Senin, 02 Februari 2015

Sepotong Kisah perjalanan Perang Aceh dari Abu Chek (2)

Yahya(Abu chek)
Usai  lah cerita Abu Chek Perang Aceh dengan gelar modalnya, kekecawaan yang kian menjadi menurut Abu Chek atas pemerintah pusat dari tahun 1945 terus menjadi dilema bagi Rakyat Aceh  akan jasa yang tak terhargai. 



Hingga akhirnya kekecewaan yang sekian lama mendekam dalam hati rakyat Aceh pun menyeruak menjadi pergerakan DII/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pada tahun 1953 yang di prakasai oleh Tengku Daud Beureueh di Aceh, dengan tujuan untuk memisahkan diri dari negara Republik Indonesia dan mendirikan negara dengan sistem pemerintahan syariat islam.


Sosok Murah Senyum itu masih duduk di kursi plastik berwarna biru tanpa sandaran di belakangnya, sebatang rokok terselip di jari tangan kanan, di hisapnya kembali, bara merah menyala. 

Setelah duduk lama bercerita, mungkin terasa keram, di angkatnya kaki kanan menyilang ke atas kaki kiri. hingga kemudian dia kembali bercerita tentang pergerakan DII/TII yang juga melibatkan dirinya sendiri sebagai tentara pejuang masa itu.

Tangannya nampak layu di kuasai waktu, kopi dalam gelas di teguknya dengan nikmat, dan kemudian dia kembali mengisahkan, sebelum meledaknya perlawanan DII/TII secara fisik, Daud Bereueh selaku pemimpin gerakan sempat berpidato di daerah Lambaro untuk mengajak perlawanan sekaligus membangkitkan semangat masyarakat di Aceh Besar

"Tempat jih di  Cot Mon Bate  keu sa that daud  beureuh di pidato geu pakat awak kamoe gabong ngon DII/TII.( tempatnya di Cot Mon Bate pertama kali Daud beureueh berpidato mengajak serta membangkitkan perlawanan DII/TII di Aceh Besar adalah Cot Mon Bate,’’ ujar abu chek sambil menunjuk arah letak tempat kejadian tersebut yang berada tidak jauh dari Bundaran Lambaro sekarang ini.

Tidak lama setelah pidato itu cerita abu chek, perlawanan pertama pun meledak di rel kereta api di dekat mesjid lambaro sekarang," kejadian jih menan wate kaleh sembahyang suboh, awak DII/TII rame that wate nyan di tiarap bak rel kereta apui di preh tentra pancasila di jak patroli dari Banda Aceh.( kejadiannya terjadi setelah shalat shubuh, masyarakat yang menjadi tentara DII/TII bertiarap di rel kereta api menyergap tentara pancasila yang berangkat berpatroli dari Banda Aceh."

Dia, mengaku tidak ikut dalam pertempuran pertama kali DII/TII tersebut , tapi setelah paginya dia mengungkapkan melihat sendiri kejadian yang ramai menewaskan tentara pancasila yang dominan adalah tentara yang di kirim  dari daerah pulau jawa.

Setelah meledaknya perlawanan DII/TII pertama kali di Lambaro Aceh Besar,  baru di ikuti daerah lain di Aceh seperti di daerah pidie langsung mendeklarasikan perlawanan yang di pimpin  oleh Hasan Saleh di bawah komando Daud Bereueh.

Menurut Abu Chek sendiri, sebelum bergabung dengan tentara DII/TII Hasan Saleh merupakan salah satu komandan tentara pancasila yang segaja di kirim bertugas ke luar Aceh agar tidak bergabung untuk melawan pemerintah indonesia, namun pada akhirnya apa yang di kwatirkan pemerintah indonesia masa presiden sukarno pun terjadi, seluruh tentara Aceh yang di pimpin Hasan Saleh semuanya di bawa pulang dan bergabung melakukan perlawanan di Kabupaten Pidie.

Daud Beureue'eh sendiri kata abu Chek, pernah menyambangi  Tengku Ibrahim Krueng Kale di pasantrennya di daerah Lambaro Agan untuk membangkitkan lagi jiwa juang yang pernah di utarakannya beberapa tahun silam, namun Tengku Ibrahim menolaknya dengan sebuah perumpamaan," Ta peu euk Gelayang wate na Angen( kalau ingin mainkan layangan waktu ada angin)," tiru Abu chek kata yang pernah di dengar dari mulut ke mulut masa itu.

kini mimik wajahnya nampak sendu, dengan cepat tangannya kanannya menyeruduk segelas kopi di atas meja yang tak lagi panas. kopi tinggal setengah diminumnya, seakan ada kesedihan yang di pendamnya, Abu chek pun melanjutkan ceritanya," Wate nyan lon bergabung ngon tentara DII/TII ka tamat SRI (sekolah rakyat Islam) di penanyong) setingkat smp lah kira-kira nyoe sikula jinoe, dan bermarkas di Gle inim di yup komandan Tengku Aya Gle Jai awak indrapuri,( dulu saya bergabung dengan DII/TII (setelah tamat dari sekolah rakyat islam setingkat (SMP) yang berlokasi di penayong dan kemudian bermarkas di salah satu bukit yang bernama gle ini bawah komandan Tenku Aya Gle Jai asal Indrapuri Aceh Besar) ’’ujarnya di ikuti anggukan-angukan kepalanya.

Markas mereka di gle inim terang Abu chek, terbuat dari kayu, dan atapnya  berbahan ilalang yang mereka buat sendiri menjadi asrama, Disitulah  mereka di latih mengunakan senjata api, juga mengunakan pedang sebagai keahlian dasar.

"Bede wate nyan hana le, di kompi lon Cuma na 10 krak bede jameun jepang. maka jih di perenoe syit cara seumetak, (senjata api waktu itu tidak banyak, hanya ada 10 batang senjata, makanya mereka juga di latih menguasai pedang)."

Namun srategi perang masa dulu jelasnya lagi, sangat  hebat, ‘’ ngon 10 krak beude abeh tentra pancasila ubena.( dengan senjata 10 batang itu kami mampu melawan tentara pancasila’’ kenangnya, dengan raut wajah  memendam  gelisah.

Hingga setelah beberapa tahun setelah itu lanjutnya baru ada senjata agak cangih seperti ‘’bren’’ ( senjata otomatis) yang di beli melalui Hasan Tiro dan orang Aceh lainya yang ada di luar negeri," hasan tiro kan di lua nanggroe mejabat duta indonesia, dari jih keuh awak kamoe kirim peng yu bloe beude.( saat itu hasan tiro menjabat sebagai duta indonesia di luar negeri, dari dirinya lah kami kirimkan uang untuk beli senjata," terangnya dengan khidmad.

Ia, kemudian kembali bercerita mengenai salah satu sejarah situasi perang kontak senjata antara tentara pancasila yang ungkapnya merupakan tentara kiriman presiden sukarno dari diponogoroe untuk membasmi tentara DII/TII kala itu.

kontak senjata tersebut terjadi saat pagi, tentara yang di kirim dari poenogoro bersenjata lengkap datang ingin menyerang markas mereka di Gle Inim dengan berjalan kaki dan mobil, sedangkan mereka sudah bersiap-siap di Bukit Tanggah yang terletak srategis untuk menyerang musuh yang berada di bawah ,  hingga kemenangan di raih mereka kala itu.

"Lam prang nyan tanyoe menang, awak tentranya na yang mate teu glong lam paya kenong timbak wate di grop dari moto.( dalam perang itu, kita yang menang, tentara itu ada yang mati berdiri dalam lumpur terkenan tembakan saat melompat dari mobil)’’ ceritanya mengenang tragis, penuh dilema situasi perang tanpa sedikitpun membangga diri.

"ini sejarah saat perang, dan begitulah adanya tanpa maksud mengumbar kebencian," katanya dengan menyisipkan kata harapan agar kisah masa perang yang lazim merengang nya tidak terjadi lagi di Aceh.

Karena, ungkapnya waktu kejadian tersebut, posisisi tentara DII/TII sangat menguntungkan berada di atas bukit," Ubena troh, ube na mate, mayet lage ta pileh breuh, menan keuh keadaan prang masa nyan di gle inim,( berapa pun tentara yang tugas kan ke Aceh, banyak yang gugur)’’begitulah sejarah pertempuran di markasnya saat itu, tuturnya. mengenang masa yang kalut.

Keahlian Taktik perang tersebut katanya dapat di lihat dengan cara mereka mengalabui tentara pancasila dengan topi yang di letakan seakan itu mereka, hingga saat tentara pancasila menembak topi yang segaja di letakan, tentara mereka menyergap dari posisi belakang.

Dirinya mengaku memegang senjata laras panjang milik rampasan masa jepang saat menjadi tentara DII/TII saat itu," Aneuk jih pasoe sineuk neuk sigoe timbak sagai. (model senjatanya masih sekali isi, sekali tembak)." Sambil ikut memperagakan dengan tangannya.

Pemerintahan indonesia yang di jabat oleh presiden sukarno masa itu, lanjutnya mulai tidak sangup berpikir atas perlawanan orang DII/TII di Aceh yang terus berlangsung dengan korban yang terus berjatuhan," karap mandum di woe ransel tok, menan keuh kondisi prang  wate nyan,(banyak tentara pancasila yang gugur dan hanya di pulangkan ranselnya saja, begitulah kondisi perang saat itu," ujar abu chek mengisahkan kejadian yang dilihatnya.

Dengan panjang lebar, lelaki yang berperawakan murah senyum tersebut terus bercerita sepak terjang tentara DII/TII pada masa remajanya dalam menuntut berdirinya negara islam di Aceh.

Selain di Gle Inim, ada dua markas lagi yang ada di Aceh Besar. Di Gle Ule daerah Montasik di pimpin oleh Sulaiman Gadeng. Gle Peukan Biluy di pimpin oleh Yah Nek dan kemudian terdapat satu lagi pusat resimen ( komando) mereka untuk memerintah kapan harus menyerang ujarnya yang berada di lam tamot yang di pimpin oleh Wahap Resimen.

"Semua komandan tersebut dulunya bekas tentara iskandar muda’’tegasnya lagi.

Perlawanan yang terus terjadi secara geriliya tersebut di lewatinya selama 8 tahun di Gle Inim, dan pada tahun 1967 dengan di tanda tangani ikrar Lam Teuh bersama pemerintah indonesia perlawanan sudah  mereda. 

Namun masih ada perlawanan,ungkapnya, hingga pegerakan DII/TII benar-benar padam pada Desember 1962 setelah diselenggarakannya “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” yang mendapat dukungan tokoh-tokoh masyarakat Aceh yang di prakarsai oleh Kolonel M. Yasin, yang menjabat sebagai Panglima Daerah Militer I/Iskandar Muda,pada waktu itu.

"Beda jih ngon jinoe wate dame jameun, tentara balek u tentara, bek meuplah bak u ngon bak u," Abu Chek mengistilahkannya dalam bahasa Aceh yang bermakna. (bedanya dengan perdamaian antara RI-Gam) dengan perdamainan waktu saat itu adalah: yang jadi tentara DII/TII secara otomatis di tarik jadi tentara Indonesia, agar tidak terjadi, adanya 2 tentara di dalam 1 negara yang dapat memicu konflik.

Walaupun demikian, dirinya tidak kembali ke tentara negara indonesia walaupun sempat bergabung dengan komando tentara iskandar muda di mata ie , hingga akhirnya abu chek memilih keluar dan membangun kelompok tani serta merintis usaha pabrik beras di kampungnya di Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar yang masih berdiri sampai saat ini.

"Na saboh teuk yang beda, di awak kamoe hana meu keun hikayat prang sabi wate meuprang DII/TII, karena nyan kon kafe. nyan saboh teuk yang salah uroe nyoe, ngon awak kafe ta peu toe, ngon awak droe ta seumetak, kiban jahe akai jinoe,(ada satu lagi yang berseda, kami dulu tidak menglafadkan hikayat perang sabi saat perang DII/TIi, karena yang kami lawan bukan orang kafir, itu satu lagi yang salah pada hari ini, orang kafir di dekati, orang sendiri di parangi," ujarnya.

Setelah mengakhiri cerita masa perjuangannya Abu chek kembali berbicara tentang pandangan akan kondisi Aceh saat ini, dia mengatakan," beda pemimpin dulu dengan sekarang, Cuma tentang moral," ujarnya.

Hingga ketika di tanya tentang bagaimana pandangannya Aceh ke depan, dengan tegas ia mengucapkan,"  u like akan lebeh hancoe,nyoe manteng saboh boh manok payah jak bloe u medan, jameun masa gebernur Ali Hasyimi, Muzakir Walad, awak nya jak bloe kenoe ijak intat gon kereta apui, jinoe ka tebalek mandum. (ke depan akan lebih hancur kalau satu telor ayam aja harus beli dari daerah  medan, masa Gebernur Ali Hasyimi, Muzakir Walad mereka yang membeli dari Aceh, dengan menggunakan kereta api,tapi sekarang kebalikannya)."

Menjadi pemimpin menurutnya, adalah hal yang mulia dan mempunyai tanggung jawab yang besar di akhirat nantinya," ureng jameun, nyoe hana ilime bak hai nyan, han di kejut jak duk disinan, walau pih di yu duk, karena takot ke Allah,(orang dahulu kalau tidak punya ilmu akan hal itu tidak mau menjabat walau pun di suruh, karena takut tidak bisa mempertangung jawabkannya pada Allah)," ujarnya dengan mata yang telihat mengelora saat mengomentari kondisi Aceh saat ini.

"Beu na neu teupue le gata nah. Asai makmue nanggroe bak meugoe.(yang harus kalian tau, asal kemakmuran suatu negeri itu adalah bertani )," ujarnya sembari diam dan hanya diam. Sambil di menghamburkan matanya yang tajam ke arah persawahan yang terlihat kering kerontang di seberang pertokoannya. 

Nampak jelas dari gertar bibirnya, ada segudang hal yang ingin dia katakan. Namun tiba-tiba Abu Chek memilih diam bersama seratus lebih sahabat-sahabat juang yang di ceritakannya telah  lebih dulu meninggalkannya. kini prajurit bataliyon Gle Inim ini tinggal sendiri, dengan sosoknya yang ceria, hampir tiada yang tau dia adalah seorang pejuang yang penuh dengan kenangan duka.

Kini sebagai generasi Aceh ke depannya mampu kah kita menghargai perjuangan mereka dengan semangat membangun Aceh yang bermartabat dengan nilai keislaman yang luhur, layaknya pendahulu kita yang selalu menanamkan kebaikan, keiklasan serta kejujuran dalam segala sendi kehidupan mereka. mampukah..?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar