menit berada dalam air tsunami," katanya penuh kesedihan menceritakan kondisi dalam air,antara hidup dan mati.

Di dalam gemulan antara puing-puing di dalam air antara hidup dan mati katanya dia berusaha untuk mengambil nafas tanpa tau memikirkan apa dan merasa ini akhir hidupnya. tidak berapa lama akhirnya dia dapat berpegangang pada seng atap rumah yang mengambang dan terus di bawa arus gelombang.

Dia terus berpegangan hingga arus air kembali tenang, dan dia memandang kesemua arah, namun kemanapun matanya melihat semuanya seakan jadi perairan dengan puing-puing rumah yang melintas terbawa arus di depannya. "Saya terbawa dari pelangahan sampai ke depan hotel cakradonya." Sebuah hotel yang terletak di sebrang sungai dari kampungya.

''Banyak sekali mayat dan suara rintihan orang yang kesakitan namun dia tidak bisa berbuat apa-apa,'' ujarnya seraya tangisan pecah dimatanya, walaupun sejak bercerita tadi dia berusaha menyembunyikan air mata itu
Ketika melihat banyak manusia yang bergelintangan di puing-puing rumah yang hancur serta tercepit kayu.

"Saya menangis melihatnya , saya teringat keluarga."

Dengan kondisi pelipis mata sobek terkena puingan dan seluruh badan penuh sayatan saat dihempas arus tsunami, akhirnya sekitar jam 11 daniel berjalan ke rumah sakit kesdam (rumah sakit militer) didaerah kuta Alam yang tidak jauh dari tempat dia terbawa arus. "Di sana saya melihat banyak orang yang menjerit, dan  tertutup kain sepertinya tidak bernyawa lagi, saya hanya menangis dan seakan semua orang bergerak cepat sekali," ujarnya mengambarkan kondisi kepanikan rumah sakit yang di penuhi korban tsunami dengan dokter yang sangat sibuk mengobati pasien-pasien yang datang.

Setelah sempat diobati pada hari itu oleh perawat, Daniel akhirnya beruntung bertemu pamannya yang juga selamat dari tsunami dan akhirnya dibawa ke rumah neneknya di kawasan Lampaku, Aceh Besar. disana lah dia sempat tingal selama 1 tahun menyembuhkan luka yang di deritanya. Sedangkan Keluarga lainnya sempat mencari keberadaan ibu, bapak dan saudaranya namun tidak ada yang mengetahuinya sehingga mereka harus.mengikhlaskan semuanya.

Bagi Daniel bencana tsunami yang begitu dahsyat terjadi 10 tahun lalu masih jelas tersimpan banyak  kenangan duka dan kerinduan bagi Daniel yang kehilagan, Ayah, ibu, Abang dan salah satu adik perempuan kecil yang di sayanginya.

Sebenarnya Daniel  mempunyai 5 saudara, namun 1 abangnya  merantau ke luar kota, namun pada 2007 abangnya juga meninggal meninggal karena sakit, hingga kondisi tersebut membuat Daniel tinggal sebatang kara dari keturunan ayahnya.

"Allah maha mengetahui akan mahluknya dan tidak akan memberi cobaan di luar kemapuan," katanya dengan tegar.

Semoga semua masyarakat Aceh hingga anak cucu kita nanti selalu ingat peristiwa bersejarah tersebut dan selalu ingat akan kebesaran Allah dengan mensyukuri apapun yang diberikan. "Sampai kapanpun ingatan tsunami akan selalu teringat sampai saya mati, dan saya harus tetap hidup meneruskan keturunan ayah saya," ungkap Daniel yang pada bulan 0ktober 2014 lalu telah menikah dengan seorang wanita yang dikasihinya, meskipun hingga sekarang Daniel belum memiliki pekerjaan tetap dan dia tidak dapat menyelesaikan lagi kuliahnya karena kondisi traumanya yang belum begitu pulih. Tapi semangat untuk membahagikan istrinya sangatlah besar.


Kini Daniel bersama istrinya tinggal di rumah bantuan yang kembali di bangun di atas bekas tapak rumahnya di peulangahan. Pria yang kerap disapa dengan nama pemain bola  ‘’Pele’’ tersebut selalu aktif diseluruh kegiatan kampungnya, dan setiap peringatan stunami seperti tahun ini  dia selalu menjadi panitia Zikir yang selalu dilaksanakan di masjid di Tengku di Anjong, pelangahan, kecamatan kutaraja, Banda Aceh

Menurut sahabatnya Kodek, Daniel merupakan sosok yang sangat dibanggakan, selain mempunyai suara yang bagus dalam melantunkan ayat suci Al-quran, dia selalu aktif menjadi panitia lomba pengajian dan juga sangat disayangi masyarakat .

"Walau warga di sini mengalami situasi yang sama saat tsunami, tapi Daniel menjadi salah satu orang yang membuat kami selalu tegar, semua kami disini adalah keluarga untuknya," ujar sahabatnya tersebut saat ditanyakan terkait sosok Daniel  dalam masyarakat.

Peringatan tsunami ke 10 tinggal beberapa hari lagi, jejak cerita tentang bencana maha dasyat tersebut  terus membekas dimasing-masing masyarakat Aceh yang sempat bergelut dalam arusnya, layaknya Daniel yang kini hanya tinggal sebatang kara, namun keiklasan dan semangat hidup harus tetap ada bagaimanapun pahitnya semua harus di hadapi dengan ketegaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar